Syekh Yusuf, Ulama Makassar yang Menyebarkan Islam Hingga ke Afrika

Makassar, IDN Times - Agama Islam masuk dan berkembang di Sulawesi Selatan setelah dibawa oleh tiga ulama dari Tanah Minang, yakni Datuk Patimang, Datuk ri Bandang, dan Datuk ri Tiro, di awal Abad XVII. Ketiganya sering disebut Datu Tallua.
Sebelum menyebar luas ke tengah masyarakat, Islam awalnya dianut kalangan raja-raja, dimulai dari Datu Luwu La Patiware Daeng Parabu, lalu Raja Tallo I Malingkang Daeng Manyonri Karaeng Katangka, menyusul Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin. Raja Gowa yang bernama lengkap I Mangngerangi Daeng Manrabbia ini adalah kakek Sultan Hasanuddin, yang sekaligus tokoh yang membesarkan ulama sufi terkenal asal Makassar, Syekh Yusuf Al Makassari, di lingkungan Kerajaan Gowa.
Dikutip dari Jurnal Al Qalam, Syekh Yusuf Tuanta Salamaka: Pemujaannya di Tanah Makassar, yang ditulis Syahril Kila, Syekh Yusuf berangkat ke Makkah pada 22 September 1644, saat dia masih berusia 21 tahun, untuk menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu agama. Sepulangnya dari Tanah Suci, Syekh Yusuf tidak langsung kembali ke Makassar. Syekh Yusuf memilih menetap di Banten.
Meskipun lebih separuh usia Syekh Yusuf digunakan untuk berjuang di luar Sulawesi, sosoknya dianggap sebagai Wali Allah dari Sulawesi Selatan, seperti Wali Songo di Pulau Jawa. Syekh Yusuf bagi warga Sulsel digelari Tuanta Salamaka, yang bermakna Tuan yang membawa keselamatan. Syekh Yusuf juga telah ditetapkan sebagai Pahlwan Nasional oleh Presiden Soeharto, pada 7 Agustus 1995.
1. Syekh Yusuf ditangkap penjajah karena membantu Sultan Ageng Tirtayasa

Sejarawan Sulsel, Abu Hamid dalam bukunya, Syekh Yusuf: Seorang Ulama, Sufi, dan Pejuang, menyebutkan Syekh Yusuf yang diangkat menjadi mufti Kesultanan Banten, ikut membantu Sultan Ageng Tirtayasa melawan politik pecah belah yang diterapkan penjajah VOC Belanda. Pada tahun 1683, Sultan Ageng melawan putranya sendiri, Sultan Haji yang disokong Belanda. Syekh Yusuf pun ditangkap Belanda pada 14 Desember 1683 dan ditahan di Batavia, sebelum dibuang ke Ceylon, Sri Lanka, pada 12 September 1684.
Sekitar satu dekade di Sri Lanka, Syekh Yusuf menyebarkan ajaran Islam di kota Ceylon dan pengikutnya makin bertambah. Khususnya bagi jamaah haji dari nusantara yang mampir di Pelabuhan Ceylon, sebelum sampai ke Tanah Suci. Hal ini membuat Belanda menjadi gerah dan akhirnya pada Juli 1694, Belanda kembali mengasingkan Syekh Yusuf bersama 49 pengikutnya ke Capetown, Afrika Selatan.
2. Nelson Mandela mengaku terinspirasi Syekh Yusuf untuk berjuang melawan politik apartheid

Syekh Yusuf yang dibuang ke Cape Town, tidak berhenti menyebarkan ajaran Islam hingga wafat di Cape Town pada 23 Mei 1699. Jejak Syekh Yusuf di Cape Town masih bisa disaksikan dengan nama salah satu daerah di sana, Macassar. Nama ini diambil dari tanah kelahiran Syekh Yusuf di Makassar, Sulsel.
Tokoh perjuangan anti apartheid Afrika Selatan, Nelson Mandela juga mengaku terinspirasi perjuangan Syekh Yusuf, yang mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan yang setara dan perjuangannya melawan kolonialisme. Mandela menyebut Syekh Yusuf putra terbaik dan pahlawan dari Afrika Selatan.
3. Makam Syekh Yusuf di Makassar ramai dikunjungi peziarah

Syekh Yusuf yang wafat di Cape Town pada 23 Mei 1699. Peti jenazah Syekh Yusuf kemudian dipulangkan ke Makassar pada tahun 1705, atas permintaan Raja Gowa ke-19 Sultan Abdul Jalil. Jenazah Syekh Yusuf kemudian dimakamkan di samping pusara istrinya, I Sitti Daeng Nisanga di kompleks makam Raja Gowa di Lakiung, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, yang nama jalannya diabadikan dengan nama Syekh Yusuf.
Makam Syekh Yusuf di Katangka ramai dikunjungi para peziarah, termasuk tokoh-tokoh penting seperti Mantan Presiden Abdurrahman Wahid, Mantan PM Malaysia Najib Abdul Razak dan beberapa tokoh nasional lainnya. Selain makam Syekh Yusuf di perbatasan Makassar-Gowa, makam Syekh Yusuf juga diklaim berada di beberapa lokasi, seperti di pebukitan Cape Town; di Pulau Tolango, Sumenep, Madura; di Kota Serang, Banten; dan di kota Ceylon, Sri Lanka.