Melihat Makassar Era Revolusi Kemerdekaan di Komik Rampokan Celebes

Makassar, IDN Times - Tak banyak buku komik yang membahas tentang seperti apa situasi Indonesia pada masa Revolusi Kemerdekaan (1945-1949), apalagi berfokus pada Sulawesi. Tapi, Peter van Dongen menyajikannya dengan sangat gamblang melalui Rampokan Celebes terbitan tahun 2004.
Diterbitkan dalam edisi Bahasa Indonesia oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2019 lalu, Rampokan Celebes sejatinya adalah lanjutan dari komik Rampokan Java. Meski berbeda latar tempat, kisahnya masih sama yakni perjalanan Johan Knavel kembali ke Makassar sebagai tentara sukarela untuk mencari apa yang tersisa dari keluarganya.
Setelah harus kucing-kucingan dengan para polisi militer di Jawa, Johan menyeberang ke Sulawesi demi mengunjungi bekas rumahnya yang sudah rusak akibat dijarah. Tak cuma itu, ia mencari keberadaan Ninih, pengasuhnya saat kecil.
1. Komik ini turut memperlihatkan bagaimana Belanda menjalankan operasi militernya

Berbeda dengan Rampokan Java, Johan Knavel (yang terpaksa memakai identitas palsu Erik Verhagen) punya teman bertualang di Rampokan Celebes. Salah satunya yakni Burt Dekker, orang Belanda yang mengorganisir perlawanan para pejuang Indonesia yang membuatnya menjadi desertir.
Pada bagian awal, pembaca langsung disuguhkan adegan bagaimana operasi militer Belanda dan KNIL berjalan tanpa pandang bulu. Terlihat bahwa mereka tak ragu mengekseksusi warga sipil yang namanya masuk dalam "daftar teroris", tanpa proses pengadilan.
Ini sejalan dengan penelitian tiga lembaga yakni Institut Belanda untuk Studi Perang, Holokos dan Genosida (NIOD), Insititut Kerajaan Belanda untuk Kajian Asia Tenggara dan Karibia (KITLV) dan Institut Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH) yang dirilis pada Februari 2022. Hasilnya, didapati kekerasan ekstrem yang dilancarkan secara sistematis dan meluas oleh personel militer Belanda, di saat pemerintah dan petinggi militer Belanda secara sengaja melakukan pembiaran.
2. Suasana Makassar dekade 1940-an di komik ini tergambar dengan sangat detail

Di sisi lain, Peter menggambarkan suasana Makassar era 1940-an dengan detail meski hanya berbekal garis outline hitam dan warna sepia. Pembaca diajak melihat suasana hingga bangunan-bangunan di Stalstraat (kini Jalan Penghibur), Tempelstraat (kini Jalan Sulawesi) dan Passerstraat (kini Jalan Nusantara) yang waktu itu menjadi pusat ekonomi Makassar dan Sulawesi.
Termasuk pula riuhnya Societeit de Harmonie (kini Gedung Kesenian Sulsel) di Prins Hendrik Pad, atau sekarang menjadi Jalan Riburane. Bangunan tersebut menjadi tempat Johan menghabiskan waktu dengan para orang Eropa dan tentara Belanda untuk makan es krim atau minum segelas bir dingin.
Hal serupa juga dilakukan Peter saat menyuguhkan suasana perkampungan di luar Kota Makassar. Barisan rumah panggung, pohon kelapa dan pohon palem di tepian sungai. Meski terlihat damai, para penduduknya diselimuti ketakutan terhadap para tentara Belanda yang bisa menyerbu kapan saja.
3. Menambah perspektif Sulawesi dalam sejarah Indonesia meski dalam format komik fiksi

Rampokan Celebes, yang menjadi penutup serial komik Rampokan, ditutup dengan dramatis. Momen sentimental Johan justru dirusak oleh serbuan pasukan pimpinan Letnan Chris Jonker, sang tokoh antagonis. Seluruh penduduk sipil berbaris di bawah todongan senapan, sembari melihat satu persatu rumah dibakar oleh tentara Belanda.
Peter memang memiliki misi memaparkan fakta pendudukan Belanda di Indonesia melalui format yang sangat pop. Di sisi lain, serial Rampokan juga ibarat "surat cinta" Peter kepada Sulawesi. Sang ibu merupakan keturunan China-Indonesia yang sempat tinggal di Manado, sebelum pindah ke Belanda. Belum lagi riset yang ia lakukan melalui arsip foto-foto lawas serta buku-buku tentang budaya Jawa dan Sulawesi.
Peter van Dongen melaluI dua komik tersebut memberi perspektif sejarah berbalut fiksi dari perspektif Sulawesi yang kerap terabaikan. Ini memberi kesempatan pada pembaca untuk tahu seperti apa dinamika sosial yang terjadi di Makassar selama masa Revolusi Kemerdekaan.