TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Menengok Produksi Gula Merah Lontar Tradisional di Jeneponto

Diolah dengan cara tradisional banget

Proses pemanasan adonan gula merah. IDN Times/Muizzu Khaidir

Jeneponto, IDN Times - Gula merah merupakan bahan utama pada berbagai jenis masakan Indonesia, utamanya penganan khas berbagai daerah di nusantara. Mulai dari es dawet, es cendol, kue cucur, hingga kue tepung beras isi gula merah. Selain rasa manis, gula merah juga membuat masakan lebih gurih. Meski begitu, belum banyak diketahui bahwa gula merah terdiri dari beberapa varian.

Di Jeneponto, Sulawesi Selatan, gula merah diperoleh dari hasil olahan sari bunga pohon lontar. Pohon ini merupakan tumbuhan paleman-paleman, seperti kelapa dan nira atau enau. Membuat gula merah jadi pekerjaan banyak orang di Jeneponto. Ribuan pohon lontar tumbuh subur di daerah ini. Salah satunya di Desa Taipa Kalongkong, Kecamatan Tamalatea.

Di desa itu, kami menemui seorang ibu bernama Sangka'. Dia adalah pembuat gula merah tradisional. Kami beruntung bisa bertemu dan melihat langsung proses pembuatan gula merah.

1. Proses produksi masih tradisional

Proses pemanasan adonan gula merah. IDN Times/Muizzu Khaidir

Pada siang yang terik di Jeneponto, Senin, 12 Oktober 2020, Sangka' mengaduk cairan dari sari nira di dalam belanga besar di atas tungku tanah liat. Berjam-jam Sangka' mengaduk hingga adonan mengental dan berwarna kecokelatan. Adonan lalu dituang ke dalam cetakan yang terbuat dari batok kelapa.

Aktivitas itu dilakukan Sangka' saban pagi hari, mulai pukul 06.00 hingga matahari berada di atas cakrawala Bumi Turatea.   

"Biasanya saya mulai masak pagi hari sampai siang. Mengaduk terus sampai mengeras," kata wanita kelahiran Tolo', Jeneponto.

Baca Juga: Menyantap Lammang Bambu Bakar Khas Jeneponto

2. Produksi gula merah lebih banyak dilakukan pada musim kemarau

Gula merah yang telah dituangkan ke dalam batok kelapa. IDN Times/Muizzu Khaidir

Sangka' bisa memproduksi sekitar 40 biji gula merah setiap hari. Menurutnya, pembuatan gula lebih banyak dilakukan pada musim kemarau. Lantaran, pohon lontar menghasilkan lebih sedikit sari bila hujan datang terlalu sering.

Selain sari lontar, Sangka' menggunakan bubuk kalsium sebagai bahan campuran adonan gula merah. Kalsium berguna untuk mengeraskan adonan dan memberi warna kemerahan saat adonan diolah. Biasanya bubuk kalsium dibelinya seharga Rp400 ribu per kardus.

"Dan ditambahkan air secukupnya. Hanya itu saja campurannya," ucap ibu tiga anak itu.

3. Suami dan anak Sangka' memanjat 40 pohon lontar setiap hari

Proses percetakan gula merah dari pohon lontar. IDN Times/Muizzu Khaidir

Sangka' bertugas mengolah sari lontar. Sementara sang suami dan anaknya berperan memanjat lalu menyadap sari bunga dari sektiar 40 pohon per hari.

Biasanya proses pengambilan sari lontar dilakukan dua kali dalam sehari, yaitu pada pagi dan siang hari. Suami dan anaknya berangkat subuh lalu pulang membawa hasil sadapan pada pukul 9 pagi. Lalu mereka kembali memanjat lontar pukul 2 siang - 4 sore.

"Tidak boleh terlalu lama diambil airnya, nanti kecut dan sudah tidak bisa dibuat gula kalau airnya sudah kecut," jelas Sangka' yang telah bekerja sebagai pembuat gula merah kurang lebih 15 tahun.

Baca Juga: Kala Joki Cilik Jeneponto Meraup Rezeki dari Pacuan Kuda

Berita Terkini Lainnya