Ni Putu Dewi, Penjaga Marwah Persidangan di Sulawesi Selatan
Dewi merupakan asisten Komisi Yudisial Penghubung Sulsel
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Nama Ni Putu Dewi menjadi perbincangan hangat di kalangan aktivis di Kota Makassar pada 2013 lalu. Ia terpilih sebagai satu-satunya perempuan yang menjabat dalam struktur Komisi Yudisial Penghubung Sulawesi Selatan (Sulsel). Tugasnya tidak mudah; memperkenalkan aturan hukum Indonesia dan berada di garis depan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim di seluruh wilayah Sulawesi Selatan.
Putu Dewi berkisah, latar belakangnya sebagai aktivis di Makassar membuatnya belajar banyak hal, termasuk persoalan hukum. Hal itu pula yang menjadi modal kuat untuk mengantarnya masuk dalam jabatan struktural yang cukup strategis. Dia adalah satu-satunya perempuan dari tiga orang lelaki di Komisi Yudisial Penghubung yang ditugaskan untuk mengemban laporan terkait konstitusi hukum ketatanegaraan di wilayah Sulsel.
Meski tanpa gelar pendidikan bidang hukum, tak menyurutkan semangat Putu Dewi bersaing dengan orang-orang lainnya. Posisi itulah yang membuatnya cukup diperhitungan dalam sederet nama aktivis perempuan yang disegani di Makassar.
Di KY, perempuan berusia 36 tahun itu bertanggung jawab sebagai Asisten Penghubung KY Sulsel divisi sosialisasi. Peran yang cukup sentral untuk melaporkan dan berkoordinasi tentang bagaimana kinerja hakim-hakim pengadilan yang ada di Sulsel dalam mengawal setiap proses persidangan.
IDN Times pada Sabtu (30/11) di Makassar, mendapatkan kesempatan khusus untuk lebih jauh menggali pandangan Putu Dewi tentang kriteria perempuan hebat di tengah budaya patriarki yang mengakar kuat dalam keseharian masyarakat Indonesia.
1. Gelar hukum bukan hambatan untuk berkarir di Komisi Yudisial
Menurut Dewi menjadi seorang perempuan satu-satunya di Komisi Yudisial merupakan sebuah kebanggaan. Apalagi dia bukan seorang akademisi yang berlatar belakang pendidikan hukum. Memahami persoalan hukum dalam konteks ketatanegaraan, dia anggap sebagai tantangan untuk terus belajar.
“Tidak ada kata untuk berhenti belajar. Bukan berarti punya gelar seluruh bidang ilmu pengetahuan itu dikuasai. Tapi itu bisa menjadi motivasi kita untuk mengembangkan kemampuan yang kita miliki untuk berbuat dan membuktikan bahwa perempuan itu bisa,” terang alumnus STMIK Dipanegara 2006 silam.
Baca Juga: Kekerasan Online terhadap Perempuan Kini Bisa Dilaporkan
Baca Juga: Catherine Hindra Sutjahyo, Perempuan Hebat di Balik GoFood
Baca Juga: Cerita Perempuan ODHA yang Jadi Pendamping Anak dengan HIV dan AIDS