Karaeng Pattingalloang: Poliglot dan Pencinta Sains Asal Gowa-Tallo

Gandrung ilmu, dikagumi para koleganya dari tanah Eropa

Makassar, IDN Times - "Jika kita mendengarkan omongannya tanpa melihat orangnya, pasti kita mengira dia adalah orang Portugis sejati, karena ia berbahasa Portugis sama fasihnya dengan orang Lisbon. Ia menguasai dengan baik segala misteri kita, dan telah membaca kisah raja-raja kita di Eropa dengan keingintahuan besar," tulis Pastor Alexandre de Rhodes SJ, seperti dikutip oleh sejarawan Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa: Batas-batas Pembaratan (1996).

Siapa gerangan pengundang decak kagum orang Eropa atas kemahirannya menguasai bahasa asing itu? Yang dimaksud oleh si Pastor asal Prancis itu adalah Karaeng Pattingalloang, seorang Perdana Menteri dari Kerajaan Tallo yang menemani Sultan Malikussaid (1605-1639) mengantar Kesultanan Makassar ke zaman keemasan, sebagai salah satu kekuatan maritim terkemuka Asia Tenggara di abad ke-17.

Baca Juga: Riwayat Singkat Tiga Datuk Penyebar Islam di Sulawesi Selatan

1. Hobi Karaeng Pattingalloang menekuni sains, ilmu pasti, dan literatur Eropa rupanya menurun dari sang ayah

Karaeng Pattingalloang: Poliglot dan Pencinta Sains Asal Gowa-TalloKataIlmu.com

Lahir dengan nama I Mangadacinna Daeng Sitaba pada tahun 1600, Karaeng Pattingalloang adalah anak keenam dari pasangan permaisuri I Wara' Karaeng Lempangang dan Karaeng Matoaya. Sang ayah punya tempat tersendiri dalam sejarah mengingat dialah raja Tallo pertama yang memutuskan memeluk Islam berkat bimbingan Abdul Qadir Datuk Tunggal alias Datuk ri Bandang. Gelar Sultan Awalul Islam pun melekat.

Sejumlah catatan menyebut jika Karaeng Matoaya sudah menunjukkan kecintaan pada ilmu pengetahuan. William Cummings dalam Making Blood White: Historical Transformations in Early Modern Makassar (2002) menulis jika pendamping Sultan Alauddin (1593-1639) tersebut menaruh minat intelektual terhadap buku-buku bertema teologi, sains, hingga astronomi.

Ketika meletakkan jabatan pada 1623, Karaeng Pattingalloang pun mengisi jabatan Tuma'bicara-butta (juru bicara negeri, setingkat Perdana Menteri Kesultanan Makassar) sekaligus Raja Tallo yang ditinggalkan sang ayahanda.

2. Di tengah tugas sebagai Perdana Menteri Gowa-Tallo, Karaeng Pattingalloang masih menyempatkan diri menekuni ilmu pengetahuan

Karaeng Pattingalloang: Poliglot dan Pencinta Sains Asal Gowa-TalloANTARA FOTO/Dewi Fajriani

Kebiasaan membaca sang ayah rupanya menurun kepada Pattingalloang muda. Maka begitu naik tahta, dia dikenal sebagai sosok pemimpin yaeng gandrung ilmu. Anthony Reid menyebut Raja Tallo ke-8 itu sebagai Sang Pencerah (Renaissance Man) dalam A History of Southeast Asia: Critical Crossroads (2015). Pattingalloang mewarisi hasrat ingin tahu sang ayah, serta melengkapinya dengan sikap membuka diri terhadap pemikiran Barat.

Tak heran, sejumlah literatur Portugis, Latin, dan Spanyol dilahapnya dengan antusias. Selain itu, diapun fasih berbincang dalam bahasa Melayu dan tentu saja Makassar. Ini menjadikan Pattingalloang salah satu dari segelintir poliglot dari zaman Nusantara kuno.

Koleksi bukunya pun bahkan mengundang decak kagum dari para pejabat dan pendatang Eropa. Geoffrey C. Gunn di dalam First Globalization: The Eurasian Exchange, 1500 to 1800 (2003) menyebut bahwa ia memiliki perpustakaan dengan koleksi mengagumkan mulai dari buku-buku terbitan Eropa hingga Turki, manuskrip kuno, empat volume Atlas buatan Joan Blaeu (kartografer mahsyur asal Belanda) hingga globe buatan tangan.

3. Pattingaloang bersama Sultan Malikussaid mengantar Kesultanan Makassar ke masa emas sebagai kekuatan maritim Asia Tenggara

Karaeng Pattingalloang: Poliglot dan Pencinta Sains Asal Gowa-TalloClassicalImages.com

Lebih jauh, tugas padat sebagai pengurus segala perkara Kesultanan Makassar masih bisa diselingi dengan aktivitas mempelajari ilmu eksakta. "Ia selalu membawa buku-buku kita, khususnya buku-buku mengenai matematika, yang mana ia sangat ahli, dan begitu besar cintanya terhadap setiap bagian ilmu ini, sehingga mengerjakannya siang-malam," lanjut Pastor de Rhodes dalam catatannya yang bertarikh 1653.

Pattingalloang sendiri juga menjadi salah satu saudagar terkemuka. Dengan posisi sebagai pemangku urusan Gowa-Tallo dan kemampuannya berinteraksi dengan sejumlah pedagang Eropa (yang waktu itu menguasai lintas perdagangan samudera), tak ayal Makassar pun menjadi bandar populer. Terlebih rempah-rempah yang berasal dari Maluku singgah ke Makassar sebelum diperjual belikan.

Hubungan perniagaan terjalin dengan Kesultanan Ternate, Portugis, Belanda di Batavia, Filipina (yang waktu itu dikuasai Spanyol), Siam (cikal-bakal Kerajaan Thailand) dan Golkonda (kini Hyderabad, India selatan).

Baca Juga: Sulawesi Selatan, Pintu Gerbang Kawasan Indonesia Timur

4. Potret Pattingalloang terselip di sebelah kanan atas Atlas Maior buatan Joan Blaeu tahun 1664

Karaeng Pattingalloang: Poliglot dan Pencinta Sains Asal Gowa-TalloBijzondere Collectie

Kendati waktu itu dianggap sebagai ancaman terbesar Gowa-Tallo, pihak VOC-Belanda masih menaruh hormat kepada Pattingalloang. Buktinya, mereka menjadi "kurir" setia sejumlah pesanannya. Mulai dari lonceng (1641), sepasang unta jantan-betina (1648), teropong buatan Galileo Galilei (1635) dan hingga dunia dengan diameter hingga 400 cm (1644). Menurut Lombard, pesanan yang disebut terakhir jadi proyek terbesar yang ditangani bengkel kerja Joan Blaeu.

Kegemaran Pattingaloang atas matematika, astronomi, geografi, optik membuat orang-orang Eropa terkesan. Apalagi ilmu-ilmu tersebut merebak bersamaan dengan masa Renaissance. Joost van del Vondel, penyair kenamaan Belanda, bahkan menyusun sajak pujian untuk sosok yang wafat pada 1654 tersebut:

"Bola dunia itu, perusahaan Hindia Timur

Mengirimkannya ke rumah Pattingalloang agung

Yang otaknya menyelidik ke mana-mana

Menganggap dunia seutuhnya terlalu kecil

Kami berharap tongkat kekuasaannya memanjang

Dan mencapai kutub satu dan yang lain

Agar keuzuran waktu hanya melapukkan

Tembaga itu, bukan persahabatan kita"

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau
  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya