Seniman Makassar Biennale 2019 Suguhkan Topik Migrasi dan Sungai

Instalasi di MB '19 sajikan gambaran hidup di Sulselbar

Makassar, IDN Times - Sepekan sudah Makassar Biennale edisi 2019 dihelat dari total 15 hari penyelenggaran. Setelah dibuka oleh Direktur Jenderal Kebudayaan RI, Dr. Hilmar Farid, PhD, pada Minggu (1/9) silam, pameran seni rupa internasional bertema "Maritim: Migrasi - Sungai - Kuliner" langsung menyajikan tujuh sesi simposium kebudayaan.

Beberapa tema yang diangkat mulai dari profil masyarakat di pinggiran sungai, sikap seni rupa atas masalah lingkungan hidup, hingga hubungan seni dan gender.

Namun bukan pameran seni namanya jika tak ada instalasi seni rupa. Ada lima karya seni dari para seniman lintas media yang terpajang di ruang galeri Gedung Kesenian Sulsel Societeit de Harmonie untuk dinikmati para pengunjung. Semuanya berhubungan dengan tiga subtema yang diangkat gelaran dua tahunan tersebut.

1. "Perlindungan atau Kekhawatiran?", Jenry Pasassan

Seniman Makassar Biennale 2019 Suguhkan Topik Migrasi dan SungaiMakassar Biennale/Artefact.id

Penduduk dunia belakangan sudah akrab dengan berita perihal eksodus pengungsi atau imigran yang pergi dari kecamuk perang atau bertolak mencari kehidupan baru. Berpindah bukanlah sebuah hal asing bagi manusia. Kita sudah mengenalnya ratusan ribu tahun silam, dimulai saat nenek moyang berani menyeberang keluar dari Afrika, berkelana menyusuri tanah-tanah baru kemudian membangun peradaban di atasnya.

Namun, instalasi "Perlindungan atau Kekhawatiran" karya seniman Makassar yakni Jenry Pasassan ini coba menyajikan fenomena terkini benturan batas-batas antara ego negara dan sisi kemanusiaan dalam wujud dinding. Makassar menampung sekitar 2.000 orang imigran dari segala usia. Umumnya nasib mereka sama; terkatung-katung dalam ketidakpastian, tanpa bantuan dan pertolongan.

Sebagai tambahan, rangkaian huruf dan tangan gerak bahasa isyarat membentuk kutipan dari mendiang Mahatma Gandhi: Earth provides enough to satisfy every man's need but not every man's greed. Kita diajak memikirkan ulang masalah terkini perpindahan melalui tembok. Apakah dinding tebal ini berfungsi untuk memberi kita rasa aman, atau ejawantah terbaik paranoid, obsesi tak sehat akan identitas atau ideologi yang dianut, atau bahkan matinya rasa kemanusiaan itu sendiri?

Baca Juga: Makassar Biennale 2019: Migrasi, Sungai dan Kuliner dalam Kesenian

2. "Telapak Rakit", Dani Suviyanto

Seniman Makassar Biennale 2019 Suguhkan Topik Migrasi dan SungaiMakassar Biennale/Artefact.id

Davi Suviyanto, seniman kelahiran Madiun 22 November 1991, mengangkat hubungan laut sebagai "pintu gerbang" menuju sungai, bukan sebaliknya. Instalasi yang terbuat dari gabungan kayu dan bambu ini membentuk rakit dengan empat kaki. Tak lupa, ada beberapa karung goni serta timbangan, ditambah patung sekawanan kuda tepat di bawah karya bertajuk "Telapak Rakit" ini.

Sang seniman mendasarkan instalasi ini dari hubungan antara penduduk gunung dan pesisir Pantai Mandar, Sulawesi Barat. Para penduduk harus melewati Sungai Karama menuju Sampaga, wilayah Mamuju, ketika membawa hasil buminya. Penduduk dari wilayah pegunungan yang membawa kopi, kain tenun, kakao atau lain-lain, kemudian melakukan proses barter dengan bawaan penduduk pesisir seperti ikan kering, garam dan sebagainya.

Setelah proses barter rampung, penduduk pegunungan kembali ke kediaman bersama kuda yang bertindak sebagai pembawa muatan.

3. "Moon Echo: Realm Where the Voice Separated From the Body", Hiroshi Mehata

Seniman Makassar Biennale 2019 Suguhkan Topik Migrasi dan SungaiMakassar Biennale/Artefact.id

Instalasi dari seniman kontemporer Jepang, Hiroshi Mehata, ini coba bermain-main dengan suara. Ia berangkat dari fakta bahwa di era internet, komunikasi suara perlahan-lahan tergeser oleh komunikasi visual. Hiroshi kemudian menata sebuah meja menjadi "laboratorium kecil" untuk alatnya yang berfungsi sebagai pemisah suara dari tubuh. Atau menurut istilahnya, menunda suara.

Dan instalasi ini menarik perhatian karena mengajak para pengunjung untuk merasakan pengalaman intim dengan suara. Hiroshi menginginkan manusia kembali merenungkan makna dari bunyi-bunyi hingga cara manusia berkomunikasi. Latar belakangnya sebagai musisi, ia menumpah rasa antusias atas eksperimen mengajak orang lain bermain-main dengan suara.

4. "Passauq Wai: Perempuan Tangguh dari Tinambung", Yusuf Wahil

Seniman Makassar Biennale 2019 Suguhkan Topik Migrasi dan SungaiMakassar Biennale/Artefact.id

Passauq Wai --bahasa Mandar dari "penimba air"-- adalah galeri singkat dari fotografer lepas kawakan asal Makassar, Yusuf Wahil. Ia mengajak para pengunjung melihat lebih dekat perjuangan para pengangkut air, yang mayoritas di antaranya perempuan, yang tinggal di sekitar Sungai Mandar mengakhiri rasa dahaga.

Pasokan air bersih dari pipa-pipa PDAM yang bersumber dari Sungai Mandar berjarak 10 kilometer dari pemukiman warga. Namun seiring waktu, rasa air berubah payau. Keran-keran kini jaran digunakan. Warga mengatasi hal ini dengan menggali sumur-sumur kecil di pinggiran Sungai Mandar yang berfungsi sebagai pemasok air bersih.

Dalam kedua belas foto ini, tersaji lika-liku Passauq Wai beraktivitas sejak pagi buta. Saat menuju sumur-sumur penyaring tersebut, para perempuan tangguh ini harus membelah sungai, menceburkan diri bersama puluhan, hingga ratusan, jeriken kosong yang disatukan dalam untaian.

5. "Memori Sungai Sebagai Halaman Depan", FindArt Space

Seniman Makassar Biennale 2019 Suguhkan Topik Migrasi dan SungaiMakassar Biennale/Artefact.id

Sungai adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan warga Sulawesi Selatan. Ada tiga Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berperan sebagai nadi seluruh aktivitas masyarakat di provinsi ini yakni Sungai Jeneberang, Sungai Saddang dan Sungai Walanae. Belum menghitung jumlah anak sungai yang berjumlah kurang dari 300.

Karya dari kelompok seniman lokal Makassar, FindArt Space, yang berjumlah lima orang ini coba menampilkan mitos-mitos yang ikut mengalir dalam khazanah kepercayaan, adat-istiadat, tradisi dan budaya masyarakat. Pemaparannya pun unik, di mana sebuah patung bambu menyerupai binatang buaya bersanding serasi bersama sesaji.

Tertarik melihat ejawantah sikap dan pemikiran seniman atas masalah Migrasi - Sungai - Kuliner dalam karyanya? Masih ada waktu hingga 15 September mendatang untuk menikmati karya-karya seni di atas.

Baca Juga: Lokakarya SHOW, Saat Pelaku Industri Kreatif Makassar Perkenalkan Diri

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya