Polisi: Banjir Bandang Luwu Utara Bukan karena Perusakan Hutan
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Makassar, IDN Times - Tim khusus di Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan menyimpulkan penyelidikan terhadap banjir bandang di Luwu Utara. Kejadian pada 13 Juli 2020 itu disebut bukan terjadi karena perusakan hutan.
Polda Sulsel menerima laporan bahwa diduga banjir yang menelan puluhan jiwa terjadi karena dampak pembalakan liar. Tapi sejauh ini, fakta-fakta di lokasi belum menuju ke dugaan itu.
"Sesuai fakta yang kita dapat di lapangan, kita dapatkan bukan karena illegal loging, eksploitasi hutan dan lain-lain. Tapi memang karena faktor alam," kata Direktur Direktur Reserse Krimsus Polda Sulsel Kombes Agustinus Pangaribuan kepada IDN Times, Kamis (6/8/2020).
Baca Juga: Walhi Minta Presiden Evaluasi soal Banjir Bandang di Luwu Utara
1. Polisi memeriksa tokoh masyarakat hingga pejabat desa
Polda Sulsel menurunkan tim ke Luwu Utara usai banjir bandang menerjang sejumlah wilayah di sana. Saat ditanyai lebih lanjut soal hasil penyelidikan, Agustinus belum bersedia mengungkapkannya. Yang jelas, kata dia, penyebab banjir di Luwu Utara murni bencana yang disebabkan faktor alam.
"Seperti itu intinya," ucap Agustinus.
Selama penyelidikan, polisi, kata Agustinus, mengambil keterangan sejumlah saksi. Antara lain masyarakat di daerah terdampak banjir dan sekitarnya, serta unsur-unsur dari pemerintah.
"Banyak saksi-saksi. Masyarakat, dari kantor desa, dan lain-lain," katanya.
2. WALHI menyebut kawasan hulu dieksploitasi
Sebelumnya Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengungkap bahwa banjir Luwu Utara disebabkan eksploitasi hutan. Sejumlah kawasan hutan disebut telah beralih fungsi jadi perkebunan kelapa sawit, di samping pembalakan liar yang marak terjadi beberapa tahun terakhir.
Direktur Walhi Sulsel Muhammad Al Amin menyebut salah satu bukti pembalakan hutan adalah maraknya ditemukan tumpukan kayu yang terbawa material banjir. Diduga kayu-kayu merupakan bekas pembabatan hutan sebelum terjadi bencana. Selain itu, dia menyebut hasil pemetaan dan analisis citra satelit menunjukkan terjadi penggundulan kawasan hulu.
"Sekarang hutan kita tinggal di utara Sulsel. Kalau ini terus dirusak, maka yakin dan percaya potensi ancaman bencana bisa terjadi. Terutama di musim penghujan," kata Amin.
3. Banjir Luwu Utara tewaskan 38 orang
Usai banjir, puluhan orang dinyatakan hilang. Operasi pencarian oleh tim SAR gabungan menemukan 38 korban meninggal dunia. Sedangkan sembilan orang lain belum ditemukan.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sulsel mencatat sebanyak 14 ribu orang lebih terdampak banjir. Mereka berasal dari tiga kecamatan, yakni Sa'bang, Baebunta, dan Masamba. Bencana juga mengakibatkan 4.202 unit, sekolah 9 unit, 13 unit rumah ibadah yang terdiri dari 12 masjid dan satu gereja rusak.
Baca Juga: Banjir Kembali Menerjang Masamba Luwu Utara