TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kepiting Didu, Dukungan Ekosistem Digital dan Upaya Pulih Kala Pandemi

Kisah sukses menerobos pasar kuliner dan upayanya bertahan

Kepiting Didu, pelopor kuliner kepiting berkualitas dengan harga terjangkau di Makassar. (Dok. IDN Times/Istimewa)

Makassar, IDN Times – Bagi sebagian orang, kepiting bukan makanan murah. Dibandingkan menu ayam atau ikan, seafood satu ini harganya cenderung lebih mahal. Biasanya kepiting juga cuma bisa ditemui di restoran atau rumah makan mewah.

Anggapan itu perlahan berubah saat di tahun 2017, seorang fotografer di Kota Makassar bernama Andi Erick memulai bisnisnya. Bersama sang istri, dia membawa kuliner kepiting ke pasar lebih luas. Warga Makassar jadi punya pilihan menyantap kepiting enak, berkualitas, namun menariknya, dengan harga merakyat.

Lewat usaha bernama Kepiting Didu, Erick jadi pelopor kuliner kepiting harga kaki lima dengan rasa bintang lima di kota Anging Mammiri. Menawarkan kepiting maddama, jenis khas dari Kecamatan Cenrana, Kabupaten Bone, yang terkenal sebagai komoditas ekspor. Bayangkan, seporsi masakan yang mesti kamu tebus di atas Rp300 ribuan di restoran, bisa kamu nikmati cuma seharga Rp60 ribu.

“Hari-hari itu memang sempat viral karena belum ada konsep seperti saya. Harga murah, tapi kualitas bagus. Jadi semua orang bisa menikmati, dari semua kalangan,” kata Erick saat berbincang dengan IDN Times di salah satu kafe kawasan Jalan Pettarani Makassar, Kamis, 27 September 2022.

Kepiting Didu merupakan salah satu usaha kuliner yang jeli memanfaatkan penjualan digital. Usaha itu tumbuh di tengah ramainya masyarakat memanfaatkan layanan pesan antar makanan. Pemasarannya juga banyak terbantu interaksi orang di media sosial.

Di sisi lain, Erick seperti umumnya pengusaha kuliner yang merasakan hantaman dampak pandemi COVID-19. Dia berupaya bertahan sembari pelan-pelan bangkit. Simak kisahnya di bawah ini.

Baca Juga: Sop Konro Karebosi, Kuliner Makassar Favorit Jokowi

1. Inisiatif istri jadi usaha serius

Andi Erick, merintis usaha Kepiting Didu bersama istrinya, Asriani. (Dok. IDN Times/Istimewa)

“Awalnya saya tidak tahu. Cuma ditelepon istri, dia bilang ada yang perlu diantar. Saya dikasi alamat, lalu diminta mengantar ke sana,” Erick mengawali ceritanya soal awal mula bagaimana Kepiting Didu dirintis.

Di pertengahan 2017 itu, Erick menjalani rutinitas sebagai fotografer media cetak harian. Di sela kesibukan memotret, dia beberapa kali diminta istrinya, Asriani, mengantarkan makanan. Alamatnya berbeda-beda. Paling sering saat jelang jam makan siang.

Yang tidak Erick sadari, ternyata saat itu sang istri sebenarnya diam-diam mulai memasarkan masakan kepiting buatan sendiri. Pelanggannya mula-mula dari kenalan dekat istri yang berprofesi pengajar, lalu pelan-pelan meluas lewat promosi mulut ke mulut. Hingga belakangan akhirnya Erick melihat bahwa kuliner buatan istrinya merupakan peluang bisnis bagus.

“Usaha ini mulai diseriusi, waktu beberapa kali saya mengantar, yang pesan itu rata-rata orang Chinese, mereka bilang punyamu ini enak,” kata Erick.

Sejak saat itu, Erick dan istri mulai mengembangkan usahanya secara profesional. Menu kepiting dipotret sedemikian rupa untuk menarik perhatian lalu gambarnya diunggah di Facebook. Lalu promosi yang sama diterapkan di Instagram. Karena ditunjang visual menggoda, semakin banyak orang tertarik mencoba dan membeli.

Kepiting Didu diawali dari sebuah rumah di kompleks Maizonette di Kelurahan Paropo, Kecamatan Panakkukang. Kelak di kemudian hari, Erick Bersama istri tiga kali berpindah outlet sebagai lokasi penjualan. Dimulai dari jalan Pengayoman, pindah ke jalan AP Pettarani, dan hingga kini melayani di Jalan Macan.

Erick mengakui usahanya sempat viral sehingga mendorong munculnya beberapa usaha sejenis di Makassar. Erick mencatat pernah ada delapan usaha kuliner dengan konsep serupa Kepiting Didu, meski tidak ada yang bertahan lama.

Lalu, mengapa memilih kepiting dan dinamai Kepiting Didu? Erick menyebut itu sepenuhnya inisiatif istri.

“Saya kan orang Bone. Istri orang Pinrang. Setiap ke Bone, pasti disajikan kepiting. Mungkin istri punya otak bisnis, dia melihat itu peluang yang menjanjikan. Kalau Didu, itu panggilan saya,” kata Erick.

2. Produk berkualitas ditunjang ekosistem digital

Salah satu menu Kepiting Didu. (Dok. IDN Times/Istimewa)

Erick mengatakan, Kepiting Didu dibangun dengan modal awal Rp500 ribu. Dia mendatangkan bahan baku dari kampungnya di Kecamatan Cenrana, Kabupaten Bone. Daerah itu sudah terkenal sebagai penghasil kepiting bakau yang kerap dikirim ke beberapa negara, di antaranya Jepang.

Erick mengakui perintisan usahanya didukung momentum tepat. Saat itu, ada kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti membatasi ekspor. Mau tidak mau, supplier melepas kepiting segar kualitas ekspor ke pasar dalam negeri.

Satu porsi berisi dua ekor kepiting jumbo segar awalnya dijual seharga Rp60 ribu, kini Rp65 ribu. Kepiting diolah sedemikian rupa tanpa MSG dan tak menyisakan aroma amis. Ada 12 pilihan kreasi rasa, dari saus asam manis, saus padang, hingga lada hitam. Kepiting Didu juga menjual olahan seafood lain, seperti cumi, udang, dan kerang.

Di masa awal, Kepiting Didu memanfaatkan layanan pesan instan WhatsApp untuk pemesanan antar. Dia mengakui media sosial sangat membantu pemasaran, karena orang bisa melihat visual produk yang ditawarkan.

“Saya juga menggunakan bantuan beberapa influencer supaya jangkauannya lebih luas. Itu pun free karena teman semua. Palingan abis dibantu promosi, saya kirimkan paket kepiting,” kata Erick.

Di tahun 2018, saat penjualan Kepiting Didu ramai-ramainya, Gojek menawarkan diri membantu penjualan lewat ekosistem digital. Produknya pun mulai tersedia untuk layanan pesan antar melalui Gofood. Lalu menyusul kerja sama dengan layanan serupa lainnya. Karena lebih mudah diakses, penjualan otomatis meningkat berkali lipat, hingga mencapai puncaknya di tahun 2019.

Ada masanya Kepiting Didu menghabiskan bahan baku 200 ekor kepiting per hari. Kira-kira itu seberat 10 kilogram. Menurut Erick, saat itu supplier bahkan takjub karena permintaan bahan baku kepiting tak pernah putus.

“Dulu orderan masuk sampai jam 10 malam tidak berhenti,” ucap Erick. Dia enggan menyebut berapa omzet penjualan, tapi mengiyakan saat pendapatan kotornya bisa mencapai ratusan juta rupiah per bulan.

Baca Juga: Mengenal Sop Lidah, Kuliner Nikmat Khas Makassar

Baca Juga: Resep Mie Titi Kuliner Populer Khas Makassar, Enak dan Mudah!

Berita Terkini Lainnya