TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Nelayan Kodingareng Terjepit Cuaca Buruk dan Dampak Tambang Pasir Laut

Nelayan Kodingareng melaut namun ikan hilang karena tambang

Nelayan Pulau Kodingareng menolak kapal penambang pasir beroperasi. Dok. Walhi Sulsel

Makassar, IDN Times - Musim hujan menjadi momok yang cukup mengkhawatirkan bagi nelayan di Pulau Kodingareng, Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel). Cuaca yang tidak menentu membuat mereka jadi kesulitan menangkap ikan di laut.

Begitulah yang dirasakan oleh Ikbal Usman, seorang nelayan di Pulau Kodingareng. Ikbal hanya satu dari sekian banyak nelayan di sana yang mengalami masalah saat menjaring ikan di musim hujan

Kepada IDN Times, Jumat (1/1/2021), Ikbal mengatakan angin kencang dan gelombang tinggi mulai terjadi sejak 29 Desember 2020 lalu. Hal itu sontak membuatnya kesulitan melaut. Imbasnya tentu saja pada menurunnya pendapatan nelayan. 

"Karena banyak nelayan saya tanya ada yang bahkan sudah hampir 1 bulan tidak pernah mendapatkan hasil," kata Ikbal yang juga Ketua Nelayan Kodingareng ini.

1. Nelayan tetap melaut meski cuaca buruk

Kapal nelayan di Pulau Kodingareng. Dok. Ikbal Usman

Namun meski cuaca buruk, Ikbal memilih untuk tetap melaut walau kadang tak ada hasil tangkapan sama sekali. Tapi, menurut dia, melaut lebih baik ketimbang berdiam diri di rumah. Sebab ada anak istri yang harus dinafkahi.

Namun keputusan Ikbal untuk melaut semua tergantung pada situasi dan kondisi saja. Jika angin kencang, maka dia akan langsung pulang dan tak jadi melaut. 

"Melautnya tidak teratur lagi. Daripada tidak melaut, setengah mati juga karena tidak ada pekerjaan lain kalau di pulau. Jadi otomatis harus ke laut," jelasnya. 

Gelombang tinggi akibat cuaca buruk, kata Ikbal, jelas sangat berpengaruh pada aktivitas nelayan. Sebab di Pulau Kodingareng, sebagian besar nelayan hanya menggunakan perahu kecil. Hanya beberapa saja nelayan yang menggunakan kapal besar. 

Ikbal termasuk nelayan yang hanya menggunakan perahu kecil. Dia menangkap ikan dengan menjaring atau memanah. 

"Kalau kapal di sini cuma 5. Yang lain perahu. Jadi tidak bisa kalau terlalu besar ombak. Karena rawan tenggelam kalau perahu kecil begitu, apalagi fiber," kata Ikbal.

2. Gelombang tinggi sering terjadi di musim hujan

Kondisi gelombang air laut di pesisir Pulau Kodingareng. Dok. Ikbal Usman

Menurut Ikbal, gelombang tinggi memang biasa terjadi setiap musim hujan. Namun baru kali ini gelombang benar-benar tinggi hingga berdampak pada tempat tinggalnya. Terakhir kali hal itu terjadi sekitar tahun 2000.

Pada masa tersebut, kata Ikbal, gelombang juga sangat tinggi akibat cuaca buruk. Kala itu, pasir sampai memasuki rumah mereka dan sebagian lagi mengakibatkan abrasi.

"Barusan lagi terjadi begini. Karena barusan lagi na dapat naik, biasanya tidak sampai naik di tembok rumah. Mungkin cuaca atau bagaimanakah. Karena memang di sini kalau musim barat kencang tapi baru ini lagi air naik," katanya.

Dia mengaku kenaikan permukaan air laut di waktu-waktu tertentu bahkan telah menutupi sekitar 30 meter tanahnya. Sebab, kata Ikbal, dulu di belakang rumahnya ada sebuah rumah yang kini telah hilang. Yang ada hanya tanah kosong yang langsung berhadapan dengan garis pantai.

"Sekarang dapur saya sekitar 8 meter sudah hilang. Tapi sampai saat ini belum ada dari pemerintah bagaimana solusinya," katanya.

Baca Juga: Merasa Terintimidasi, Nelayan Kodingareng Tinggalkan Pulau

3. Pendapatan nelayan berkurang drastis

Dermaga Pulau Kodingareng Lompo. IDN Times/Walhi Sulsel

Gelombang tinggi dan cuaca ekstrem diakui Ikbal jelas membuat pendapatannya berkurang. Tapi dia menyebut kondisi ini sebenarnya lebih dipengaruhi oleh aktivitas penambangan pasir laut. 

Sebelum ada aktivitas tambang pasiri laut, jelas Ikbal, nelayan Kodingareng mampu mendapatkan ikan tenggiri. Kini, para nelayan sangat sulit mendapat ikan tersebut.

"Air keruh, kemudian di lokasinya itu tengiri di situ kapal menambang. Makanya dipengaruhi nelayan di situ. Jadi biasanya kalau naik tengiri dia simpan untuk musim barat," kata Ikbal.

Ikbal menuturkan bahwa biasanya nelayan setempat selalu menyimpan cadangan untuk musim barat karena di musim ini angin kencang kerap terjadi dan sulit diprediksi. Berbeda dengan musim timur yang lebih bisa diprediksi.

"Kalau musim timur yang kita tahu hanya ada ombak saja. Kalau ada angin dan hujan di situ biasa orang takut. Karena tidak melihat, dingin," katanya.

Baca Juga: WALHI-KIARA Jelaskan Dampak Tambang Pasir terhadap Nelayan Kodingareng

4. Penurunan pendapatan nelayan juga dipengaruhi aktivitas tambang pasir laut

Kapal penambang pasir laut di sekitar Pulau Kodingareng Lompo. IDN Times/Walhi Sulsel

Sebelum ada aktivitas tambang, nelayan mampu mendapatkan keuntungan hingga jutaan rupiah. Bahkan, kata Ikbal, pernah ada nelayan yang penghasilannya mencapai hingga Rp20 juta per hari karena menjual ikan tenggiri. 

Nelayan yang memanah biasanya mendapatkan sebanyak 20 ekor ikan tenggiri. Jika dijual tentu mendapatkan banyak keuntungan. Sebab ikan tenggiri ini biasa dibanderol dengan harga sekitar Rp80 ribu per kilo. Satu ekor saja jika ditimbang beratnya mencapai 6 kilo ke atas.

"Sekarang banyak sekali pemancing tengiri yang mengeluh. Ada yang hampir 1 bulan tidak pernah dapat tengiri, Ada juga yang dapat tengiri tapi menurun. Di laut kan ada itu rumahnya, kalau rumahnya terganggu otomatis akan pindah," kata Ikbal.

Sebelum ada aktivitas tambang pasir laut, mereka mampu menangkap ribuan ekor ikan dalam sehari. Tak sedikit dari mereka yang mendapatkan 1000 - 2000 ekor ikan. 

Namun Ikbal mengaku sejak adanya tambang tersebut, pendapatan mereka turun secara drastis. Dia sendiri pun belum bisa memprediksi apa yang akan terjadi ke depan jika kondisi terus-menerus seperti ini. 

"Tapi sekarang tidak ada lagi didengar begitu. Tidak ada lagi didengar dapat 7 ekor, paling tinggi 3 ekor," katanya.

Baca Juga: [KALEIDOSKOP] Jalan Terjal Nelayan Kodingareng Menolak Tambang Pasir

Berita Terkini Lainnya