Perang Makassar: Jatuhnya Sang Ayam Jantan dari Timur (1)
VOC dan Kerajaan Makassar saling berebut pengaruh di laut
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Makassar, IDN Times - Menginjak abad ke-17, persaingan antara VOC dan Kerajaan Makassar kian meruncing. Mereka saling berebut pengaruh di wilayah perairan timur Nusantara, terutama di sektor pelayaran dan perdagangan. Dalam catatan tenaga medis dan diplomat utusan Kerajaan Portugis di Asia Tenggara, Tome Pires, pada awal abad ke-16 disebutkan bahwa Makassar memang punya daya tarik dari letaknya yang strategis.
"Kepulauan Makassar berada di jalur Maluku, yang dicapai lewat pelayaran dari selama empat atau hari. Kepulauan ini terdiri banyak pulau dan merupakan negeri besar. Dari sini kita dapat bertolak ke Buton dan Madura dan juga ke utara. Penduduknya juga kafir (memeluk kepercayaan animisme). Penduduk kepulauan ini melakukan perdagangan dengan Malaka, Jawa, Kalimantan, Siam, dan semua tempat Pahang dan SIam. Mereka lebih mirip orang Siam daripada ras lain."
Mendiang Edward L Polinggomang dalam buku "Makassar Abad XIX" (2002) menyebut ada tiga hal yang membuat bandar Makassar jadi pusat perniagaan. Pertama, letaknya yang strategis, yakni di tengah-tengah pusaran perdagangan Asia. Kedua, munculnya intervensi bangsa Eropa sehingga pedagang di pusat niaga mengalihkan kegiatan mereka ke tempat lain, salah satunya ke Makassar. Ketiga, pedagang dan pelaut setempat melakukan pelayaran niaga ke daerah-daerah penghasil dan bandar niaga lain.
Baca Juga: Sambut Hari Pahlawan, Pemkot Makassar Bersihkan Monumen Emmy Saelan
Baca Juga: LIPI Temukan Dua Anggrek Baru, Salah Satunya di Sulawesi Selatan
1. Benih konflik antara Kerajaan Makassar dan Kompeni sudah ditanam sejak tahun 1616
Menengok jauh ke belakang, benih konflik Makassar dan VOC sudah ditanam sejak 1616. Ini berawal ketika Kompeni menyandera sejumlah bangsawan Makassar demi memaksa pemimpin waktu itu, Sultan Alauddin, membayar utang-utang mereka. Namun sang penguasa Makassar tak mau berkompromi. Melalui sebuah penyerangan diam-diam, penguasa Makassar membantai 15 pelaut Belanda.
Perang tak surut selama lebih dari lima puluh tahun berikutnya. Belanda bertekad mengantongi monopoli perdagangan rempah-rempah, di saat Gowa juga memperoleh kemakmuran lewat perniagaan. Praktis kedua pihak tak kunjung menemui kompromi, lantaran VOC tidak mentoleransi pesaing komersial (yang memiliki kekuatan militer) di wilayah tersebut.
Dibayangi oleh pesaingan sengit, sejumlah taktik mulai dilakukan oleh pihak serikat dagang Belanda di Lautan Hindia. Kompeni coba meyakinkan para Karaeng Gowa untuk membatasi perdagangan sekaligus meminta VOC memonopoli perdagangan. Sementara itu, pemberontakan dilakukan oleh kerajaan pesaing Gowa, seperti Kerajaan Bone pada 1644.
Monopoli perdagangan laut dianggap bertentangan dengan nilai tradisional yang berkembang di masyarakat Makassar. Mereka percaya laut adalah milik bersama. Para penguasa hanya berfungsi memberi keamanan dan menarik cukai dari para saudagar. Saat taktik bujuk rayu tak berhasil, VOC akhirnya menempuh metode militer.
Baca Juga: La Rewa Jadi Maskot Pilkada Makassar 2020, Ini Maknanya
Baca Juga: Merunut Jejak Panjang Terorisme di Sulawesi Selatan