Peliknya Pilkada di Masa Pandemik: Tantangan Baru Demokrasi di Sulsel?

Indeks Demokrasi Sulawesi Selatan terbilang masih rata-rata

Makassar, IDN Times - Jelang akhir tahun 2020, Sulawesi Selatan (Sulsel) dan 31 provinsi lain siap menggelar pilkada serentak untuk memilih kepala daerah. Mulai dari wali kota, bupati hingga gubernur.

Untuk Sulsel sendiri, Kota Makassar dan 11 kabupaten akan memilih pemimpin baru. Kontestasi politik 2020 sendiri terasa berbeda lantaran berlangsung di tengah pandemik COVID-19.

Jika sebelumnya bertemu dan mengumpulkan pendukung adalah barang wajib, situasi berbalik 180 derajat. Ajang kampanye terbuka dipertimbangkan dengan matang. Ada protokol kesehatan harus dipatuhi.

Dalam suasana Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB), demokrasi di Sulsel berdiri di persimpangan. Masalah yang sudah eksis bisa jadi kian melebar, atau malah bisa didapat banyak pelajaran. Muncul pertanyaan: apakah situasi dan iklim demokrasi akan berubah?

1. Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) di Sulawesi Selatan alami tren fluktuatif selama tiga tahun terakhir

Peliknya Pilkada di Masa Pandemik: Tantangan Baru Demokrasi di Sulsel?Ilustrasi (IDN Times/Mardya Shakti)

Dalam Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) milik Badan Pusat Statistik, terjadi peningkatan skor untuk Aspek Hak-Hak Politik dan Aspek Lembaga Demokrasi di Sulsel. Ini berdasarkan data yang disusun dari tahun 2017 hingga 2019.

Untuk Aspek Hak-Hak Politik, angkanya bergerak turun dari 64,58 (2017) menjadi 64.05 pada tahun 2018. Memasuki 2019, angkanya kembali naik tipis ke 65,61. Namun jika dibandingkan dengan skala pengukuran yang dipakai oleh BPS, yakni 1 hingga 100, kesadaran dan pemanfaatan hak politik warga Sulsel terbilang masih rata-rata.

Dr. Sawedi Muhammad, sosiolog Universitas Hasanuddin, melihat ada dua masalah mendasar dalam pemenuhan hak politik masyarakat Sulsel. Pertama, kurangnya pendidikan politik bagi segmen masyarakat yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih.

2. Sebagian masyarakat masih terjebak kurangnya pendidikan politik dan kedekatan sosiologis

Peliknya Pilkada di Masa Pandemik: Tantangan Baru Demokrasi di Sulsel?Pekerja logistik Pemilu 2019 memperhatikan surat suara Pileg 2019 sebelum dilipat dan didistribusikan ke TPS (IDN Times/Prayugo Utomo)

"Sebagian besar masyarakat ikut memilih bukan karena secara sadar menggunakan hak politiknya, tetapi karena dimobilisasi atau dipengaruhi oleh politik transaksional," ungkapnya pada IDN Times, Rabu (16/9/2020).

Kedua, ia melihat pemilih cenderung melihat figur bukan dari visi misi atau program yang ditawarkan. Melainkan karena kedekatan sosiologis seperti hubungan kekerabatan, kesamaan agama, etnis dan suku bangsa.

Yang ketiga, masih terjadi politisasi birokrasi pemerintahan dan Aparatur Sipil Negara (ASN). "Ini terjadi secara masif meski secara terselubung, sebagai mesin utama perekrutan suara. Petahana Gubernur, Bupati atau Wali Kota begitu leluasa memanfaatkan pengaruhnya untuk meningkatkan elektabilitas" lanjut Sawedi.

3. Independensi lembaga demokrasi masih menjadi sorotan meski tunjukkan peningkatan di IDI

Peliknya Pilkada di Masa Pandemik: Tantangan Baru Demokrasi di Sulsel?Ilustrasi Penegakan Hukum Pemilu (IDN Times/Mardya Shakti)

Beralih ke indeks Aspek Lembaga Demokrasi di Sulsel, IDI BPS melansir angkanya terus meningkat. Dari 72,23 (2017) menjadi 79,75 (2018), dan 81,34 menurut perhitungan tahun 2019. Ini berarti, lembaga penyelenggara demokrasi kian bebas dari intervensi dan semakin independen dalam menjalankan tugas.

Kendati terlihat baik, masih ada sorotan tersisa. Acap kali anggota KPUD dan Panwas dituding memihak, terutama pada petahana. Sawedi menggarisbawahi dua dugaan kuat yang jadi asal muasal cederanya independensi lembaga demokrasi.

"Pertama, baik Gubernur, Wali Kota dan Bupati petahana, memiliki pengaruh terhadap Tim Seleksi (Timsel) Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu) dan KPUD," tutur Sawedi.

"Petahana dengan leluasa dapat melakukan lobi, bahkan bargaining (negosiasi) kepada Timsel untuk menggolkan komisioner yang diinginkan," lanjutnya.

Baca Juga: KPU Makassar Luncurkan Jaringan Pengaduan Pelanggaran Pilkada 2020

4. Kendati demikian, usaha mengawasi netralitas masih di atas koridor

Peliknya Pilkada di Masa Pandemik: Tantangan Baru Demokrasi di Sulsel?Petugas mengecek kesiapan logistik Pemilu 2019 lalu (IDN Times/Prayugo Utomo)

Yang kedua, menurut Sawedi, banyak dari calon komisioner atau anggota Panwas secara intensif melakukan lobi. Langkah ini turut melibatkan pengaruh anggota DPRD bahkan DPR-RI.

"Utang jasa dari hasil lobi ini tentu akan dibayar oleh komisioner terpilih dengan melakukan tindakan yang mempermudah elektabilitas politisi yang membantunya," paparnya.

Dengan kata lain, misi lembaga penyelenggara demokrasi untuk menjaga netralitas masih tergolong sebagai tugas berat. Kendati demikian, tugas mengawasi terlihat berada di dalam koridor yang semestinya.

Pada awal Agustus 2020, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memberi rekomendasi pada Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) untuk menyelidiki 41 kasus dugaan ASN melanggar netralitas jelang pilkada serentak.

5. Intoleransi masih mengancam aspek kebebasan sipil, terutama jelang pilkada

Peliknya Pilkada di Masa Pandemik: Tantangan Baru Demokrasi di Sulsel?Petugas kepolisian berjaga di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (3/9/2020). (ANTARA FOTO/Abriawan Abhe)

Saat dua aspek lainnya cenderung meningkat, beda halnya dengan Aspek Kebebasan Sipil di Sulsel. Sempat mencapai 77,48 pada tahun 2017, angkanya terus menurun ke 71,44 (2018), hingga sampai di level rata-rata yakni 68,32 tahun lalu.

Sawedi berpendapat bahwa fanatisme berlebihan para pemilih menyumbang penurunan indeks Aspek Kebebasan Sipil. "Ini memicu munculnya intoleransi bahkan kekerasan terhadap mereka yang berbeda pilihan politik," paparnya.

Lebih jauh, sikap ASN yang tak netral dan mereka yang melakukan pemihakan terhadap petahana juga disebut jadi penyebab utama.

"Ini juga memicu munculnya kekerasan simbolik dan kekerasan struktural yang masif," ujar Sawedi.

Baca Juga: Kronologi Keributan Eep Saefulloh dengan Erwin Aksa Tim Appi-Rahman

6. Tantangan juga datang dari potensi terjadinya politik uang akibat melonjaknya pengangguran di masa pandemik

Peliknya Pilkada di Masa Pandemik: Tantangan Baru Demokrasi di Sulsel?Ilustrasi (IDN Times/Haikal)

Pesta demokrasi berlangsung dengan segala keterbatasan, tantangan pun kian berat. Lantaran mayoritas berlangsung di ranah virtual, upaya para kandidat mengenalkan diri bakal lebih riskan.

"Media sosial menjadi sasaran utama dalam sosialisasi, di mana manipulasi bahkan hoax sangat mudah disebarkan. Perang visi misi dan jualan program lewat media online akan sangat riskan dengan manipulasi," ungkap Sawedi.

Ini senada dengan yang dijabarkan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Pramono Ubaid Tantowi, dalam sesi webinar di Universitas Hasanuddin pada Selasa, 15 September kemarin.

Menurut Pramono, kampanye via media sosial menjadi lahan subur hoaks, fitnah dan SARA. "Sejak 2019 sudah muncul seperti itu, apalagi saat kampanyenya kita dorong lebih ke arah kampanye di medsos dan daring. Meskipun hanya dalam cakupan lokal, tetapi itu akan lebih tersebar," papar Pramono. 

7. Perlu usaha keras dari seluruh pihak untuk membawa demokrasi lewati masa cobaan

Peliknya Pilkada di Masa Pandemik: Tantangan Baru Demokrasi di Sulsel?Seorang petugas berjalan di depan baliho pengumuman pendaftaran bakal calon wali kota dan wakil wali kota di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (3/9/2020). (ANTARA FOTO/Abriawan Abhe)

Belum lagi menyoal potensi keterlibatan uang. Dengan meningkatnya persentase kaum miskin pinggiran dan pengangguran akibat pandemik, pemilih yang lebih memikirkan isi perut bisa digiring sebagai lumbung suara tambahan. Pramono turut mewanti-wanti penyalahgunaan bantuan sosial, baik oleh petahana dan penantang, selama kampanye.

Dengan segudang permasalahan pelik, demokrasi mendapat ujian di masa pandemik. Perlu tekad kuat dari semua pihak untuk membawa perubahan. Baik oleh semua calon kepada daerah, para anggota lembaga demokrasi, simpatisan dan pendukung, hingga para pemilih di dalam bilik suara.

Jika gagal melewati cobaan, apa yang ditakutkan Sawedi akan terjadi. "Demokrasi tidak lagi menjadi medan penyeleksi figur yang otentik, tetap sebagai alat yang sangat rapuh dalam menjustifikasi pilihan rakyat," pungkasnya.

Baca Juga: Viral Video Pernyataan Rasis dalam Momentum Pilkada di Kota Makassar

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya