Penutur Sisa Hitungan Jari, 5 Bahasa Daerah di Sulawesi Terancam Punah

Mulai dari Sulawesi Utara, Gorontalo hingga Sulawesi Selatan

Makassar, IDN Times - Bersamaan dengan Hari Bahasa Ibu Internasional yang jatuh pada Jumat, 21 Februari silam, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kembali merilis daftar bahasa daerah berstatus sudah punah, kritis dan terancam punah. Daftar ketiga kategori tersebut didominasi oleh bahasa yang berada di timur Indonesia.

Sisi positifnya, tak ada nama baru dalam daftar bahasa punah. Jumlahnya sejak 2017 masih sama, yakni 11 bahasa yang tersebar di Kepulauan Maluku dan Papua. Sementara itu, dengan lima bahasa berstatus terancam punah berada di Pulau Sulawesi.

Penyebabnya cenderung identik, yakni berkurangnya minat belajar bahasa daerah, yang kemudian menurun pada menukiknya angka penutur. Alhasil, Kemdikbud menyebut penutur fasih bahasa-bahasa yang kritis dan terancam punah adalah orang-orang berusia 40 tahun ke atas.

Nah, berikut ini IDN Times coba membahas kelima bahasa daerah di Pulau Sulawesi yang terancam punah.

1. Bahasa Ponosakan (Sulawesi Utara)

Penutur Sisa Hitungan Jari, 5 Bahasa Daerah di Sulawesi Terancam PunahSemantic Scholar

Bahasa Ponosakan jadi bahasa daerah yang benar-benar kritis. Menurut ahli linguistik asal University of California, Jason William Lobel, dalam jurnal Oceanic Linguistics edisi Desember 2015, ia menulis bahwa penutur bahasa ini hanya tersisa empat orang. Mereka adalah empat lansia yang saat ini tinggal di kota kecil bernama Belang, yang terletak di Kecamatan Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara, 80 kilometer dari kota Manado.

Banyak ahli berpendapat bahwa Bahasa Ponosakan, termasuk dalam rumpun bahasa Gorontalo-Mongondow, disebut sebagai bagian dari rumpun bahasa Filipina. Robert Blust, ahli bahasa Austronesia asal University of Hawaii at Mānoa, menempatkannya dalam rumpun bahasa Filipina Tengah Raya, mencakup bahasa Tagalog yang menjadi bahasa nasional Filipina.

Menurut Lobel, bahasa ini sudah dituturkan oleh suku Ponosakan sejak abad ke-17. Sebelum Perang Dunia II pecah, bahasa ini tak hanya menjadi bahasa mayoritas di wilayah Belang, melainkan juga sejumlah pemukiman di sekitar daerah kota pesisir tersebut. Namun, Lobel turut menulis bahwa penutur bahasa Ponosakan mulai berkurang sejak dekade 1920-an.

Masuk 1940-an, kedatangan pendatang disebut turut menggerus bahasa tersebut. Masuk tahun 1970, Lobel menulis bahwa bahasa Ponosakan sudah tak lagi diajarkan menurun kepada generasi yang lebih muda.

2. Bahasa Konjo (Sulawesi Selatan)

Penutur Sisa Hitungan Jari, 5 Bahasa Daerah di Sulawesi Terancam PunahMediaKonjo.net

Bahasa Konjo adalah rumpun dari bahasa Makassar, cabang Melayu-Polinesia dari rumpun bahasa Austronesia. Bahasa ini dituturkan oleh suku Konjo Pesisir, di sudut tenggara provinsi Sulawesi Selatan. Menurut situs Ethnologue.com, penuturnya kini hanya sekitar 125.000 orang, nyaris sama dengan jumlah penduduk Kecamatan Tamalanrea.

Bahasa Konjo terbagi menjadi dua, ada Konjo Pesisir dan Konjo Gunung. Cuma 75 persen leksikon/kosakata bahasa Konjo Pesisir yang sama dengan Konjo Gunung. Sementara itu, bahasa Konjo Pesisir memiliki 76 persen persamaan leksikon dengan bahasa Makassar.

Lebih jauh, bahasa Konjo ini acapkali disebut sebagai salah satu dialek dalam bahasa Makassar selain Lakiung, Turatea dan Selayar. Penuturnya saat ini tersebar di bagian timur Kabupaten Bulukumba. Mereka berdiam di Kecamatan Bontobahari, Bontotiro, Kajang, Herlang, dan sejumlah desa lain di sekitar empat kecamatan yang tadi disebutkan.

Baca Juga: Hari Bahasa Ibu Internasional, Ini 6 Cara Lestarikan Bahasa Daerah

3. Bahasa Sangir (Sulawesi Utara)

Penutur Sisa Hitungan Jari, 5 Bahasa Daerah di Sulawesi Terancam PunahTwitter.com/agatheod

Biasa juga disebut sebagai Sangihe, Sangi atau Sangih, bahasa Sangir adalah bahasa yang dituturkan oleh etnis Sangihe mendiami Kabupaten Kepulauan Sangihe, Kabupaten Kepulauan Talaud, serta pesisir utara provinsi Sulawesi Utara. Menurut perhitungan Ethnologue.com, jumlah penuturnya saat ini sekitar 255.000 orang.

Penutur bahasa Sangihe yang merantau ke luar daerahnya masih memeliharanya sebagai bahasa ibu, utamanya dalam aktivitas komunitas mereka. Akan tetapi, sama seperti yang dialami bahasa daerah lainnya, keturunan Sangihe di perantauan tak diajarkan bahasa ini. Inilah yang turut menggerus angka penuturnya.

Lebih jauh, salah satu kendala yang pemeliharaan bahasa Sangihe adalah sifatnya yang berupa bahasa lisan, bukan bahasa tulisan. Dirunut jauh ke belakang, kebiasaan administrasi dan surat menyurat yang menggunakan bahasa Melayu atau Indonesia jadi salah satu faktornya. Namun, salah satu rekam tulis dari bahasa Sangihe adalah Kitab Suci Alkitab berbahasa Sangihe dalam tiga dialek --Sangir Besar, Siau dan Tagulandang-- yang diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia pada tahun 1942.

4. Bahasa Gorontalo

Penutur Sisa Hitungan Jari, 5 Bahasa Daerah di Sulawesi Terancam PunahTwitter.com/bahasahulontalo

Kadang disebut pula sebagai Hulontalo, bahasa Gorontalo menjadi bahasa tuturan suku Gorontalo di Provinsi Gorontalo. Menurut catatan sensus nasional tahun 2000, jumlah penuturnya sekitar 1 juta jiwa. Namun, angkanya bisa dipastikan kian surut sejak perhitungan di awal milenium

Bahasa Gorontalo, yang merupakan bagian dari rumpun bahasa Gorontalo-Mongondow, terbagi menjadi beberapa dialek yakni Gorontalo Timur, Gorontalo Kota, Tilamuta, Suwawa, dan Gorontalo Barat.

Salah satu kendala pelestarian bahasa ini adalah sifatnya sebagai bahasa lisan. Upaya mengabadikan bahasa Gorontalo dalam buku baru dimulai pada zaman kolonial Belanda. Pada tahun 1870, sebuah manuskrip tua bahasa ini yang berjudul "Utiya tilingolowa lo pilu lo tau lota ohu-uwo lo pilu boito" disusun oleh Johan Gerhard Frederich Riedel, anak sulung seorang misionaris bernama Johan Frederich Riedel.

5. Bahasa Benggaulu (Sulawesi Barat)

Penutur Sisa Hitungan Jari, 5 Bahasa Daerah di Sulawesi Terancam PunahKemdikbud.go,id

Bahasa Benggaulu banyak dituturkan masyarakat yang berada di Desa Karossa, Kecamatan Karossa, Kabupaten Mamuju Tengah, dan sebagian masyarakat yang berada di wilayah Kecamatan Dapurang, Kabupaten Mamuju Utara, provinsi Sulawesi Barat.

Menurut Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kemendikbud dalam Seminar Internasional Kebahasaan pada Agustus 2019, disebutkan bahwa kondisi bahasa Benggaulu masih stabil dan digunakan dalam upacara adat. Namun, tradisi bertutur yang kian menurun membuat bahasa ini sudah masuk dalam status terancam.

Kemdikbud menulis bahwa Benggaulu memiliki persentase perbedaan berkisar 88%-90% dibandingkan dengan bahasa-bahasa di Sulawesi Tengah, seperti bahasa Mandar dan bahasa Mamuju. Artinya, banyak leksikon Benggaulu yang benar-benar berbeda dengan bahasa daerah di Sulawesi Barat pada umumnya.

Baca Juga: 5 Langkah yang Bisa Dilakukan Millenial untuk Lestarikan Bahasa Daerah

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya