Empat Benteng Bersejarah di Sulsel yang Tegak Melawan Zaman

Saksi bisu perlawanan terhadap VOC dan kolonial Belanda

Makassar, IDN Times - Sebagai basis pertahanan dari gempuran musuh, benteng menjadi unsur penting untuk sebuah kerajaan di masa lampau. Benteng menjadi tempat perlindungan, menyusun siasat, menyimpan makanan, gudang amunisi hingga pusat pemerintahan. Sebagai saksi bisu kejayaan dan kejatuhan, bangunan kokoh bertembok tebal itu pun memiliki nilai historis.

Kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan dahulu pun demikian. Terlebih sejak pengaruh VOC dan bala tentaranya menguat pada abad ke-17, pertempuran dengan kompeni seolah tinggal menunggu waktu. Membangun benteng di sepanjang pesisir jadi taktik memperkuat diri, tak hanya dari serangan kerajaan tetangga.

Ada lebih dari 15 benteng sempat berdiri gagah di seantero Sulsel. Namun kini hanya sedikit yang masih bisa dikunjungi atau utuh. Selebihnya, telah runtuh tanpa sisa atau sulit dilacak keberadaannya. Berikut ini IDN Times menyajikan daftar singkat benteng-benteng bernasib mujur tersebut.

Baca Juga: Berziarah ke Kompleks Makam Raja Tallo, Menyusuri Sejarah Makassar

1. Benteng Fort Rotterdam, Makassar

Empat Benteng Bersejarah di Sulsel yang Tegak Melawan ZamanPemandangan bagian dalam Benteng Fort Rotterdam di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. (Wikimedia Commons/Sanko)

Salah satu landmark Makassar dan menjadi magnet para wisatawan dalam negeri atau mancanegara. Riwayat benteng ini dimulai dari tahun 1545, saat pertama kali dibangun oleh Sultan Gowa ke-8 yakni Daeng Matanre Karaeng Tumapa'risi' Kallonna. Nama awalnya adalah Benteng Jum Pandang, namun dijuluki masyarakat sebagai Benteng Pannyua (bahasa Makassar untuk hewan penyu) lantaran bentuknya yang mirip fauna laut tersebut kalau diamati dari udara.

Dipugar agar mirip dengan benteng khas Eropa pada masa pemerintahan Sultan Alauddin (Sultan Gowa ke-15, memerintah 1586-1639), Jum Pandang masuk sebagai salah satu poin Perjanjian Bongaya yang diteken pada 18 November 1667. Diserahkan kepada VOC lantaran kalah perang, benteng tersebut kemudian berubah namanya menjadi Fort Rotterdam. Sesuai dengan kota kelahiran komandan VOC di Perang Makassar saat itu, Cornelis Speelman.

Selain sebagai pusat administrasi VOC kemudian Hindia-Belanda, Benteng Fort Rotterdam juga menjadi tempat penahanan Pangeran Diponegoro. Ia dibuang pasca mengobar Perang Jawa (1741-1743) yang memusingkan para pembesar di Batavia.

Benteng yang berada di Jalan Ujung Pandang ini memiliki luas 11.605,85 meter persegi. Bentuknya sekarang adalah hasil revitalisasi besar-besaran dari tahun 2010 hingga 2012, hasil kerjasama pemerintah Indonesia dan Belanda. Di dalamnya terdapat Museum La Galigo, yang berisi mozaik peradaban Sulsel dari masa purbakala sampai Hindia-Belanda, termasuk salah satu potongan naskah epos legendaris I La Galigo.

2. Benteng Somba Opu, Gowa

Empat Benteng Bersejarah di Sulsel yang Tegak Melawan ZamanPemandangan bagian dalam Benteng Somba Opu di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. (Dok. Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan)

Menurut mendiang Prof. Mattulada, dalam buku "Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah, 1510-1700" (Hasanuddin University Press, 1991), Benteng Somba Opu didirikan bersamaan dengan 14 benteng lainnya (termasuk Jum Pandang) di seluruh wilayah Kesultanan Gowa-Tallo. Kelak, Somba Opu jadi salah satu benteng pesisir strategis di abad ke-17.

Benteng Somba Opu menjadi pusat administrasi Gowa-Tallo, termasuk kediaman raja dan para pemangku kebijakan. Sejak mulai mencuat sebagai kekuatan maritim pada abad ke-16, pemukiman pedagang didirikan di sekitar Somba Opu. Namun seiring berakhirnya Perang Makassar pada 1669, benteng ini juga direbut oleh pasukan pimpinan Cornelis Speelman.

Digunakan oleh administrasi VOC dan kolonial Belanda, benteng yang berada di Kecamatan Barombong ini sempat puluhan tahun ditinggalkan. Semak belukar dan lumpur Sungai Jene'berang membuatnya sulit diakses, terlupakan dan runtuh sedikit demi sedikit.

Alami revitalisasi pada tahun 1990, kompleks benteng seluas 113.590 meter persegi ini didapuk sebagai salah satu tempat destinasi Kabupaten Gowa sekarang. Di dalamnya terdapat bangunan rumah adat suku-suku di Sulawesi Selatan, area wisata alam dan Museum Karaeng Pattingalloang.

3. Benteng Balangnipa, Sinjai

Empat Benteng Bersejarah di Sulsel yang Tegak Melawan ZamanPemandangan bagian dalam Benteng Balangnipa di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. (Dok. Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan)

Benteng Balangnipa awalnya didirikan oleh Persekutuan Tellu Limpo'E, yakni tiga kerajaan kecil Bulo-Bulo, Tondong dan Lamatti yang bergabung menjadi satu daerah pemerintahan pada tahun 1557. Bentuk awalnya pun sangat sederhana, hanya gundungan batu gunung yang direkatkan dengan lumpur. Tujuan pendiriannnya yakni menahan serangan tentara kerajaan tetangga.

Balangnipa turut menyaksikan perang dahsyat. Tellu Limpo'E terlibat konfrontasi dengan Tentara Kerajaan Hindia-Belanda (KNIL) pimpinan Letjen Jan van Swieten pada 1859-1869. Ini adalah usaha ketiga mereka menundukkan seluruh kerajaan di tanah Bone. Perang tersebut berakhir dengan pertempuran dahsyat, yang dikenal sebagai Rumpa'na Mangarabombang.

Setelah direbut Belanda, Balangnipa kemudian dipugar dengan gaya arsitektur khas Eropa pada 1684, dan bentuknya bertahan hingga sekarang. Benteng yang terletak di Kecamatan Sinjai Utara itu kini menjadi cagar budaya, museum daerah serta tempat acara-acara seni budaya.

Ditetapkan sebagai Warisan Budaya Benda pada 4 Oktober 1999, Balangnipa sedang dalam proses revitalisasi sejak tahun 2018.

4. Benteng Sanrobone, Takalar

Empat Benteng Bersejarah di Sulsel yang Tegak Melawan ZamanPemandangan Benteng Sanrobone di Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan, dari halaman luar. (Facebook.com/Muhammad Naim)

Benteng Sanrobone jadi salah satu dari 16 basis pertahanan sepanjang pesisir yang didirikan Tumapa'risi' Kallonna. Yang menarik, benteng ini berada di wilayah Kerajaan Sanrobone. Hubungan baik dengan Gowa-Tallo membuat penguasa Sanrobone menyetujui permintaan pemangku tertinggi Gowa-Tallo untuk mendirikan benteng.

Luasnya pun tak main-main, mencapai 25,54 hektar dan berbentuk seperti perahu dengan panjang 3,7 kilometer. Namun, nasibnya tak seberuntung Jum Pandang atau Somba Opu. Sanrobone dan 13 benteng lain harus dihancurkan, sebagai bagian dari Perjanjian Bongaya antara VOC dan Gowa-Tallo. Namun, kompleksnya masih berdiri dan ditempati penguasa wilayah setempat yang bergelar Dampang.

Kondisinya kian memprihatinkan usai gerombolan DI/TII membakar habis kompleks Sanrobone pada 1956. Ini dipicu sikap Raja Sanrobone saat itu, Mallombasi Daeng Kilo, yang memilih tetap setia pada Republik Indonesia. Seluruh peninggalan Kerajaan Sanrobone lenyap dalam bara api.

Hanya sedikit dari situs yang terletak di Kecamatan Sanrobone itu yang masih berdiri. Ada rumah adat dan tembok bata merah sisa-sisa kemegahan Benteng Sanrobone, sebuah sumur tua, makam raja-raja Sanrobone serta masjid tua Baitul Maqdis.

Baca Juga: Karaeng Pattingalloang: Poliglot dan Pecinta Sains Asal Gowa-Tallo

Memperingati HUT ke-75 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, IDN Times meluncurkan kampanye #MenjagaIndonesia. Kampanye ini didasarkan atas pengalamanan unik dan bersejarah bahwa sebagai bangsa, kita merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI dalam situasi pandemik COVID-19, di saat mana kita bersama-sama harus membentengi diri dari serangan virus berbahaya. Di saat yang sama, banyak hal yang perlu kita jaga sebagai warga bangsa, agar tujuan proklamasi kemerdekaan RI, bisa dicapai.

Topik:

  • Aan Pranata
  • Jumawan Syahrudin

Berita Terkini Lainnya