Konferensi Malino, Upaya Pertama Belanda Recoki Kemerdekaan Indonesia

#MenjagaIndonesia Konferensi digagas oleh NICA

Makassar, IDN Times - Indonesia belum genap berumur satu tahun, namun seperti kata pepatah: "mempertahankan lebih sulit ketimbang meraih." Hanya hitungan bulan setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, para Republikan --sebutan untuk para pejuang dan tokoh pro kemerdekaan-- sedikit demi sedikit merebut segala sendi kehidupan sosial dari kontrol pemerintah kolonial Belanda. Mulai dari pemerintahan, ekonomi hingga keamanan sipil.

Mendiang sejarawan Merle Calvin Ricklefs, dalam buku "A History of Modern Indonesia Since c. 1300" (MacMillan, 2008), menulis bahwa Belanda mendirikan organisasi semi-militer bernama Nedelandsch Indie Civiele Administratie (NICA). NICA bertugas memulihkan pemerintahan sipil kolonial Belanda sebelum Perang Dunia II, baik administrasi sipil dan peraturan perundang-undangan, selepas penyerahan kekuasaan Jepang.

Ricklefs turut menjelaskan bahwa NICA, yang mendapat dukungan personel tentara dari Australia, berusaha menyalip usaha kaum Republikan mendirikan sebuah administrasi pemerintahan sendiri. Mereka pun memiliki visi ideal perihal seperti apa model Indonesia yang cocok: sebuah republik federal di mana kekuasaan tak terpusat dan daerah punya kendali yang kuat dalam mengelola potensinya sendiri.

1. Gubernur Jenderal H.J. van Mook (paling kanan) sudah lama memikirkan Indonesia sebagai negara federal

Konferensi Malino, Upaya Pertama Belanda Recoki Kemerdekaan IndonesiaDr. Hubertus Johannes van Mook (paling kanan), Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan ketua tertinggi NICA, sedang berbicara dengan beberapa pejabat pemerintah di Jakarta pada 30 November 1945. (Wikimedia Commons/Fotocollectie Anefo)

"Untuk menjamin terwujudnya otonomi yang sungguh-sungguh bagi daerah dan bagi bangsa Indonesia dan bagi perkembangan yang seimbang di antara daerah-daerah, Indonesia harus dibangun dalam bentuk federasi yang terdiri dari negara bagian, dengan catatan susunan pemerintahannya disesuaikan dengan taraf kemajuan masing-masing negara," tulis Pejabat Gubernur Jenderal saat itu, Hubertus Johannes van Mook, seperti dikutip dari buku "Malino Maakt Historie" (Regeering Voorlichtings Dients, 1948).

Van Mook, yang juga menjabat komandan tertinggi NICA, pada awal tahun 1946 mengaku sadar bahwa mustahil mengembalikan kondisi Hindia-Belanda seperti sebelum PD II, di mana Den Haag memiliki garis kendali langsung ke Batavia. Alhasil, ia menyodorkan proposal bahwa Indonesia lebih baik memiliki pemerintahan sendiri. Namun negeri yang baru merdeka itu masuk dalam sebuah organisasi persemakmuran, mirip dengan konsep Commonwealth milik Inggris. Namanya? Federal Commonwealth of Indonesia.

Proposal tersebut disetujui oleh Menteri Luar Negeri Johann Logermann. Dialog kemudian dilakukan van Mook dengan Perdana Menteri Sutan Syahrir, perihal kendali Republikan atas Jawa-Madura-Sumatera. Ada kompromi hendak ditempuh. Di saat pembicaraan sedang ditempuh dengan kepala pemerintahan Indonesia, NICA tetap memberi perhatian pada visi Indonesia sebagai negara federal. Demi melapangkan visi tersebut, diadakan pertemuan di Malino, 65 kilometer di timur Kota Makassar, pada 16-26 Juli 1948.

2. Konferensi Malino langsung dimulai hanya 3 hari setelah Inggris menyerahkan administrasi Indonesia Timur kepada Belanda

Konferensi Malino, Upaya Pertama Belanda Recoki Kemerdekaan IndonesiaGubernur Jenderal Hubertus Johannes van Mook ketika sedang berada di ruang kerjanya, antara tahun 1945 hingga 1946. (Wikimedia Commons/Rijksmuseum)

Total ada 53 orang delegasi bertemu di wilayah pegunungan sejuk tersebut. Mereka semua adalah para penguasa lokal (Datu' atau Raja) di Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Bali, Nusa Tenggara, Papua (Nieuwe Guinea) dan Bangka Belitung. Beberapa wakil organisasi keagamaan juga turut hadir. Beberapa tokoh yang datang ke Malino antara lain Frans Kaisiepo, Sultan Hamid II, Aji Raden Aoes asal Kesultanan Kutai dan Nadjamudin Daeng Malewa sebagai wakil Buton.

Ide Anak Agung Gde Agung, dalam buku "From the Formation of the State of East Indonesia Towards the Establishment of the United States of Indonesia" (Yayasan Obor Indonesia, 1996), menjelaskan bahwa para penguasa lokal ini terikat kontrak dengan Hindia-Belanda yang mengatur status mereka. "Dalam perjanjian tersebut, para raja mengakui keberadaan otoritas tertinggi pemerintahan Hindia-Belanda. Hindia-Belanda pun sebaliknya, mereka mengakui keberadaan raja-raja ini," tulisnya.

Di Malino, delegasi asal kesultanan ini turut membahas kedudukan mereka di masa transisi. Situasi yang berkembang secara cepat membuat NICA rupanya tergesa-gesa membahas pembentukan United States of Indonesia (Republik Indonesia Serikat, RIS) dengan para pemimpin lokal di Indonesia Timur ("Grote Oost"). Padahal, kekuasaan atas Kalimantan-Sulawesi-Maluku baru diserahkan Inggris kepada Belanda pada Jumat 13 Juli 1946, tiga hari sebelum konferensi dibuka.

3. Selama sepuluh hari sidang pleno, para peserta konferensi terpecah menjadi dua kubu: pro-Republik dan pro-federal

Konferensi Malino, Upaya Pertama Belanda Recoki Kemerdekaan IndonesiaSalah satu sesi rapat pleno di Konferensi Malino yang melibatkan 39 delegasi dari Kalimantan, "Grote Oost" (selanjutnya menjadi Negara Indonesia Timur), dan Belanda, yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal van Mook pada Juli 1946. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Membuka konferensi pada Selasa 16 Juli 1946, van Mook membaca sebuah pidato panjang perihal konsep Indonesia sebagai negara federal. "Pemerintah Belanda menganggap sangat penting bahwa, dengan cara secepat mungkin dan sesuai dengan rencana yang telah dipikirkan matang-matang, negara-negara ini (dalam federasi Indonesia) akan ditempatkan dalam posisi untuk memerintah (wilayahnya) sendiri," demikian secuil isi pidato tersebut, seperti dikutip oleh David Wehl dalam buku "The Birth of Indonesia" (George Allen & Unwin Ltd., 1948).

Para delegasi sendiri disebut setuju bahwa kolonialisme tidak boleh kembali ke Indonesia, sekaligus menepis jauh-jauh anggapan bahwa Hindia-Belanda sedang berusaha dibangkitkan. Sementara itu, RIS dianggap sebagai cara menyatukan banyak kepentingan dalam negara yang baru saja berdiri. Mulai dari para Republikan, NICA hingga para penguasa lokal di Indonesia timur.

Namun seiring konferensi berjalan, sejumlah tokoh menyampaikan rasa ragu atas usul pembentukan Negara Indonesia Timur, jalan masuk pembentukan RIS. E.D. Dengah, perwakilan asal Minahasa, menyebut bahwa gagasan RIS tak boleh diteruskan sebelum mendengar pendapat dari rakyat di Jawa dan Sumatera. Selain menimbulkan kesan tergesa-gesa, pembentukan negara federal tanpa RI bertentangan dengan prinsip Indonesia Raya.

Baca Juga: Arief Rate: Memperjuangkan, Lalu Dikhianati Republik Sendiri

4. Wakil Sulawesi Selatan, Nadjamuddin Daeng Malewa, menyebut bahwa Indonesia bebas menentukan nasibnya sendiri

Konferensi Malino, Upaya Pertama Belanda Recoki Kemerdekaan IndonesiaNadjamuddin Daeng Malewa, Perdana Menteri pertama Negara Indonesia Timur, sedang berpidato dalam sebuah acara yang dilaksanakan pada 30 April 1947. (Wikimedia Commons/Fotocollectie Anefo)

Nadjamuddin Daeng Malewa, perwakilan Sulawesi Selatan, menyatakan bahwa PD II membawa banyak pengaruh terhadap pergerakan nasional. Salah satunya yakni kebebasan rakyat Indonesia menentukan nasib sendiri. Menurut tokoh kelahiran pulau Buton ini, hal tersebut tak dapat dielakkan bahkan oleh Belanda sekalipun. Adapun perwakilan delegasi asal Bali, I Gusti Bagus Oka, mengharapkan Konferensi Malino menjadi salah satu batu pijakan kemerdekaan Indonesia.

Harapan agar Indonesia tak direcoki juga datang dari Chasan Boesoerie dan Salim Azizuddin Fabanyo asal Maluku Utara. Mereka berdua meminta bendera NIT tetap Merah Putih, dengan "Indonesia Raya" sebagai lagu nasional. Van Mook disebut mampu meredam desakan tersebut dengan dalih hal tersebut baru dibicarakan pada konferensi selanjutnya.

Namun, suara-suara pro-Republik berlawanan dengan para pendukung Belanda-NICA sepanjang konferensi. Sejarawan M. Adnan Amal dalam buku "Kepulauan Rempah-rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950" (KPG, 2007) menulis bahwa ada pendapat yang berkembang jika Konferensi Malino adalah proyek van Mook untuk kaum bangsawan pro-Belanda dan yang mengalami kesulitan selama pendudukan Jepang.

5. Konferensi Malino membuat geram Wakil Presiden Muhammad Hatta (paling kanan), kendati Perdana Menteri Sutan Sjahrir tak merasa khawatir

Konferensi Malino, Upaya Pertama Belanda Recoki Kemerdekaan IndonesiaPara Republik saat ditangkap di kantor kepresidenan di Yogyakarta setelah Agresi Belanda II pada 19 Desember 1948. Dari kiri ke kanan: Perdana Menteri Sutan Sjahrir, Komandan Korps Pasukan Khusus Letnan Kolonel Van Beek, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta. (Wikimedia Commons/Nationaal Archief)

Pramoedya Ananta Toer, dalam "Kronik Revolusi Indonesia (1946)" (KPG, 2017), menulis bahwa ini adalah usaha van Mook membuktikan bahwa tak semua 70 juta rakyat Indonesia berdiri di belakang Soekarno-Hatta. Wakil Presiden Muhammad Hatta bahkan menyebut para delegasi datang atas paksaan. "Konferensi Malino diadakan atas paksaan di ujung sangkur oleh Pemerintah Belanda dan peserta-pesertanya ditunjuk oleh van Mook," ungkap Hatta, seperti dikutip oleh Rushdy Hoesein di "Terobosan Sukarno dalam Perundingan Linggarjati" (Penerbit Buku Kompas, 2010).

Sutan Syahrir sendiri yakin Konferensi Malino takkan berpengaruh pada perjuangan rakyat Indonesia. Selain itu, turut diketahui bahwa sang Perdana Menteri pertama itu dipilih rakyat sebagai wakil Bangka-Belitung, Kalimantan Selatan dan Ternate di konferensi tersebut. Namun NICA memilih mengabaikan kehendak rakyat, kemudian menunjuk orang lain dengan alasan penguasaan topik yang dibicarakan.

Jumat 26 Juli 1946, bertepatan dengan hari terakhir konferensi, van Mook menjabarkan empat resolusi yang disepakati dengan para delegasi selama sepuluh hari rapat pleno berlangsung.

  1.  Indonesia akan bernama "United States of Indonesia" (Republik Indonesia Serikat), dengan menjadi sebuah federasi yang mencakup semua wilayah Hindia-Belanda.
  2. Federasi ini harus terdiri atas empat wilayah yakni Jawa, Andalas (Sumatera), Kalimantan dan Timur Besar (Great East), dengan mengingat kedudukan Kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara), dengan penggabungan dari raja-raja Kalimantan Timur pada Kalimantan serta kedudukan Bangka, Belitung, dan penggabungan pada Andalas.
  3. Mengadakan segala rapat dari konferensi kedua untuk penyelenggaraan dan mengerjakan usul untuk perubahan tata negara Kalimantan dan Timur Besar.
  4. Persetujuan dengan usul supaya tujuh wakil Indonesia dan Malino mendapat tempat untuk persiapan dari perubahan tata negara Kalimantan, Timur Besar, Bangka, Belitung dan Riau.

6. Negara Indonesia Timur hanya berdiri selama tiga tahun delapan bulan, lalu melebur ke dalam Republik Indonesia

Konferensi Malino, Upaya Pertama Belanda Recoki Kemerdekaan IndonesiaKunjungan Presiden Negara Indonesia Timur, Tjokorda Gde Raka Soekawati (keempat dari kiri) bersama istrinya yang berkebangsaan Perancis di Minahasa, Sulawesi Utara, pada tahun 1948. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Konferensi Malino rupanya kian memperlebar pertentangan dua faksi, pro-Republik dan pro-federal, terutama di wilayah Indonesia Timur.

Tak ada publikasi internasional untuk Konferensi Malino. Meski mengirim wartawannya, surat kabar di Inggris rupanya sama sekali tidak menerbitkan beritanya. Saat memutuskan angkat kaki dari Makassar, administrasi Inggris mengaku jengah dengan pandangan negatif masyarakat atas hasil konferensi tersebut.

Surat kabar Menara Merdeka di Ternate mengeritik habis Konferensi Malino. Mereka menyebut pertemuan ini hanya usaha mengembalikan kepentingan-kepentingan Indonesia dalam suasana Hindia-Belanda. Mereka turut mempertanyakan apakah para utusan di konferensi tersebut benar-bernar berbicara atas nama kepentingan rakyat daerahnya.

Pada 15 November 1948, Republik Indonesia mengakui jalannya pembentukan negara federal melalui Perjanjian Linggardjati. Sementara rencana pembentukan Negara Indonesia Timur disahkan melalui Konferensi Denpasar pada 18-24 Desember tahun yang sama. NIT resmi berdiri pada 24 Desember 1946, namun hanya bertahan hingga 17 Agustus 1950. Desakan rakyat luas membuatnya kemudian melebur ke RI.

Baca Juga: Mengenal Eduard Ernst Pelamonia, Figur Militer-Medis Asal Makassar

Memperingati HUT ke-75 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, IDN Times meluncurkan kampanye #MenjagaIndonesia. Kampanye ini didasarkan atas pengalamanan unik dan bersejarah bahwa sebagai bangsa, kita merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI dalam situasi pandemik COVID-19, di saat mana kita bersama-sama harus membentengi diri dari serangan virus berbahaya. Di saat yang sama, banyak hal yang perlu kita jaga sebagai warga bangsa, agar tujuan proklamasi kemerdekaan RI, bisa dicapai.

Topik:

  • Irwan Idris
  • Septi Riyani

Berita Terkini Lainnya