Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah

Makassar, IDN Times - Hari Raya Idul Fitri yang jatuh pada hari Rabu (5/6) sepekan silam disambut dengan gegap gempita oleh jutaan umat Islam seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Namun tatkala kita merayakannya dengan canda tawa dan senyum terkembang, sebagian harus menyambut fajar pertama kemenangan dalam kondisi serba terbatas.

Salah satunya, para pengungsi korban bencana Palu, pasca gempa, tsunami dan likuifaksi mengoyang sejumlah wilayah Sulawesi Tengah pada Jumat sore 28 September 2018.

Delapan bulan sudah berlalu sejak hari kelabu tersebut. Pemulihan telah berlangsung cukup lama, sudut-sudut kota yang sempat menjadi puing-puing kini mulai bergeliat dengan pembangunan ulang sejumlah gedung dan bangunan.

Hidup kembali berjalan seperti biasa, optimisme sudah tumbuh. Namun lebaran ini punya makna mendalam bagi seluruh korban di kamp pengungsian. Mereka menjalani hari sukacita dengan kenangan atas sanak keluarga yang telah pergi.

Bencana ini bermula saat gempa berkekuatan 7,4 Skala Richter menggoyang 26 km utara Donggala pada 28 September 2018. Gempa ini kemudian berefek domino berupa tsunami di Palu dan likuifaksi. Ribuan orang dinyatakan tewas dalam bencana ini.  

1. Kondisi yang serba terbatas tak menghalangi ribuan umat Muslim korban bencana merayakan lebaran di pengungsian. Fitria, salah satu pengungsi, tengah membuat kulit ketupat di depan tenda pengungsiannya yang sederhana di Kamp Balaroa, Palu, pada Senin (3/6)

ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah

2. Seperti kebiasaan di seantero tanah air, masyarakat melakukan ziarah kubur anggota keluarga yang sudah mangkat jelang lebaran. Di Tempat Pemakaman Massal korban bencana Palu pada hari Selasa (4/6) silam, seorang bapak tengah khusyuk berdoa di sisi peristirahatan terakhir mendiang buah hatinya

Editorial Team