TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kisah Kamp Tawanan Jepang di Sulsel  pada Perang Dunia II

Total ada lebih dari 2.000 tentara Eropa ditahan saat itu

Kondisi Kota Makassar, Sulawesi Selatan, setelah pemboman yang dilakukan oleh pesawat-pesawat sekutu pada Perang Dunia II. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Makassar, IDN Times - Keberadaan kamp-kamp penahanan pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) sudah bukan rahasia umum. Pemerintahan militer Dai Nippon mendirikan kamp sebagai cara "menangani" para warga negara Belanda, orang-orang Eropa dan para prajurit sekutu yang menjadi tawanan perang selama Perang Pasifik berkecamuk.

Sejak 3.000 bala tentara Jepang mendarat di Minahasa pada 11 Januari 1942, seluruh Sulawesi jatuh hanya dalam tempo satu bulan. Makassar sendiri menyaksikan pendaratan angkatan laut Jepang pada 9 Februari 1942.

Para tentara KNIL yang kalah jumlah terpaksa menyingkir ke pedalaman, mempersiapkan rencana gerilya. Namun kondisi mereka yang berpencar membuat perlawanan tak mungkin dilanjutkan.

Dalam catatan Indische Kamp Archieven, dijelaskan bahwa sekitar 1.100 serdadu KNIL yang menjadi tawanan perang dimasukkan secara bertahap pada Februari, Maret hingga Apri 1942. Mereka dimasukkan ke dalam barak-barak milik KNIL Makassar, di daerah Mattoanging. Ternyata kota ini pula yang menjadi pusat penahanan tawanan asal Sunda Kecil (kini disebut Nusa Tenggara Timur).

Baca Juga: Ternyata, Merah Putih Berkibar di Sulsel Sebelum Indonesia Merdeka

1. Para tawanan perang Jepang terdiri dari prajurit Inggris, Belanda, Amerika Serikat dan Australia

Para tentara Inggris yang ditawan oleh serdadu Jepang di Singapura, pada Februari 1942. (Wikimedia Commons/Singapore: The Pregnable Fortress A Study in Deception, Discord & Desertion (Coronet: 1995))

"Turut ditahan pula 1.700 staf angkatan laut Belanda, Inggris dan Amerika Serikat, termasuk di antaranya mereka yang selamat pada Pertempuran Laut Jawa. Pada April 1942, terdapat sekitar 2.870 tawanan. Kemudian pada Juni dan Juli, datang juga beberapa kelompok tawanan perang dalam jumlah sedikit dari Sunda Kecil," jelas catatan tersebut.

Di pertengahan Oktober 1942, sekitar 1.000 tawanan diangkut ke Jepang. Mereka diduga menjadi pekerja pertambangan dan dermaga bongkar muat. Sebelumnya sejumlah kecil perwira tinggi telah dipindahkan ke Negeri Matahari Terbit dan Surabaya, berturut-turut pada April 1942 kemudian April 1943.

Pada Juni dan Juli 1944, sekitar 1.700 tawanan dipindahkan ke lokasi yang baru. Terletak di Mariso, selatan Makassar, lokasinya berada di tengah pepohonan kelapa yang lebat. Ternyata beberapa bulan sebelumnya, beberapa kelompok dikerahkan membangun kamp baru dengan tangan sendiri.

Mereka bekerja di bawah cuaca terik, kekurangan makanan, ancaman malaria dan kekerasan tentara Jepang. Sebab dindingnya yang terbuat dari bambu, tempat baru tawanan ini kemudian dikenal sebagai "Bamboo camp" (Kamp bambu).

2. Markas KNIL di Mattoanging sempat menjadi kamp sementara bagi para tawanan perang

Markas militer Hindia-Belanda (KNIL) di daerah Mattoanging, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, antara tahun 1948 dan 1949. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Salah satu catatan yang merinci kondisi para tawanan perang di Makassar berasal dari Bill Francis. Ia adalah juru pengapian kapal perang milik Inggris, HMS Exeter, yang karam di Laut Jawa pada 1 Maret 1942 (Pertempuran Laut Jawa).

Setelah tertangkap, Bill sempat dipindahkan ke Banjarmasin selama beberapa waktu untuk menjalani perawatan. Namun itu tak berlangsung lama. Ia kemudian harus menempuh perjalanan laut selama tiga hari ke Makassar. Begitu kapal merapat di pelabuhan, Bill dan ratusan tawanan lain harus berjalan kaki hingga ke markas KNIL Mattoanging, yang menjadi kamp sementara.

"Kami disuruh berjalan kaki melewati Kota Makasar pada tengah hari yang panas terik. Kami tidak memakai sepatu dan kaki kami melepuh begitu tiba di kamp KNIL yang akan kami tinggali selama sembilan bulan atau lebih," ungkap Bill, seperti dikutip dari situs COFEPOW.org.uk.

Satu kamar di Kamp KNIL Mattoanging bisa dihuni oleh lima hingga enam orang. Bill menjelaskan mereka tidur dan duduk di lantai sebab tak ada tempat tidur atau kursi.

Baca Juga: Empat Benteng Bersejarah di Sulsel yang Tegak Melawan Zaman

3. Dari markas KNIL, ratusan tawanan ini kemudian dipindahkan ke Bamboo Camp yang terletak Mariso

Ilustrasi "Bamboo Camp" Mariso, salah satu kamp tawanan perang milik tentara Jepang di Makassar, Sulawesi Selatan, selama Perang Dunia II. (COFEPOW.org.uk)

Bill, dan para penghuni Kamp KNIL lainnya, awalnya dipekerjakan sebagai pembersih gudang. Setelah tugas rampung, mereka ditugasi bongkar muat kapal-kapal dagang Jepang yang datang merapat ke dermaga Mariso. Seiring waktu, ada juga tugas membangun stasiun radio dan garasi kendaraan militer.

Pada akhir 1943, sebagian penghuni Kamp KNIL Mattoanging dipindahkan ke Mariso dan membangun Bamboo Camp, termasuk Bill. Kamp ini dibangun secara tradisional, malah lebih mirip gubuk. Berdinding bambu dan beratap daun rumbia. Papan sederhana dengan tiang penyangga jadi tempat tidur mereka.

Para tawanan perang di Bamboo Camp Mariso mendapat waktu kerja yang tidak berperikemanusiaan. "Beberapa kelompok pergi pada jam delapan pagi dan baru kembali sekitar pukul enam malam. Bahkan jika ada banyak pekerjaan, sebagian tidak pulang sampai hari sudah gelap, kira-kira pukul delapan atau sembilan malam," tutur Bill.

Ia turut menjelaskan kamp baru yang dibuka di daerah Mandai, Maros, pada awal tahun 1944. Sekitar dua ratus tawanan perang dipindahkan untuk pembangunan landasan pacu Lapangan Udara Mandai. Bill rupanya kembali terlibat.

4. Seperti di tempat lain, para tawanan perang di Makassar disiksa dan kekurangan gizi

Para tawanan perang asal Australia dan Belanda di Tarsau, Thailand, yang menderita penyakit beri-beri. (Wikimedia Commons/Australian War Memorial)

Lantas bagaimana dengan cerita kekejaman tentara Jepang di kamp penahanan? Bill turut menjelaskan perlakuan semena-mena opsir Dai Nippon dalam catatan tertulisnya. Pada hari-hari awal penahanan di Makassar, ia melihat eksekusi tiga orang Belanda. Ketiganya sempat melarikan diri, namun kembali tertangkap berkat laporan warga lokal.

"Mereka dibawa kembali ke kamp untuk dipukuli, kemudian kepala mereka dipenggal. Setelahnya, kami semua dibagi dalam kelompok yang terdiri dari sepuluh orang. Jika salah satu orang dari kelompok lolos, sembilan lainnya bakal dipenggal," jelas Bill.

Ia turut menyebut nama komandan Bamboo Camp Mariso, bernama Yoshida, yang dianggap sebagai perwira paling kejam. Beberapa tawanan perang mengalami penyiksaan dan penganiayaan oleh Yoshida. Salah satunya bahkan harus dirawat di rumah sakit selama tiga bulan.

"Cukup sering semua orang Inggris akan dipanggil menyaksikan pemukulan seluruh tawanan yang dituduh mencuri di luar kamp. Yoshida memerintahkan penyiksaan kepada para petugas kamp lewat teriakan," kenang Bill.

Baca Juga: Sejarah Perubahan Nama Makassar ke Ujung Pandang yang Kontroversial

Berita Terkini Lainnya