TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Gemar Sastra? Lima Buku Puisi Penyair Sulsel Ini Layak Kamu Baca

Tradisi dan kearifan lokal turut mengiringi narasi

Medium.com/Goodreads/Gramedia.com

Makassar, IDN Times - Minggu 28 April silam adalah hari penting bagi para pegiat dan pembaca karya sastra di Indonesia. Tanggal tersebut ditetapkan oleh pemerintah sebagai Hari Puisi Nasional, mengacu pada tanggal wafatnya Chairil Anwar pada .

Siapa tak kenal Chairil.  Penyair mahsyur itu membidani kelahiran gerakan baru dalam sastra Indonesia. Di sisi lain, UNESCO sudah menetapkan 21 Maret sebagai Hari Puisi Internasional sejak 1999.

Tak ingin ketinggalan dalam perayaan kata-kata, IDN Times turut memilih lima buku puisi penyair asal Sulawesi Selatan yang layak kamu baca. Temanya pun beragam, mulai dari Perang Makassar, dapur plus kuliner, ditambah cuplikan naskah sastra legendaris La Galigo.

1. Cuaca Buruk Sebuah Buku Puisi (Ibe S. Palogai)

Medium.com/@ibespalogai

"kau menghaluskan diri di ambang tidur

mengundang aku merantau ke masa dahulu

menebingkan lekuk waktu bagi curam peristiwa

di dalamnya kita jatuh terkutuk atau hilang

sebagai cerita"

Buku kumpulan puisi terbaru dari Ibe S. Palogai, salah satu penulis muda Sulawesi Selatan. Terbit setahun silam, Cuaca Buruk Sebuah Buku Puisi langsung menjadi buah bibir tatkala diumumkan masuk dalam proses kurasi 10 besar ajang Kusala Sastra Khatulistiwa.

Pemuda kelahiran Takalar 7 Juli 1993 ini mengaku banyak terinspirasi dari peristiwa Perang Makassar (1666-1667). Menjadi tema besar, Ibe turut bercerita tentang dampak pergulatan hebat hampir seluruh kerajaan di daratan Sulsel waktu itu, yang masih terasa hingga detik ini. Astana Galesong (makam pejuang Bugis), Ininnawa (lagu daerah yang bercerita tentang kesabaran), hingga Kanre Apia (sebuah desa di Kabupaten Gowa) turut mengisi narasinya.

Baca Juga: Ingin Tahu Lebih Banyak Tentang Makassar? Coba Baca Empat Buku Ini!

2. Cinta Yang Marah (M. Aan Mansyur)

Dok. Istimewa

"Suatu hari kelak, sebelum salah satu di antara aku dan kau tersangkut maut, pada hari ulang tahun kau, ketika tidak ada pekerjaan kantor yang melarang kau cuti, aku akan mengajak kau menjadi tua renta, kemudian mengajak kau kembali menjadi anak-anak."

M. Aan Mansyur dikenal publik luas berkat puisi-puisi tentang cinta dan manis-getir hidup. Tema serupa turut diangkat dalam Cinta Yang Marah, buku kumpulan puisi yang terbit 2017 lalu. Namun, Aan dalam larik-lariknya menyinggung banyak hal. Dialog "aku" dan "kamu" ibarat sebuah perbincangan sepasang manusia yang baru saja khatam membaca ribuan eksemplar koran.

Salah satunya yakni Reformasi 1998, lembar terakhir rezim Soeharto yang berkuasa selama 30 tahun. Singkatnya, sejarah Indonesia turut menjadi benang merah di buku ini. Seluruh puisi turut bersanding dengan kliping surat kabar, seolah melengkapi memori-memori yang coba digali kembali dari dalam benak.

3. Dapur Ajaib (Alfian Dippahatang)

Dok. Istimewa

"Cabai tumis yang lezat kata seseorang yang berasal dari Batam

diduga dibikin ibuku dari proses latihan yang menguras air mata dan peluh

Di tangan ibuku yang pandai memasak itulah,

jiwa penyabar tumbuh jadi tanaman hijau di dadaku"

Terbit tahun 2017 silam, inilah kumpulan puisi perdana Alfian Dippahatang. Dapur Ajaib termasuk unik lantaran banyak berputar pada dapur sebagai tanda kemakmuran suatu rumah beserta segala isinya, mulai dari makanan hingga bumbu pelengkap. Fian, sapaan lengkapnya, mendasari puisi-puisi karyanya atas kecintaan terhadap kuliner Tanah Daeng, terkhusus coto makassar.

Selain berkisah perihal makanan dan perjuangan agar asap dapur tetap mengepul. Ibu turut menjadi tema sentral, sebagai anggota keluarga yang bertugas menjaga eratnya ikatan keluarga melalui sajian makanan racikannya

4. Manurung (Faisal Oddang)

Twitter.com/editor_in_chic

"Perang umpama genderang yang bisa ditabuh kapan saja oleh Kekuasaan—dan Kekuasaan punya banyak tangan untuk menutup telinganya dari suara tabuhan."

Terbit tahun 2017 dengan judul lengkap Manurung: 13 Pertanyaan untuk 3 Nama, Faisal Oddang membuktikan diri tak cuma piawai membangun cerpen dan novel. Alumnus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin tersebut menyajikan epos La Galigo, mahakarya sastra Bugis perihal kelahiran dunia, sebagai tema sentral.

Namun bukan sebagai bentuk penulisan atau penceriteraan ulang, Faisal bertutur dari kacamata Manurung, seorang budak yang "mengkritik" perilaku tokoh La Galigo. Pemilihan budak pun menambah daya tarik, mengingat di naskah aslinya, "golongan terpinggirkan" tak mendapat peran apapun kecuali sebagai tumbal.

Berita Terkini Lainnya