5 Buku yang Mengungkap Sisi Rapuh Kehidupan di Kota Besar

- Open City - Teju Cole: Novel kontemplatif tentang kesendirian dan pencarian makna di New York City.
- Howards End - E. M. Forster: Kisah benturan antara kelas sosial, nilai, dan ambisi manusia di masyarakat modern.
- On Beauty - Zadie Smith: Reinterpretasi modern dari Howards End dengan latar dan isu urban kontemporer.
Kehidupan di kota besar sering kali dipenuhi paradoks seperti kemajuan dan keterasingan, kemewahan dan kesenjangan, koneksi dan kesepian yang berjalan berdampingan. Di tengah gedung-gedung tinggi dan hiruk pikuk lalu lintas, banyak kisah manusia yang tak pernah terdengar.
Lima buku berikut menggambarkan sisi rapuh dari kehidupan urban dengan cara yang begitu jujur dan menyentuh. Masing-masing karya ini mengajak pembaca menyelami lapisan terdalam kota yang juga dipenuhi sisi gelapnya. Kira-kira novel apa saja yangengungkap sisi rapuh kehidupan di kota besar, ya?
1. Open City – Teju Cole

Open City adalah novel kontemplatif tentang kesendirian dan pencarian makna di tengah keramaian New York City. Tokoh utamanya, Julius, seorang psikiater muda, berjalan kaki melintasi kota, merenungkan kehidupan, kenangan, dan sejarah yang tersembunyi di setiap sudut jalan. Narasinya terasa seperti monolog batin yang sunyi namun penuh kedalaman.
Novel ini memperlihatkan bagaimana kota besar bisa menjadi tempat pelarian sekaligus penjara emosional bagi penghuninya. Cole mengungkapkan bagaimana kota menyimpan lapisan kenangan yang menumpuk dalam ruang publiknya. Open City adalah meditasi tentang keterasingan di tengah modernitas, di mana setiap orang berjalan cepat tapi jarang benar-benar saling melihat.
2. Howards End – E. M. Forster

Diterbitkan pada 1910, Howards End karya tetap menjadi salah satu novel paling tajam dalam menggambarkan benturan antara kelas sosial, nilai, dan ambisi manusia di masyarakat modern. Kisah ini berpusat pada keluarga Schlegel yang berpendidikan dan idealis, serta keluarga Wilcox yang kaya dan berpegang teguh pada tradisi.
Di antara mereka, ada Leonard Bast, seorang pegawai bank miskin yang mendambakan kehidupan yang lebih luas dan bermakna. Melalui pertemuan tak terduga antara ketiga dunia ini, Forster menelusuri bagaimana niat baik dan ketimpangan sosial dapat berujung pada kehancuran pribadi.
3. On Beauty – Zadie Smith

Zadie Smith menghadirkan On Beauty sebagai reinterpretasi modern dari Howards End, tapi dengan latar dan isu yang sepenuhnya urban dan kontemporer. Kisahnya mengikuti keluarga Belsey, keluarga multiras yang berhadapan dengan persoalan moral, politik, dan sosial di tengah masyarakat yang terpecah oleh kelas dan identitas.
Melalui karakter-karakter kompleks, Smith mengeksplorasi bagaimana status sosial membentuk cara kita memandang diri sendiri dan orang lain. Lebih dari sekadar cerita keluarga, On Beauty adalah refleksi tajam tentang bagaimana keindahan bisa menjadi bentuk lain dari kekuasaan. Smith memperlihatkan bagaimana hubungan antar manusia di kota sering kali menjadi medan perjuangan.
4. The Incident Report – Martha Baillie

Dalam The Incident Report, Martha Baillie menciptakan tokoh pustakawan Toronto yang mencatat setiap interaksi dan insiden yang terjadi di perpustakaannya. Dari laporan-laporan kecil itulah muncul potret sunyi tentang kesepian, pengasingan, dan perjuangan manusia di kota yang tampak ramai tapi terasa kosong.
Melalui gaya penulisan yang eksperimental dan puitis, Baillie menunjukkan bahwa kota tak hanya dihuni oleh mereka yang sukses, tapi juga oleh jiwa-jiwa yang nyaris tak terlihat. Novel ini lembut sekaligus menghantam perasaan, mengingatkan bahwa setiap manusia di kota besar punya kisah yang pantas didengar, bahkan jika hanya melalui sebuah laporan insiden.
5. Denison Avenue – Christina Wong & Daniel Innes

Denison Avenue menceritakan kehidupan seorang janda tua di kawasan Chinatown Toronto yang perlahan kehilangan tempatnya di dunia yang berubah terlalu cepat. Setelah kematian suaminya, ia berjalan menyusuri jalanan, mengumpulkan kaleng, dan berhadapan dengan wajah-wajah yang memandangnya seperti hantu.
Melalui kisah sederhana ini, Wong dan Innes memperlihatkan dampak nyata dari gentrifikasi dan perubahan kota terhadap kehidupan manusia. Di tengah gemerlap modernisasi, ada mereka yang terhapus pelan-pelan dari peta. Buku ini adalah surat cinta dan sekaligus ratapan bagi kota yang telah melupakan penduduk aslinya.
Lima buku di atas mengingatkan kita bahwa urbanisasi bukan hanya soal kemajuan, tapi juga soal bagaimana manusia bertahan dalam perubahan yang tak kenal ampun. Nah, dalam hiruk pikuk kota tempat kita tinggal, apakah kita masih mampu melihat sisi rapuh kemanusiaan di sekitar?