TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Mengenal Hoo Eng Djie, Seniman Tionghoa Pencipta Lagu Rakyat Makassar

#MenjagaIndonesia Lagu Ati Raja diciptakan Hoo Eng Djie

Berbagai Sumber

Makassar, IDN Times - Musik Makassar pada zaman prakemerdekaan memang sudah akrab dengan nama Wage Rudolf Supratman, sang pencipta lagu "Indonesia Raya". Bersama band-nya, Black and White Jazz Band, sang violinis tampil setiap akhir pekan menghibur orang-orang Eropa. Namun ada satu figur yang sering terpinggirkan dalam topik menarik ini.

Mendiang Denny Sakrie dalam buku 100 Tahun Musik Indonesia (2015, GagasMedia) menyebutnya dengan lantang: Hoo Eng Djie. Ia disebut-sebut sebagai penyanyi Makassar pertama yang masuk industri rekaman. Denny menulis bahwa pada tahun 1938, Eng Djie diajak merekam lagu-lagunya di Studio Soo Hoeng Soo yang terletak di Surabaya, Jawa Timur.

Merekam lagu-lagu untuk dipasarkan secara adalah pencapaian yang sulit untuk ukuran seorang musisi di dekade 1930-an. Lantas siapa Hoo Eng Djie?

Baca Juga: Jenderal M. Jusuf di Tengah Pusaran Kontroversi Supersemar 1966

1. Hoo Eng Djie lahir di wilayah Pecinan kota Maros pada tahun 1906

Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures

Menurut buku Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa (Claudine Salmon, 2010, KPG), Hoo Eng Djie lahir di Maros, tepatnya di kawasan Pecinan bernama Kassi Kebo, pada tahun 1906. Biasa dipanggil dengan Baba Tjoi atau A. Batjoi, garis keturunan Eng Djie dari pihak ibu diduga lekat dengan Liem Tjien Liong alias Baba Maliang, seorang Kapitan Tionghoa yang menjadi penasihat Raja Gowa.

Sementara itu, nenek dari pihak ayahnya, Hoo Kie Seng, adalah anggota keluarga Raja Maros. Alhasil, Eng Djie kecil menikmati banyak hak istimewa layaknya bangsawan. Eng Djie sempat mengenyam pendidikan di sebuah sekolah swasta di Kampung Melayu Makassar. Di situ, ia belajar bahasa Melayu, Bugis dan Makassar.

Namun, roda kehidupan orang tua Eng Djie berputar terlalu cepat. Mereka jatuh miskin saat Eng Djie berusia enam atau tujuh tahun, sang anak pun putus sekolah di kelas empat. Eng Djie bekerja untuk meringankan beban ekonomi.

2. Mulai mengenal dunia tarik suara saat bekerja sebagai kelasi kapal

Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures

Pada umur 13 tahun, Eng Djie remaja bekerja sebagai kelasi kapal bersama pamannya. Sembari bekerja, ia bisa bepergian ke beberapa pulau sekitar Makassar seperti Buton, Raha, Saparua dan Ambon. Penulis Myra Sidharta, dalam buku Dari Penjaja Tekstil sampai Superwoman: Biografi Delapan Penulis Peranakan (2004, KPG), menulis bahwa Eng Djie mulai mengasah bakatnya dalam tarik suara di atas geladak kapal.

Di tengah deru laut yang tenang pada malam hari, Eng Djie dengan suara bariton mendendangkan lagu-lagu Makassar yang ia pelajari dari kru kapal lainnya. Claudine Salmon, seorang peneliti asal Prancis, bahkan menduga kalau Eng Djie ternyata tak mengenal bahasa Tionghoa. Lagu cinta dan patah hati yang berdasarkan pengalaman pribadi Eng Djie jadi repertoar tetapnya di geladak kapal.

Sang paman, yang cemas dengan jiwa keponakannya, meminta Eng Djie kembali ke Makassar di usia 17 tahun untuk membantu orang tuanya berjualan. Di malam hari, Eng Djie bernyanyi dengan anak-anak jalanan. Ia pun mengenal alkohol, rokok dan cinta yang menjadi banyak sumber patah hatinya kelak.

3. Kebolehannya bernyanyi dan berpidato membuat Eng Djie sering diundang ke berbagai acara

Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures

Kendati terdengar bak anak bengal, Eng Djie mulai membaca banyak buku-buku sastra Melayu-Tionghoa. Mulai dari novel "Siti Akbari" karya penulis Lie Kim Hok, drama kriminal "Fientje de Feniks" karya Tan Boen Kim dan masih banyak lagi. Tumbuhlah cita-cita barunya: menjadi penulis.

Di sini Eng Djie turut memperlihatkan minat pada dunia teater. Namun yang belakangan mencuat adalah bakatnya sebagai orator dan penulis sajak. Seiring waktu, Eng Djie pun diundang untuk mengucapkan kata sambutan dalam acara pernikahan dan upacara pemakanan orang Tionghoa di Makassar.

Seiring waktu, ia mulai menggubah puisi dan sajaknya dalam menjadi lagu. Adaptasi budaya Makassar pun dilakukan. Eng Djie mengaitkan kegiatan bermusiknya dengan tradisi pakkacapi, yaitu tradisi bertutur dengan alat musik kecapi Bugis, serta pabbiola, atau bertutur dengan biola.

4. Merekam lagu-lagu ciptaannya sendiri pada tahun 1938, termasuk "Ati Radja"

Dok. Istimewa

Pada tahun 1930-1940, Eng Djie disebut telah menciptakan sekitar 3.000 lagu. Banyak di antaranya adalah adaptasi nyanyian Tionghoa ke bahasa Makassar. Lagu-lagu tersebut seperti "Ati Radja", "Sai Long", "Pasang Teng" dan "Sio Sayang". Kebolehannya menghibur tetamu dalam acara perjamuan dan pesta lewat nyanyian turut menambah perbendaharaan lagunya.

Lagu-lagu yang disebutkan tadi jadi nyanyian yang sangat populer dan hanya ditampilkan pada pada pesta-pesta perkawinan, baik Tionghoa atau Makassar. "Sekali-sekali Hoo Eng Djie pun membawakan lagu-lagu setempat yang asli pada pesta-pesta rakyat yang sangat disukai rakyat kecil Makassar dan sekitarnya," tulis Claudine Salmon (hal. 486).

Seperti yang disebutkan sebelumnya, asmara jadi sumber inspirasi banyak lagu-lagu ciptaanya. Ay Lien, Yangtju dan Rosie, dalam banyak buku, disebut pernah memberi luka pada hati Eng Djie. Cukup lama Eng Djie mencari cinta, sebelum akhirnya menambatkan hati pada Suan Kie, seorang janda beranak tiga. Mereka menikah pada 1938, tahun di mana Eng Djie mendapat tawaran rekaman.

5. Eng Djie dan keluarganya menyingkir keluar Makassar saat pendudukan Jepang

Wikimedia Commons/State Library of Queensland

Siapa sangka, Eng Djie juga aktif dalam bidang politik. Pada tahun 1926, ia dijebloskan ke penjara Maros oleh polisi kolonial lantaran menaruh simpati kepada gerakan kiri anti-Belanda. Di tahun 1927, Eng Djie mendirikan organisasi bernama Perkumpulan Pemuda (Sien Nien Thoan) di mana ia menjadi penanggung jawab propaganda.

Usai menjadi pemeluk agama Kristen pada 1931, Eng Djie mulai sering diundang sebagai orator oleh beberapa partai. Mulai dari Partai Kristen, Partai Tionghoa Islam (PTI) --partai di mana ia bertemu dengan sang istri-- dan Muhammadiyah. Namun, pihak administrasi Hindia-Belanda kemudian melarangnya berbicara di depan umum.

Jelang pecahnya Perang Dunia II, Eng Djie ditahan polisi lantaran "ramalan" tentang marabahaya besar dalam sejumlah lirik lagu ternyata membuat resah warga Makassar. Salah satunya dalam lagu ciptaannya di tahun 1938 :

"Ritaun patang Puloa (Nanti pada tahun empatpuluh)

Tata kaceji nataba (Bukan saja di miskin mengeluh)

Kasiasia (Tetapi di semua tingkatan)

Simpung nasuapa'mai (Merasa rintihan dan kepedihan)"

Firasatnya ternyata benar, Jepang memulai pertempuran di Laut Pasifik. Bala tentara Dai Nippon mendarat di Makassar pada 8 Februari 1942. Eng Djie dan keluarganya menyingkir keluar kota bersama ribuan warga lainnnya.

Baca Juga: Penutur Sisa Hitungan Jari, 5 Bahasa Daerah di Sulawesi Terancam Punah

Memperingati HUT ke-75 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, IDN Times meluncurkan kampanye #MenjagaIndonesia. Kampanye ini didasarkan atas pengalamanan unik dan bersejarah bahwa sebagai bangsa, kita merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI dalam situasi pandemik COVID-19, di saat mana kita bersama-sama harus membentengi diri dari serangan virus berbahaya. Di saat yang sama, banyak hal yang perlu kita jaga sebagai warga bangsa, agar tujuan proklamasi kemerdekaan RI, bisa dicapai.

Berita Terkini Lainnya