TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Polemik Laut Natuna, Tiongkok Manfaatkan Pergantian Menteri KKP?

Respons tenang sejumlah menteri bukannya tanpa alasan

(TNI tengah menunjukkan pergerakan kapal coast guard Tiongkok di wilayah Natuna) ANTARA FOTO/M. Risyal Hidayat

Makassar, IDN Times - Perairan Natuna kembali menjadi perhatian. Pada 30 Desember 2019 silam, Kapal perang (KRI) Tjiptadi-381, yang berada di bawah komando utama TNI Angkatan Laut Komando Armada (Koarmada) I, berhasil menggiring keluar kapal patroli lepas pantai Tiongkok dari wilayah perairan Indonesia. 

Kapal Coast Guard tersebut tengah mengawal kapal Tiongkok yang menangkap ikan di perairan Natuna. Setelah video detik-detik pengusiran diunggah ke media sosial, beragam reaksi muncul.

Ini bukan kali pertama kapal Tiongkok merangsek masuk wilayah teritorial Indonesia. Namun, kejadian terbaru berujung pada kembali menguatnya pembahasan sengketa di perairan Natuna.

1. Tiongkok mengklaim sebagian wilayah Laut Natuna Utara, melalui Nine Dash Line

Presiden Tiongkok Xi Jinping mengikuti upacara sambutan di Balai Agung Rakyat, di Beijing, Tiongkok, pada 25 Oktober 2019. ANTARA FOTO/REUTERS/Jason Lee

Sengketa di Natuna ini berawal dari klaim sepihak pemerintah Tiongkok di wilayah Laut Cina Selatan. Garis batas wilayah laut mereka didasarkan pada klaim historis alias pendekatan sejarah yakni Nine Dash Line, ketimbang menghormati fakta perbatasan teritorial wilayah sebuah negara.

Sembilan garis putus-putus yang diklaim Tiongkok justru bersinggungan dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) milik Indonesia, yang diterapkan sesuai kesepakatan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) pada tahun 1982.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi sendiri kembali menegaskan posisi RI yang menolak mentah-mentah Nine Dash Line. "Penarikan garis tersebut bertentangan dengan UNCLOS sebagaimana yang diputuskan melalui ruling tribunal UNCLOS tahun 2016," tegas Retno.

Klaim Tiongkok ini tak hanya menyeret Indonesia. Ada juga beberapa negara Asia Tenggara lain seperti Malaysia, Vietnam, Brunei Darussalam, dan Filipina.

2. Tiongkok disebut turut memanfaatkan momen pergantian sosok pengisi Menteri Kelautan dan Perikanan

IDN Times/Gregorius Aryodamar P

Agussalim Burhanuddin, dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Hasanuddin, mengganggap bahwa pergantian Menteri Kelautan dan Perikanan pada periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo jadi katalis peristiwa kapal Tiongkok masuk perairan Indonesia.

"Pemerintah China memahami pergantian tersebut. Momen ini kemudian dimanfaatkan. Menteri sebelumnya, Susi Pudjiastuti, memang dikenal tegas untuk masalah teritorial laut Indonesia," ungkapnya dalam sambungan telepon, saat dihubungi oleh IDN Times pada Minggu (5/1) malam.

Selama lima tahun menjabat, Susi memang getol menggandeng Angkatan Laut RI sebagai mitra dalam melindungi wilayah perairan Indonesia.

Anekdot "tenggelamkan saja!" pun berasal dari kebijakan menyita kapal-kapal yang terbukti melewati batas negara Indonesia serta melakukan kegiatan Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing.

Baca Juga: Soal Isu Natuna, Prabowo Ingin Cari Solusi yang Baik dengan Tiongkok

3. Kementerian Luar Negeri bisa menempuh beberapa cara untuk menyelesaikan masalah Natuna

(Menlu RI Retno P Marsudi dan Wamenlu Mahendra Siregar, 2 Januari 2020) IDN Times/Uni Lubis

Lantas langkah apa saja yang bisa ditempuh oleh pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan problem di sekitar Laut Natuna Utara?

"Ada beberapa tahap. Pertama, protes resmi dilayangkan oleh Kementerian Luar Negeri Indonesia kepada pemerintah China. Jika masih belum ada kejelasan, Indonesia dan China harus duduk bersama melakukan negosiasi klaim wilayah yang saling tumpang tindih," papar Agus.

Kalau langkah tersebut berakhir buntu, proses mediasi jadi pilihan. Namun kali ini melibatkan pihak ketiga selaku mediator. Mereka yang menjadi penengah berasal dari arbitrase internasional atau negara-negara netral.

"Kalau proses mediasi belum berhasil, perkara ini bisa dibawa ke pengadilan internasional sebagai badan hukum tertinggi," lanjutnya. Jika putusan pengadilan internasional ternyata tak diterima salah satu pihak secara terang-terangan? "Perang jadi opsi terakhir, tapi itu tentu saja masih sangat-sangat jauh."

4. Respons tenang dari Menteri Pertahanan Prabowo Subianto disebut bukannya tanpa alasan

(Menteri Pertahanan Prabowo Subianto berkunjung ke open house Natal di kediaman Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan) IDN Times/Hana Adi Perdana

Di sisi lain, beberapa menteri merespons masalah sengketa di Laut Natuna Utara dengan kepala dingin. Contohnya Menteri Pertahanan Prabowo Subianto serta Luhut Panjaitan selaku Menteri Koodinator Maritim dan Investasi.

Respons tersebut ternyata dianggap bukannya tanpa alasan. "Saya menganggap sikap tersebut diambil atas beberapa faktor. Pertama, pertimbangan bahwa China bukanlah potensi ancaman yang membutuhkan balasan sikap keras," ungkap Agus.

Kedua, tentu saja potensi kerja sama yang bisa dijalin pada masa mendatang. Status Negeri Tirai Bambu saat ini sebagai salah satu aktor penting dalam percaturan global membuat kepentingan negara harus dikedepankan.

"Terakhir, hubungan investasi atau ekonomi dengan China sudah terjalin sangat erat. Tentu saja pihak Indonesia harus sangat berhati-hati sebab kita adalah mitra," paparnya.

Baca Juga: Pengamat Menilai Kapal Tiongkok di Perairan Natuna Harusnya Ditangkap

Berita Terkini Lainnya