Menelisik Makna dan Keistimewaan Bulan Suro bagi Masyarakat Jawa
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Makassar, IDN Times - Tanggal 1 Muharram memiliki arti khusus bagi umat Islam. Hari pertama dalam penanggalan Hijriah ini berasal dari peristiwa berpindahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah dan Madinah pada Juni 622 M. Momen bersejarah yang disebut hijrah tersebut kemudian menjadi tonggak kebangkitan peradaban Islam.
Di sisi lain, 1 Muharram mengandung makna istimewa di masyarakat Jawa. Ini tak lepas dari bertemunya adat istiadat leluhur dengan dengan nilai-nilai agama (akulturasi), ketika Islam mulai masuk ke Jawa di abad ke-11. Percampuran dua budaya ini kemudian melahirkan ragam tradisi yang unik. Salah satunya yakni malam Satu Suro.
Abdul Ghoffir Muhaimin, di buku Islam dalam Bingkai Budaya Lokal (Logos, 2002), menjelaskan bahwa nama bulan Sura bersumber dari kosa kata bahasa Arab yakni Asyura (hari ke-10 bulan Muharram). Nah, berbicara tentang penanggalan Jawa sejatinya tak bisa lepas dari sistem kalender Islam.
1. Dekrit Sultan Agung Mataram pada 8 Juli 1633 membawa sistem penanggalan lunar ala Hijriah ke dalam kalender Jawa
Eric Oey, dalam Java (Tuttle Publishing, 2001), menjelaskan bahwa Sultan Agung (penguasa keempat Kesultanan Mataram, memerintah 1613-1645) menerbitkan dekrit pada 8 Juli 1633. Dekrit tersebut menyatakan bahwa sistem penanggalan Jawa (Saka, berasal dari sistem penanggalan Hindu) tak lagi memakai perputaran matahari (solar) melainkan perputaran bulan (lunar). Nah, sistem kalender lunar ini juga digunakan dalam penanggalan Hijriah milik umat Islam.
Akulturasi ditempuh. Angka tahun Saka saat dekrit tersebut terbit, yakni 1555 Saka, tetap dipakai dan diteruskan. Alhasil penanggalan Jawa baru berdasarkan sistem lunar ini tak ikut mengadopsi perhitungan Hijriah saat itu (1043 H).
Nama-nama bulannya pun ikut berubah. Nama bulan Hijriah diadaptasi ke lidah Jawa. Ada Sapar (Safar), Mulud (Rabiul Awal), Bakda Mulud (Rabiul Akhir), Rejeb (Rajab), Pasa (Ramadan) dan Sawal (Syawal). Termasuk pula Sura atau Suro sebagai pengganti Muharram.
2. Malam Satu Suro memiliki makna spiritual dan mistisnya sendiri
Nah, lantas dari mana pandangan masyarakat Jawa perihal makna sakral bulan Suro? Pertama, ini disebut tak lepas dari kepercayaan bahwa jagad makhluk tak kasat mata juga mengikuti kalender yang kita pakai (dalam hal ini, kalender Jawa). Alhasil, bulan Sura sebagai awal dari tahun yang baru turut berlaku untuk makhluk gaib.
Menurut kepercayaan sebagian orang, malam tanggal 1 Suro bersinonim dengan keramat. Malam yang memiliki makna spiritual dan mistisnya sendiri. Salah satu representasinya pada budaya populer tentu saja film horor Malam Satu Suro (1988) yang dibintangi oleh mendiang Suzanna.
Berangkat dari nilai sakralnya, maka dianggap tak elok melaksanakan hajatan pribadi. Bulan Sura/Muharram dihormati sebagai bulan yang mulia, serta waktu yang tepat melakukan introspeksi diri. "Dikhawatirkan akan mengalami kesukaran hidup dan rumah tangganya akan banyak terjadi pertengkaran," demikian penjelasan dalam buku Kitab Primbon Jawa Serbaguna (Narasi, 2009) yang disusun oleh R. Gunasasmita.
Baca Juga: Kisah Tragis Berakhirnya Kekuasaan Dua Raja Zalim di Tanah Bugis
3. Dipandang sebagai bulan mulia, maka pantang melaksanakan hajatan bersifat pribadi pada bulan Suro
Kedua, lingkungan Keraton Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta lebih memaknai malam 1 Sura sebagai malam nan suci serta dilimpahi rahmat oleh Allah SWT. Pandangan Islam-Jawa perihal status istimewa Sultan sebagai wakil Allah di muka bumi (khalifatullah) turut mengukuhkan mitos pamali melaksanakan hajat di bulan Suro.
Robi Wibowo, dalam Nalar Jawa Nalar Jepang (UGM Press, 2018), menulis bulan Sura jadi waktu pencucian atau pembersihan pusaka yang dimiliki dan disimpan oleh kerajaan. Dengan hajatan hanya dilakukan pihak keraton saja, maka rakyat biasa menganggap tabu melaksanakan perhelatan yang bersifat pribadi, kecuali ritual yang diadakan raja atau sultan.
Maka muncullah pantangan-pantangan selama bulan Suro. Mulai dari tak boleh mengadakan pernikahan, menunda pindah rumah, dan dilarang mengadakan pesta hajatan lain-lain seperti selamatan atau akikah. Kepercayaan lokal menyebut jika pantangan ini dilanggar, maka bisa mendatangkan kualat atau kesialan.
4. Larung sesaji adalah contoh ritual masyarakat Jawa pada malam Satu Suro
Malam Satu Suro oleh masyarakat Jawa digunakan sebagai momen mendekatkan diri ke Sang Pencipta. Beberapa ritual yang biasa dilakoni antara lain tirakatan (menyendiri sambil membaca wirid), lek-lekan (tak tidur sepanjang malam) serta tugurani (merenung sembari berdoa). Sedang bulan Sura menjadi waktu untuk menyucikan diri serta mengingat kesalahan.
Nah, karena hanya keraton yang bisa mengadakan acara di bulan Sura, sejumlah daerah di Jawa memiliki ritualnya masing-masing. Keraton Kasunanan Surakarta dan Puro Mangkunegaran menggelar proses mengarak (kirab) benda-benda pusaka sakral. Sementara abdi dalem (aparatur sipil) Keraton Yogyakarta melaksanakan Tapa Bisu, sebuah ritual di mana mereka mengelilingi dinding keraton tanpa berbicara.
Di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, dikenal tradisi jamasan pusaka (mencuci pusaka) Tombak Abirawa. Ada pula proses larung sesaji atau ritual sedekah alam, sebagai bentuk rasa syukur dan penghargaan kepada alam sebagai sumber penghidupan manusia. Larung sesaji biasa diadakan di laut, gunung atau tempat sakral lainnya.
Baca Juga: Manis Getir Hidup Bissu, Garda Terdepan Penjaga Budaya Bugis Kuno