[FOTO] Makassar Biennale 2019 Memaknai Kebebasan di Bulukumba

Riuh rendah gelombang kesenian di Roemah Pendjara

Makassar, IDN Times - Ketika Makassar Biennale (MB) 2019 rampung pada 15 September silam, mereka tak langsung vakum dan kembali sibuk dengan proses kurasi untuk helatan dua tahun berikutnya. Mereka mengepak barang-barang dan peralatan, kemudian bertolak menuju Bulukumba, kota yang berjarak 169 kilometer dari Makassar.

Di kota berjuluk "Butta Panrita Lopi" (Tanah Para Pelaut Ulung) tersebut, MB 2019 memilih venue yang cukup unik yakni Tarungku Toae, penjara tua yang terletak di perempatan Jalan Jenderal Sudirman, tak jauh dari pusat perkantoran Pemerintah Kabupaten Bulukumba. Tarung Toae sendiri kini menjadi tempat Teater Kampong, sebuah kelompok kesenian lokal, menggerakkan roda seni drama panggung.

Ruang-ruang yang pernah digunakan sebagai tempat mengurung tubuh dan pikiran manusia, diubah menjadi tempat di mana makna kebebasan digali sedalam mungkin. Orang-orang saling bercengkerama dengan akrab membahas topik apapun, seolah tak peduli dengan makna penjara yang lekat dengan suasana muram khas pasungan.

1. Salah satu sudut perempatan Jalan Jenderal Sudirman, venue Makassar Biennale Bulukumba dihelat. Letaknya pun strategis, yakni tepat di tengah kota di mana lalu lintas peradaban manusia bertemu setiap harinya.

[FOTO] Makassar Biennale 2019 Memaknai Kebebasan di BulukumbaMakassar Biennale/Artefact.id

2. Roemah Pendjara, atau Tarungku Toae, salah satu cagar budaya milik Pemerintah Kabupaten Bulukumba, disulap menjadi instalasi seni selama sepekan penuh. Bangunan yang dulu dipakai mengurung manusia, berubah sebagai tempat manusia "membebaskan dirinya".

[FOTO] Makassar Biennale 2019 Memaknai Kebebasan di BulukumbaMakassar Biennale/Artefact.id

3. Makassar Biennale 2019 di Bulukumba pada Senin 16 September 2019 diawali sebuah seremoni sederhana yang dihadiri langsung oleh Wakil Bupati Bulukumba, Tomy Satria Yulianto, dan beberapa budayawan setempat.

[FOTO] Makassar Biennale 2019 Memaknai Kebebasan di BulukumbaMakassar Biennale/Artefact.id

Baca Juga: [WANSUS] Suara, Bahasa, dan Klakson Makassar Menurut Kuping Hiroshi Mehata

4. Animo publik Bulukumba atas Makassar Biennale 2019 cukup tinggi. Tarungku Toae bahkan dipadati masyarakat setempat yang hendak menyaksikan dari dekat satu-satunya acara kesenian di Indonesia Timur tersebut.

[FOTO] Makassar Biennale 2019 Memaknai Kebebasan di BulukumbaMakassar Biennale/Artefact.id

5. MB 2019 turut mengajak publik Bulukumba berpartisipasi. Mereka menyediakan sebuah ruangan di mana para pengunjung bisa menulis isi pikiran mereka saat itu, kemudian ditempel pada sebidang kain yang telah disiapkan.

[FOTO] Makassar Biennale 2019 Memaknai Kebebasan di BulukumbaMakassar Biennale/Artefact.id

6. Pada Senin 16 September 2019 siang, budayawan Bulukumba dan pendiri Teater Kampong, Achmad Arsyaf Pabottingi, berkesempatan membeberkan sejarah teater di Indonesia serta pasang surut yang dialaminya ketika berkecimpung di dunia teater sejak tahun 1979.

[FOTO] Makassar Biennale 2019 Memaknai Kebebasan di BulukumbaMakassar Biennale/Artefact.id

7. Salah satu acara rutin MB 2019 di Bulukumba adalah "Malam Tiba-Tiba", di mana para pengunjung disuguhkan pemutaran film, pertunjukan teater serta pembacaan puisi.

[FOTO] Makassar Biennale 2019 Memaknai Kebebasan di BulukumbaMakassar Biennale/Artefact.id

8. Salah satu pengunjung menyaksikan dari dekat pameran foto bertema "Maritim", tema abadi Makassar Biennale, karya tiga fotografer yang dipamerkan di Sel IV Tarungku Toae. Mereka adalah Rahmat Alfian ("Panambe Riwayatmu Kini"), Ahmad Nadir ("Timo' Ri Togambang"), dan Syamsurya Pratama ("Beppa Na Bale Ri Cekkeng").

[FOTO] Makassar Biennale 2019 Memaknai Kebebasan di BulukumbaMakassar Biennale/Artefact.id

9. Ketiga fotografer juga diberi kesempatan menjelaskan makna, proses kreatif dan harapan akan budaya Maritim di lingkup sosial dalam kesempatan wicara seniman pada Rabu 18 September 2019.

[FOTO] Makassar Biennale 2019 Memaknai Kebebasan di BulukumbaMakassar Biennale/Artefact.id

Baca Juga: Makassar Biennale 2019: Migrasi, Sungai dan Kuliner dalam Kesenian

10. Pada hari Rabu (18/9) sore juga, sebuah diskusi perihal Jurnal Residensi bertajuk "Emba Na" yang dilakukan seniman residensi Fan Chon Hoo (Penang, Malaysia) dan Anitha Slyvia (Surabaya) ketika mengeksplorasi dan mendalami keseharian warga Bulukumba mulai dari politik lokal hingga ketika menonton pertandingan sepak bola di warung kopi. Turut serta dalam diskusi ini yakni beberapa anggota dari Forum Anak Bulukumba.

[FOTO] Makassar Biennale 2019 Memaknai Kebebasan di BulukumbaMakassar Biennale/Artefact.id

11. Isi dari ruangan "Pura-Pura Melukis" ketika dilihat dari jarak dekat. Dalam penjara yang cukup sempit, para pengunjung disuguhkan beberapa lukisan dengan berbagai tema seperti sejarah lokal hingga panorama laut lepas.

[FOTO] Makassar Biennale 2019 Memaknai Kebebasan di BulukumbaMakassar Biennale/Artefact.id

12. Gelaran "Malam Tiba-Tiba" pada Rabu 18 September 2018 diisi oleh pembacaan dan musikalisasi puisi dari Teater Kampong dan qasidah oleh UKM Eppa Sulapa STAI Al Gazali Bulukumba.

[FOTO] Makassar Biennale 2019 Memaknai Kebebasan di BulukumbaMakassar Biennale/Artefact.id

13. Teater Kampong berkesempatan menyajikan secuil dari 40 tahun perjalanan mereka di panggung kesenian Bulukumba melalui tulisan pendek dan sejumlah poster pertunjukan lawas.

[FOTO] Makassar Biennale 2019 Memaknai Kebebasan di BulukumbaMakassar Biennale/Artefact.id

Baca Juga: Seniman Makassar Biennale 2019 Suguhkan Topik Migrasi dan Sungai

14. Eit, siapa bilang ke gelaran seni harus selalu mikir? Di Bulukumba, panitia MB 2019 mengajak para pengunjung untuk menikmati hidup lewat permainan. Salah satunya lewat bulutangkis dengan peralatan sederhana.

[FOTO] Makassar Biennale 2019 Memaknai Kebebasan di BulukumbaMakasssar Biennale/Artefact.id

15. Seniman residensi asal Jakarta, Pingkan Polla, berkesempatan membagi kiat-kiat manajemen seni di Sel Wanita Tarungku Toae pada Kamis 19 September 2019. Sejumlah hal dibahas mulai dari persiapan sebuah pementasan hingga mencari mitra penyokong.

[FOTO] Makassar Biennale 2019 Memaknai Kebebasan di BulukumbaMakassar Biennale/Artefact.id

16. Kuliner yang menjadi salah satu subtema Makassar Biennale 2019 tak lupa disuguhkan. Pada Jumat 20 September 2019, sebuah lokakarya bertajuk "Bazar Kue Tradisional dan Pembuatan Minyak Kelapa secara Tradisional" dilangsungkan. Belajar sambil ngemil, yummy!

[FOTO] Makassar Biennale 2019 Memaknai Kebebasan di BulukumbaMakassar Biennale/Artefact.id

17. Juga pada hari Jumat (20/9), pengunjung diajak belajar dasar-dasar teknik merajut bersama Riuh Project. Siapa bilang merajut hanya identik dengan gender tertentu?

[FOTO] Makassar Biennale 2019 Memaknai Kebebasan di BulukumbaMakassar Biennale/Artefact.id

18. Jumat (20/10) malam, Pingkan Polla bersama Teater Kampong mengadakan presentasi publik dengan tajuk "Ujung Bulu Melayar" di Gedung Bisokop Surya yang tak lagi terpakai. Mereka membawa para pengunjung dalam pengalaman pertunjukan unik dengan medium hanya berupa kertas minyak dan sebuah lampu sorot.

[FOTO] Makassar Biennale 2019 Memaknai Kebebasan di BulukumbaMakassar Biennale/Artefact.id

19. Gelaran Makassar Biennale 2019 di Bulukumba ditutup pada Minggu 22 September. Dalam kesempatan tersebut Teater Kampong mementaskan drama adaptasi dari cerita rakyat Tanah Toa Kajang yakni "Batara Daeng Ri Langi".

[FOTO] Makassar Biennale 2019 Memaknai Kebebasan di BulukumbaMakassar Biennale/Artefact.id

Selama satu pekan, mulai dari 16 hingga 22 September 2019 kemarin, Makassar Biennale menebar riuh rendah kesenian dari tengah kota. Menurut Selvy Anggraini Syarif, perwakilan tim kerja MB 2019, pemilihan Bulukumba tak lepas dari ikatan para pegiat di kota tersebut dalam kegiatan-kegiatan literasi. Hubungan antara Makassar dan Bulukumba kemudian menjadi modal berharga untuk kerja sama.

MB 2019 di Bulukumba sendiri mengangkat tema "Migrasi Tinghoa di Bulukumba" yang merekam secara cermat dan menyajikan secara unik proses akulturasi mesyarakat peranakan melalui proses residensi seni, teater, tari, pengarsipan, riset foto dan sejumlah lokakarya. Sejumlah komunitas, pelajar, pegiat literasi, hingga jurnalis yang jumlahnya mencapai puluhan orang.

Baca Juga: Makassar Biennale 2019: Mengajak Masyarakat Berdamai dengan Sungai

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya