Sipakatau, Sipakalebbi, Sipakainge: Jembatan Empati dari Tanah Bugis

- Falsafah Bugis "saling memanusiakan, saling memuliakan, dan saling mengingatkan" memiliki makna mendalam dan butuh kerja sama kedua pihak untuk mewujudkannya.
- Tiga prinsip ini menciptakan ruang komunikasi yang tulis, ikhlas, dan penuh pengorbanan dalam setiap interaksi di kehidupan sehari-hari.
- Contoh penerapan falsafah Bugis terlihat pada keputusan B.J. Habibie memberi ruang pada rakyat Timor Timur untuk melakukan jajak pendapat dari prinsip humanis tersebut.
Makassar, IDN Times - Ada yang menarik dalam pesan perdamaian dari PSM Makassar yang diunggah ke seluruh akun media sosial resminya pada hari Minggu lalu (31/8/2025). Mereka menulis tiga falsafah lama Bugis sarat makna yakni sipakatau, sipakalebbi, dan sikapakainge.
Biasa disebut dengan istilah "Tiga S", semuanya adalah cara orang tua untuk mengingatkan anak cucu bahwa poin paling penting dalam interaksi sosial adalah nilai solidaritas. Dan semuanya terangkum secara menyeluruh dalam falsafah Bugis lama tersebut.
1. Falsafah Bugis yang bermakna "saling memanusiakan, saling memuliakan, dan saling mengingatkan"

La Ode Machdani Afala dalam buku Rezim Adat dalam Politik Lokal (Universitas Brawijaya Press, 2019) menulis secara rinci makna ketiganya. Sipakatau bermakna saling memanusiakan, di mana seseorang memandang sesamanya sebagai manusia sempurna tanpa melihat strata sosial atau kepercayaan sebagai pembeda.
"Sipakalebbi bermakna saling melebihkan sebab tak ada manusia yang luput dari salah, sedangkan nilai sipakainge yang bermakna saling mengingatkan, akan menghindarkan orang dari sikap angkuh dengan status sosialnya," tulis La Ode Machdani.
Lalu, terdapat imbuhan sipaka- dalam setiap kata yang bermakna "saling". Ia menjelaskan bahwa ini bermakna butuh kerja sama kedua pihak untuk mewujudkan tiga nilai falsafah tersebut.
"Untuk dihargai maka haruslah dengan menghargai. Jika ingin disanjung kelebihannya, janganlah selalu mengungkit kekurangan orang lain. Dan jika ingin menasihati atau mengingatkan kesalahan orang lain, kita juga harus siap untuk dinasihati jika melakukan kekhilafan," jelas pengajar di Program Studi Ilmu Pemerintahan, FISIP Universitas Brawijaya tersebut.
2. Tiga prinsip ini menjadi cara menciptakan ruang komunikasi yang tulus, ikhlas dan penuh pengorbanan

Prinsip sipakatau, sipakalebbi, dan sikapakainge ini kemudian berlaku dalam setiap jenis interaksi di kehidupan sehari-hari. Antara teman dengan teman, anak dengan orang tua, sesama orang tua, hingga rakyat kepada penguasa. Khusus untuk poin terakhir dijelaskan secara rinci oleh dosen pasca sarjana IAIN Parepare, Muhammad Qadaruddin, dalam buku Kepemimpinan Politik Perspektif Komunikasi (Deepublish, 2016).
Ia secara khusus menulis bahwa prinsip sipakatau (saling memanusiakan) merupakan wujud dari interaksi sosial yang bersifat interdependensi. Ini disebutnya menjadi ruang komunikasi antar nurani di mana sikap tulus, ikhlas, dan pengorbanan diperlukan oleh kedua pihak.
"Adat sipakatau-sipakalebbi-sipakainge adalah sebuah nilai yang hidup di masyarakat yang tidak gentar dan tidak goyang oleh kondisi negara yang mengalami penurunan pada sisi kemanusiaan (dehumanisasi), tidak terpengaruh oleh kepentingan kelompok atau individu (politik)," jelas Qadaruddin di bukunya.
3. Bukan sekadar warisan leluhur, tapi sebuah perspektif sarat makna untuk penguasa ke rakyat

Lantas apakah ada contoh bagaimana tiga falsafah Bugis tersebut dilakukan di panggung nasional? Dalam buku Kehadiran Manusia Bugis dalam Memaknai Budata Sulapa Eppa (Penerbit Adab, 2023), sang penulis yakni D. G. Mapata dan Sitti Hamsinah mengemukakan hipotesis menarik: Presiden Indonesia ke-3, B.J. Habibie, melandaskan keputusan memberi ruang pada rakyat Timor Timur untuk melakukan jajak pendapat pada 30 Agustus 1999 dari prinsip humanis tersebut.
"Karena itu, sikap B.J. Habibie merupakan sikap negawaran sejati, yang pantas diteladani kepemimpinannya untuk dapat diidolakan, sebagai pemimpin yang memiliki crediblity (kepercayaan) dan accountability (tanggung jawab), guna menyelamatkan bangsa dan negara Indonesia dari ancaman perpecahan," tulis mereka.
Falsafah ini bukan hanya sekadar warisan leluhur, tapi juga sebuah perspektif sarat makna. Pada akhirnya, sipakatau-sipakalebbi-sipakainge adalah jembatan empati yang memungkinkan rakyat dan penguasa saling memahami, saling menghargai, dan saling mengingatkan dalam kebaikan.