[KALEIDOSKOP] Jalan Terjal Nelayan Kodingareng Menolak Tambang Pasir

Dua orang nelayan sempat ditangkap Dirpolair Polda Sulsel

Makassar, IDN Times - Tahun 2020 jadi masa penuh cobaan bagi nelayan Pulau Kodingareng, Kecamatan Sangkarrang, yang berjarak 13,8 kilometer dari garis pantai Kota Makassar. Mempertahankan kelestarian laut dari eksploitasi dan kerusakan, jadi misi penting mereka selama beberapa bulan terakhir.

Namun, dari penuturan mereka, tak ada keadilan dalam perjuangan di laut lepas. Perahu-perahu sederhana tak sanggup melawan kapal penambang pasir berukuran raksasa. Suara-suara protes turut dibungkam. Ada dugaan kriminalisasi menyeruak.

Berikut ini IDN Times menyusun kronologi getolnya penolakan para nelayan Kodingareng. Ini juga sebagai pengingat bahwa polemik rumit di lepas laut Kota Makassar masih berlangsung hingga detik ini.

1. Kabar sengketa antara nelayan Kodingareng dengan perusahaan tambang pasir mencuat pada bulan Juli

[KALEIDOSKOP] Jalan Terjal Nelayan Kodingareng Menolak Tambang PasirNelayan Pulau Kodingareng menolak kapal penambang pasir beroperasi. Dok. Walhi Sulsel

Jumat 24 Juli : Dalam konferensi pers via daring bersama Koalisi Selamatkan Laut Indonesia, cerita tentang derita warga Kodingareng mulai mencuat ke publik. Zakiah, salah satu istri nelayan, menyebut kapal pengeruk pasir sudah beroperasi sejak Maret 2020.

Ia dan warga lain mengaku tak mendapat informasi dari pemerintah tentang aktivitas tambang pasir laut. "Supaya warga di sini juga bisa dikasih pertimbangan, pendapat. Karena kami di sini hidup dari melaut," ujar Zakiah.

Dampak dari aktivitas pertambangan? Warga mengaku sulit mencari ikan, sedangkan air laut jadi keruh. "Bagaimana mau dapat ikan kalau laut airnya coklat. Terumbu karang hancur," kata Zakiah kala itu.

Unjuk rasa sempat dilakukan di tengah laut. Upaya pengadangan pun ditempuh. Namun tetap tak ada dari pihak penambang pasir yang mau menemui mereka. Warga bahkan sempat berunjuk rasa di Rumah Jabatan Gubernur Sulawesi Selatan, pada Kamis 23 Juli. Tapi warga gagal bertemu Gubernur Nurdin Abdullah.

Ketua Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Indonesia, Merah Johansyah mengungkap, PT Boskalis, perusahaan penambang asal Belanda, melanggar kesepakatan bersama tanggal 8 Juli 2020 tentang penghentian aktivitas di wilayah Perairan Sangkarrang, Kodingareng. Ini adalah kesepakatan menurut hasil dialog virtual bersama Duta Besar Belanda, Lambert Grinjs. Namun, mereka kembali beroperasi secara diam-diam pada 16 Juli.

Corporate Secretary PT Pelindo IV (Persero) Dwi Rahmad Toto pernah mengklaim bahwa aktivitas penambangan pasir untuk Makassar New Port sudah sesuai ketentuan. Ini sesuai Peraturan Daerah Sulsel Nomor 2 Tahun 2019, dengan lokasi lebih dari seribu hektare.

Dwi mengklaim aktivitas tambang takkan berdampak parah, atau sampai menenggelamkan pulau. Kata dia, lokasi penambangan pasir sangat luas. Jumlah depositnya mencapai lebih dari 200 juta meter kubik pasir. Pasir yang disedot pun maksimal hanya pada kedalaman 2 meter saja.

2. Salah satu nelayan ditangkap pada Agustus dengan tuduhan perusakan mata uang

[KALEIDOSKOP] Jalan Terjal Nelayan Kodingareng Menolak Tambang PasirAktivitas masyarakat Pulau Kodingareng. IDN Times/Walhi Sulsel

Senin 3 Agustus : Kepolisian memulai pemeriksaan tiga nelayan Kodingareng (Manre, Suardi dan Sarti) karena masalah perobekan uang kertas. Diduga para nelayan merobek uang yang diberikan oleh perusahaan penambang pasir, sebagai upah saat menggelar survei lokasi.

"Dari Facebook (tempat video perobekan diunggah) itu anggota ada yang mengetahui, ini merupakan tindak pidana (perusakan) mata uang, kemudian anggota memuat laporan polisi model A," ujar Direktur Polisi Perairan (Dirpolair) Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan saat itu, Kombes Pol Hery Wiyanto. Namun, menurut WALHI Sulsel, pemeriksaan ini merupakan bagian dari upaya kriminalisasi nelayan.

Selasa 4 Agustus : Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Makassar menilai, kepolisian cacat prosedur hukum dalam menangani kasus dugaan perobekan uang. "Dari semua rangkaian jika dicermati proses pemeriksaan kasus ini begitu cepat sehingga mengabaikan prinsip due process of law. Dalam artian terlapor tidak diberikan kesempatan untuk memberikan klarifikasi pada tahap penyelidikan, namun langsung dipanggil dengan status sebagai saksi dalam tahap penyidikan," kata pendamping hukum nelayan dari LBH Makassar, Edy Kurniawan.

Jumat 14 Agustus : Petugas Direktorat Polair (Ditpolair) Polda Sulsel menangkap Manre, 40 tahun, di kawasan dermaga Kayu Bangkoa, Jalan Pasar Ikan, Makassar. Ia ditetapkan sebagai tersangka kasus perusakan mata uang rupiah asli. Ia dijerat dengan Pasal 35 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang Negara. Manre diancam hukuman di atas lima tahun penjara. Dirpolair Polda Sulsel Kombes Pol Hery Wiyanto mengatakan penetapan tersangka hingga penahanan sudah sesuai dengan prosedur hukum. Hery menyebut Manre ditangkap dan ditahan karena tidak menghadiri panggilan pemeriksaan sebagai tersangka, pekan sebelumnya.

Sabtu 15 Agustus : Polair Kepolisian Daerah Sulsel menerima laporan dari Royal Boskalis terkait dugaan perusakan fasilitas. Penyidik sudah memeriksa sebelas orang nelayan. Dalam laporan, mereka disebut membakar selang apung pelempar pasir dengan molotov. Surat undangan klarifikasi dilayangkan pada Minggu 9 Agustus, dan para nelayan telah menghadiri undangan pada Selasa 11 Agustus. "Itulah nelayan yang saya panggil klarifikasi. Kerugian kurang lebih Rp2 miliar," kata Hery Wiyanto.

3. Pada 23 Agutus, Ditpolair Polda Sulsel menangkap 12 nelayan yang kembali melakukan protes dan pengadangan kapal penambang pasir

[KALEIDOSKOP] Jalan Terjal Nelayan Kodingareng Menolak Tambang PasirPolair Polda Sulsel saat menangkap 12 orang usai aksi penolakan tambang pasir laut di Pulau Kodingareng. IDN Times/ASP

Selasa 18 Agustus : Upaya LBH Makassar mengajukan penangguhan penahanan Manre berujung buntu. Penyidik Direktorat Polair Polda Sulsel disebut menolak penangguhan. "Kami ajukan dengan jaminan istrinya, tapi tidak dikabulkan," kata penasihat hukum tersangka, Edy Kurniawan. Penangguhan penahanan diajukan sebab Manre adalah tulang punggung keluarga. Tersangka menghidupi istri dan anak-anaknya dari aktivitas sebagai nelayan. Hery Wiyanto mengatakan, penyidik belum mengabulkan penangguhan penahanan Manre karena penyidikan masih berjalan. 

Rabu 19 Agustus : LBH Makassar bakal menempuh upaya hukum lain untuk memperjuangkan nasib Manre. "Kami akan menempuh upaya praperadilan. Menggunakan hak Pak Manre sebagai tersangka, untuk mempersoalkan proses penetapannya (tersangka) yang menurut kami, sewenang-wenang," kata Edy Kurniawan.

Hery Wiyanto tidak mempersoalkan apabila pendamping hukum Manre, menempuh jalur praperadilan. "Silakan saja, itu haknya mereka, kalau mereka anggap ada yang salah dari proses hukum yang kami lakukan. Kami juga siap hadapi kalau jalur itu diambil," ungkapnya.

Sabtu 22 Agustus : Dukungan moril untuk Manre berdatangan dari masyarakat sipil, melalui petisi daring. Aliansi Selamatkan Pesisir membuat petisi desakan pembebasannya di laman change.org. "(Petisi) itu dibuat melalui Aliansi Selamatkan Pesisir sebagai upaya melibatkan publik dalam melihat dan mengawasi kasus kriminalisasi yang dialami Pak Manre ini," kata Muis, Staf Kampanye dan Dokumentasi Kasus LBH Makassar.

Minggu 23 Agustus : Polair Polda Sulawesi Selatan menenggelamkan beberapa perahu milik nelayan Kodingareng yang sedang melaut. Petugas juga menangkap paksa tiga orang pemilik kapal yakni Safaruddin, Faisal, dan Baharuddin. Ketiganya digelandang setelah kembali melakukan aksi protes berupa pengadangan kapal penambang pasir. Menurut Edy Kurniawan, adu mulut bahkan sempat terjadi.

Baca Juga: Ramai Dukungan, Polisi Didesak Bebaskan Manre Nelayan Kodingareng

4. Pada 3 September, Dirpolair Polda Sulsel resmi menangguhkan penahanan dua nelayan yang sempat ditetapkan sebagai tersangka di dua kasus berbeda

[KALEIDOSKOP] Jalan Terjal Nelayan Kodingareng Menolak Tambang PasirKantor Dirpolair Polda Sulsel. IDN Times/Sahrul Ramadan

Senin 24 Agustus : LBH Makassar belum mendapatkan izin dari penyidik Polair Polda Sulsel untuk mendampingi tiga nelayan Kodingareng yang ditangkap sehari sebelumnya. Kombes Pol Hery Wiyanto menyebut alasan pihaknya menolak pendampingan hukum sebab para nelayan belum diperiksa sebagai tersangka. "Nanti kalau sudah jadi tersangka, baru kita menanyakan (soal pendamping hukum)," ujar Hery.

Rabu 26 Agustus : Penyidik Polair Polda Sulsel kembali menetapkan satu nelayan asal Pulau Kodingareng, Makassar, sebagai tersangka. Kali ini nelayan diduga terlibat perusakan fasilitas kapal penambang pasir laut. "Atas nama Nasiruddin. Kasusnya pembakaran pipa di Makassar New Port (MNP)," ujar Hery.

Jumat 28 Agustus : LBH Makassar resmi mengajukan praperadilan terhadap Polair Polda Sulawesi Selatan terkait penangkapan Manre. Hery Wiyanto berpandangan, prosedur penyidikan pihaknya untuk tersangka Manre sudah sesuai dengan aturan perundang-undangan. Ia menyerahkan semua keputusan dalam proses praperadilan nantinya. "Kita juga punya ahli dalam pembinaan hukum yang akan menghadapi," katanya.

Di hari yang sama, Hery mengklaim bahwa Nasiruddin, nelayan yang ditetapkan sebagai tersangka perusakan fasilitas kapal penambang pasir laut, menolak didampingi kuasa hukum meski sudah diusulkan.

Kamis 3 September : Penyidik Polair Polda Sulsel, mengabulkan penangguhan penahanan dua orang nelayan Kodingareng. Mereka adalah Manre dan Nasiruddin, yang ditetapkan sebagai tersangka pada dua kasus berbeda. Hery Wiyanto menyebut dua nelayan sudah ditangguhkan penahanannya sejak Senin, 31 Agustus. "Masing-masing dari dua orang itu dijaminkan penangguhannya oleh istrinya," ujar mantan Direktur Ditreskrimum Polda Sulsel itu.

Baca Juga: WALHI-KIARA Jelaskan Dampak Tambang Pasir terhadap Nelayan Kodingareng

5. Berkunjung ke Sekretariat AJI Makassar pada 11 September, beberapa nelayan Kodingareng menegaskan menolak ganti rugi dari Royal Boskalis

[KALEIDOSKOP] Jalan Terjal Nelayan Kodingareng Menolak Tambang PasirWarga Pulau Kodingareng saat berkungjung ke Sekretariat AJI Makassar. IDN Times/Sahrul Ramadan

Jumat 11 September : Majelis hakim Pengadilan Negeri Makassar mencabut gugatan praperadilan Manre. Pertimbangannya, karena pemohon Manre sebelumnya telah mencabut resmi surat kuasa pendampingannya kepada LBH Makassar. Meski praperadilan dihapus dan penangguhan dikabulkan, proses hukum Manre terus berjalan. Pemanggilan pemeriksaan lanjutan akan dilakukan, tergantung dari pertimbangan penyidik.

Di hari yang sama, dalam kunjungan ke Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar, masyarakat Pulau Kodingareng secara tegas menolak pemberian uang sebesar Rp1 juta dari pihak perusahaan penambang pasir laut. Menurut Syukri, salah satu warga setempat, uang diberikan sebagai ganti rugi selama nelayan tidak melaut.

"Kami tidak butuh ganti rugi. Yang kami mau, penambangan pasir itu berhenti," kata Syukri. Pembagiannya dilaksanakan di salah satu hotel di Kota Makassar, Kamis 10 September. Namun warga tidak satupun yang mau menerima uang itu.

Sebelum kapal perusahaan penambang pasir beroperasi, Syukri mengaku bisa mendapat keuntungan Rp1,5 juta dari hasil tangkapannya. Namun, sejak kapal beroperasi di bulan Februari 2020, hasil laut yang bisa ia dapat semakin berkurang. "Bagaimana mau dapat? Air sudah keruh sekali karena ditambang," ujar Syukri.

6. Ditpolair Polda Sulsel kembali melanjutkan penyelidikan kasus dugaan perusakan fasilitas milik Royal Boskalis pada pertengahan September

[KALEIDOSKOP] Jalan Terjal Nelayan Kodingareng Menolak Tambang PasirNelayan Pulau Kodingareng Makassar membawa kapal mereka ke darat usai ditenggelamkan Polairud Polda Sulsel di perairan Makassar, Minggu (23/8/2020). Dok. ASP

Selasa 15 September : Sejumlah nelayan Pulau Kodingareng dikabarkan beranjak dari pulau karena merasa diintimidasi oknum aparat. Menurut siaran pers Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP), tekanan yang dirasakan nelayan berkaitan dengan penempatan sejumlah petugas polisi di wilayah Pulau Kodingareng. Berdasarkan catatan ASP, ada 12 orang nelayan Pulau Kodingareng yang dicari oleh Polair Polda Sulsel.

Hery Wiyanto mengatakan, pihaknya masih menyelidiki oknum nelayan yang terlibat dalam aksi berujung perusakan kapal penambang pasir. Sejak dilepasnya 12 orang yang sebelumnya tertangkap karena tidak cukup bukti, penyelidikan kemudian berlanjut.

Hery memimpin langsung penyisiran perburuan langsung terduga pelaku di Pulau Kodingareng. Di sana, pihaknya mendatangi rumah nelayan yang dicari melalui koordinasi aparatur pemerintahan setempat. Mulai dari Ketua RT hingga RW. Tapi rumah nelayan yang dicari ditinggal pemiliknya.

Menanggapi kabar bahwa adanya nelayan yang merasa terintimidasi, Hery menyampaikan agar nelayan kembali beraktivitas seperti biasanya. "Silakan, kalau memang tidak salah, tidak usah takut. Kami hanya mencari terduga pelaku yang terlibat," kata Hery.

Baca Juga: Nelayan Kodingareng Merasa Diteror karena Polisi Kerap Datang

7. Sejumlah nelayan Kodingareng memilih meninggalkan pulau sebab takut dan merasa terintimidasi

[KALEIDOSKOP] Jalan Terjal Nelayan Kodingareng Menolak Tambang PasirPerjuangan nelayan Pulau Kodingareng menolak tambang pasir laut. IDN Times/WALHI Sulsel

Senin 28 September : Pada konferensi pers yang digelar secara virtual, ASP menghadirkan seorang nelayan Kodingareng bernama Daeng Pasang. Ia mengungkapkan bahwa dia dan masyarakat setempat merasa terintimidasi dan seperti diteror oleh aparat kepolisian.

"Di situ alasannya mau silaturahmi, ternyata masuk ke rumah warga yang dia cari. Sampai bongkar lemari, katanya cari baju warga yang dipakai aksi," cerita Daeng Pasang.

Aktivitas personel Polair Polda Sulsel disebut membuat banyak warga ketakutan. Mereka khawatir suatu saat ditangkap, termasuk ketika sedang melaut. Karena alasan itu, sebagian nelayan memilih meninggalkan pulau. Mereka pergi mencari nafkah di tempat lain.

"Nelayan itu yang dicari, juga sudah tinggalkan rumahnya. Tidak tahu di mana sekarang. Yang jelas selama polisi masih sering ke sini, kami masih ketakutan," kata Daeng Pasang.

"Kita mau bagaimana lagi kalau terus-terus dikasih takut-takut begini. Kami hanya mau tambang pasir itu dicabut izinnya, dan berhenti," lanjutnya.

8. Upaya warga Kodingareng untuk bertemu langsung Gubernur Nurdin Abdullah selalu kandas

[KALEIDOSKOP] Jalan Terjal Nelayan Kodingareng Menolak Tambang PasirNelayan dan perempuan Kodingareng berunjukrasa di depan Kantor Gubernur Sulsel. IDN Times/Sahrul Ramadan

Rabu 10 Oktober : Puluhan nelayan dan perempuan Pulau Kodingareng kembali berunjuk rasa di depan Kantor Gubernur Sulawesi Selatan, Jalan Urip Sumoharjo. Mereka bermaksud menemui Gubernur Nurdin Abdullah untuk meminta penambangan pasir laut dihentikan.

"Aksi hari ini untuk memberikan surat permohonan penghentian tambang pasir laut kepada bapak Gubernur, yang diwakili masyarakat Kodingareng dan Galesong Utara," kata Ahmad, Koordinator ASP yang mendampingi warga.

"Surat itu berisi (permintaan) penghentian tambang pasir laut, yang ditandatangani kurang lebih 600 nelayan dari Kodingareng," ucap Ahmad.

Mereka ditemui Kepala Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup (DPLH) Sulsel Andi Hasdullah. Kepada pengunjuk rasa, Hasdullah berjanji segera menindaklanjuti surat tersebut.

"Akan kami teruskan ke Gubernur Sulsel untuk kemudian dikaji kembali bagaimana proses sesuai dengan tuntutan masyarakat," katanya.

Belum ada respons dari Gubenur Nurdin Abdullah hingga hari ini. Nurdin sendiri telah menegaskan bahwa proses pembangunan Makassar New Port, yang jadi sumbu pemantik konflik nelayan Kodingareng dengan perusahaan tambang pasir Royal Boskalis, tak boleh diganggu.

"Jadi itu memang nanti (Makassar) New Port itu sudah terintegrasi dengan kawasan industri. Makanya jangan dihalang-halangi itu reklamasi New Port," ungkapnya pada Selasa 22 September.

Baca Juga: Merasa Diabaikan, Warga Kodingareng Kirim Surat ke Gubernur Sulsel

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya