Merawat Bara Perlawanan Rammang-Rammang Menolak Tambang Marmer

Warga akhirnya berdaulat atas kekayaan alam Rammang-Rammang

Makassar, IDN Times - Rammang-Rammang di Desa Salenrang, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, terkenal dengan keindahan panorama alam pegunungan karst. Keeksotisan pemandangan alamiah mengantar Rammang-Rammang menjelma sebagai destinasi wisata unggulan di Sulawesi Selatan. Namun, jauh sebelum populer sebagai tempat wisata, tersimpan kisah perjuangan masyarakat setempat mempertahankan keasrian lingkungan dari ancaman eksploitasi perusahaan tambang.

Cerita perlawanan masyarakat Salenrang disampaikan Iwan Dento, tokoh pemuda yang getol menolak aktivitas pertambangan berskala besar. Menurut Iwan, polemik pertambangan terjadi pada awal 2009 lalu.

"Kebijakan di tahun itu, yang mengeluarkan izin tambang di Rammang-Rammang adalah pemerintah daerah (Pemda) Maros," kata pria bernama lengkap Muhammad Ikhwan AM ini saat berbincang dengan IDN Times, akhir November 2020.

1. Dua investor asing asal Tiongkok dan Korea Selatan nyaris mengeruk alam Rammang-Rammang

Merawat Bara Perlawanan Rammang-Rammang Menolak Tambang MarmerGunung Bulu' Barakka di kawasan Rammang-rammang, Desa Salenrang, Kabupaten Maros, Sulsel. IDN Times/Sahrul Ramadan

Iwan menyebut, perusahaan tambang yang nyaris mengeruk kekayaan alam Rammang-Rammang dimodali dua orang investor asal Tiongkok dan Korea Selatan. Perusahaan milik mereka bergerak dalam sektor tambang khusus marmer. Keduanya pun berkolaborasi. Satu perusahaan membangun jalan agar memudahkan proses produksi, dan satunya lagi fokus mengurusi tambang marmer.

"Padahal kalau kita tahu dampaknya, marmer itu jauh lebih parah dari semen (karst). Marmer itu bahan bakunya 100 persen batu gamping. Kualitas marmer terbaik bukan di atas, di permukaan, tapi di bawah. Artinya kalau dikeruk, maka habislah sumber daya alam dan lingkungan di sini rusak parah," ungkap Iwan.

Perusahaan itu, kata Iwan, mulai masuk dengan dalih telah mengantongi izin pemerintah. Siasat licik juga dilakukan perusahaan. Untuk melicinkan operasi pengerukan, mereka memanfaatkan beberapa warga setempat. Tujuannya, agar orang-orang tersebut meyakinkan masyarakat Salenrang agar mau menerima masuknya perusahaan tambang.

Iwan mengaku mengetahui informasi soal izin tambang marmer di Desa Salerang, dari bocoran perusahaan lain. Informasi itu digali oleh Iwan dan akhirnya terbongkar bahwa perusahaan marmer ini hendak mengeruk sedikit demi sedikit sumber daya alam yang ada di dataran Rammang-Rammang.

Baca Juga: Geopark Maros Pangkep Sulsel Siap Jadi Destinasi Wisata Dunia

2. Masyarakat diiming-imingi kerja di perusahaan tambang

Merawat Bara Perlawanan Rammang-Rammang Menolak Tambang MarmerMasyarakat di Rammang-rammang, Desa Salenrang, Kecamatan Bontoa, Maros, Sulawesi Selatan saat menggelar acara Maudu Lompoa atau Maulid Nabi. (ANTARA FOTO/Abriawan Abhe)

Kata Iwan, sebagian dari masyarakat Desa Salenrang awalnya menambang secara mandiri. Tambang warga semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bagi Iwan, itu hal lumrah mengingat masyarakat di desanya turun temurun menggantungkan hidup dengan memanfaatkan dan menjaga sumber daya alam di sana.

Selain menambang, kata Iwan, ada juga masyarakat yang menjaring ikan di sungai, bertani dan berkebun. Iwan menganggap bahwa perusahaan berupaya memanfaatkan potensi pekerjaan masyarakat.

Dengan berbagai siasat itu, perusahaan tambang akhirnya bisa melakukan eksploitasi sumber daya alam Rammang-Rammang hingga empat tahun lamanya. Sepanjang pengerukan itu pula, Iwan bersama sebagian masyarakat terus melakukan perlawanan. Beberapa organisasi pemerhati lingkungan turut mendampingi.

"Karena tidak semua masyarakat saat itu menolak. Ada juga yang pro karena dijanjikan lapangan pekerjaan sampai kemudian dipekerjakan. Saya harus pahami itu. Saya tidak bisa juga salahkan mereka. Sebagian kecilnya, kita sama-sama untuk berlawan," tegas Iwan.

Perjuangan Iwan dan kelompok kecilnya tidak mudah. Berbagai intimidasi, cercaan hingga teror kerap dirasakan. Iwan tahu bahwa pihak perusahaan sengaja menciptakan konflik horizontal di tengah perlawanan masyarakat. Iwan pun semakin termotivasi untuk mencari metode baru untuk melawan. Dia ingin menghindari kontak fisik. Lebih jauh, dia berniat menciptakan ruang kerja baru agar masyarakat tidak bergantung pada perusahaan tambang marmer.

3. Pernah diminta untuk tinggalkan Rammang-Rammang

Merawat Bara Perlawanan Rammang-Rammang Menolak Tambang MarmerTokoh masyarakat Rammang-rammang, Iwan Dento/Instagram @iwandento

Selang beberapa waktu, perlawanan yang dipimpin Iwan semakin menguat. Pernyataan simpati dari berbagai kalangan memicu desakan agar perusahaan tambang segera angkat kaki dari tanah Salenrang. Namun, siasat perusahaan tidak habis. Mereka menggaet pemerintah desa untuk meminta warga hentikan perjuangan. Namun upaya itu mental. Justru, pemerintah desa angkat tangan dan menyerahkan seluruh persoalan itu ke perusahaan.

"Saya pernah diminta untuk tinggalkan kampung sebulan. Mereka fasilitasi. Tinggal saya pilih mau ke mana, di mana dan kapan. Itu untuk meredam perjuangan. Tapi saya bilang, tidak usah Pak, silahkan Bapak menambang, tapi jangan hentikan langkah kami berjuang untuk menolak," kenang Iwan.

Iwan dan lembaga yang dibentuk kemudian menelusuri lebih jauh tujuan beroperasinya perusahaan tambang di Salenrang. Belakangan, Iwan menemukan fakta bahwa perusahaan berniat menciptakan komoditas baru bagi masyarakat, yakni dengan menjadikan Rammang-Rammang sebagai objek wisata yang berdampingan dengan tambang.

Padahal, kata Iwan, masyarakat di desanya sudah memanfaatkan sumber daya alam secara turun temurun namun tidak dikomersialkan. "Karena di sini mereka menemukan pasar. Padahal secara lanskap Maros-Pangkep potensi batu gampingnya sama. Kenapa di Rammang-Rammang, karena mereka berpikir kalau bisa dijadikan nilai pariwisata," jelas Iwan.

Baca Juga: Rammang-Rammang, Gunung Karst di Maros yang Tak Kalah dari Halong Bay

4. Penggerak ekonomi tandingan di Rammang-Rammang

Merawat Bara Perlawanan Rammang-Rammang Menolak Tambang MarmerRumah kedua atau dermaga dua, sekaligus rumah dan lokasi usaha Iwan Dento, tokoh masyarakat di Rammang-rammang. IDN Times/Sahrul Ramadan

Iwan mengaku, memahami kondisi masyarakat saat itu yang pro terhadap perusahaan tambang. Lagi-lagi menurut Iwan, karena persoalan dapur yang harus terus mengepul dan perut yang harus selalu terisi. "Itu yang paling saya dan teman-teman pahami. Makanya jumlah kami yang menolak ini khususnya warga hanya sebagian kecil. Tapi kami tidak menyerah," tegas Iwan.

Ketergantungan masyarakat terhadap tambang saat itu, kata Iwan sangat kental. Pada akhirnya, perjuangan dilakukan dengan metode pemanfaatan kembali sumber daya lainnya yang ada di Rammang-Rammang. "Misalnya kalau ada sesekali orang datang, terus lihat capung seperti istimewa sekali. Nah, hal-hal kecil seperti ini yang kami anggap sebagai potensi," ungkap Iwan.

Menurut Iwan, proses edukasi untuk berjuang mempertahankan ruang hidup kepada warga tidak segampang membalikkan telapak tangan. Selain panjang, prosesnya penuh dengan kendala. Namun dengan kegigihan, menurut Iwan, perlahan warga mulai sadar. "Berat memindahkan ketergantungan masyarakat dari perorangan menjadi ketergantungan terhadap lingkungan," ucap Iwan.

Akhirnya, perjuangan panjang menemukan harapan besar. Iwan bersama kelompok pendukung membuat strategi ekonomi tandingan. Di antaranya, pemanfaatan sampan milik warga untuk mengangkut orang-orang luar yang hendak menikmati bentang alam Rammang-Rammang melalui aliran Sungai Pute.

Kemudian, memanfaatkan rumah-rumah warga untuk tempat penginapan wisatawan, menyusul toko kelontongan hingga warung kopi yang letaknya berada di atas bebatuan pegunungan karst. "Akhirnya mulai tersadarkan bahwa kalau alam di Rammang-Rammang ini rusak karena tambang yang terus beroperasi, maka kehidupan kami juga akan rusak," imbuh Iwan.

5. Penolakan tambang dibuktikan masyarakat dengan penciptaan lapangan kerja mandiri

Merawat Bara Perlawanan Rammang-Rammang Menolak Tambang MarmerRammang-rammang/Instagram @iwandento

Seiring berjalannya waktu, kata Iwan, semakin banyak masyarakat desa yang sadar. Mereka yang sebelumnya hanya dijanjikan lapangan kerja di perusahaan tambang mengaku jenuh dan memilih untuk menciptakan lapangan kerja sendiri di Rammang-Rammang. Iwan mengutip pernyataan jurnalis senior Dandhy Laksono.

"Rammang-rammang hari ini membantah asumsi bahwa lapangan pekerjaan itu hanya bisa diciptakan oleh korporasi. Ternyata, di Rammang-rammang, lapangan pekerjaan itu bisa diciptakan oleh kelompok masyarakat.  Yang imajinasinya, melebihi imajinasi negara terhadap sesuatu," ungkap Iwan.

Masyarakat akhirnya bisa membuktikan bahwa mereka bisa menciptakan lapangan pekerjaan sendiri tanpa harus berharap banyak kepada perusahaan tambang. Seiring dengan itu, proses edukasi melalui ruang-ruang diskusi juga berjalan di kalangan warga. Kata Iwan, hampir tiap malam rumahnya semakin banyak didatangi oleh warga lainnya.

Iwan mengaku semakin termotivasi untuk melawan dan memberikan pelajaran berharga kepada perusahaan bahwa masyarakat bisa bertahan hidup dengan menjaga dan melestarikan lingkungan tanpa merusak. "Masyarakat sendiri yang membuktikan itu kepada perusahaan. Pada akhirnya kami semua semakin sadar tentang persoalan yang terjadi ini," terang Iwan.

Baca Juga: Warga Maros Laksanakan Tradisi Maulid Jolloro di Rammang-Rammang

6. Pada tahun 2013 izin tambang marmer di Rammang-Rammang dicabut

Merawat Bara Perlawanan Rammang-Rammang Menolak Tambang MarmerRammang-rammang/Instagram @iwandento

Ekonomi mandiri warga berjalan, ruang-ruang diskusi terbuka lebar dan kampanye perjuangan warga di Rammang-Rammang terus mengakar. Dukungan moril juga semakin banyak berdatangan dari luar. Dukungan itu pun, jelas Iwan, dijadikan sebagai modal utama masyarakat dan jaringan perlawanan untuk memasifkan perjuangan dan mendesak pemerintah.

Warga kemudian mendesak DPRD dan Pemerintah Kabupaten Maros, khususnya dinas pariwisata dan dinas pertambangan agar mencabut izin tambang perusahaan tersebut. "2013 akhirnya izinnya dicabut. Akhirnya di tahun itu juga, ada 12 izin tambang (di Maros) yang ikut dicabut. Itu dari proses (perjuangan) yang dilakukan teman-teman," imbuh Iwan.

Pada 2015 lalu, kata Iwan, Bupati Maros akhirnya menerbitkan moratorium terkait izin tambang. Pemkab Maros saat itu mengevaluasi seluruh izin pertambangan. Pada akhirnya izin tambang di daerah diambil alih langusung oleh Pemerintah Provinsi Sulsel. Menurut Iwan, perjuangan panjangnya bersama warga dan pendamping lainnya menjadi catatan sejarah untuk diceritakan kepada anak cucunya nanti.

Bagi Iwan, perjuangan ini merupakan bukti bahwa harga diri masyarakat tidak dapat dinilai dengan janji dan uang dari korporasi. Kesadaran tentang bagaimana menjaga lingkungan dan menggantungkan hidup pada lingkungan menjadi senjata paling ampuh menolak perusahaan tambang.

7. Menjaga bara perjuangan mempertahankan Rammang-Rammang dari ancaman penambang

Merawat Bara Perlawanan Rammang-Rammang Menolak Tambang MarmerRammang-rammang/Instagram @iwandento

Tahun 2015 menjadi awal dari lembaran baru Rammang-Rammang. Di tahun itu, jaringan perjuangan penolak tambang semakin menjalar. Perjuangan Rakyat Salenrang (PRS) terbentuk untuk merangkul warga membangun ruang diskusi untuk suplemen pengetahuan. PRS kemudian berjejaring dengan lembaga independen lokal hingga nasional.

Masyrakat Salenrang membangun afiliasi ke Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), akademisi, hingga media. Sejalan dengan itu, kata Iwan, terbentuk juga Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) yang mengelola pariwisata di Rammang-Rammang. "Kemudian berkembang lagi kelompok kecil. Misalnya kelompok tani wanita dan kelompok belajar anak sungai terakhir kita buat lembaga adat," ungkap Iwan.

Untuk memastikan masyarakat Salenrang berdaulat atas kawasan Rammang-Rammang, Iwan dan kelompoknya mendorong agar Pemkab Maros menerbitkan peraturan desa (Perdes) dan surat keputusan (SK) Dinas Pariwisata terkait pengelolaan Rammang-Rammang. Hal itu dilakukan agar pemerintah memberi ruang bagi masyarakat untuk mengelola sendiri potensi alam di sana. Hasilnya, pada 2018 lalu, kata Iwan, perputaran uang di Rammang-Rammang mencapai Rp9 miliar.

Asumsi perhitungannya menurut Iwan, uang yang dikeluarkan setiap pengunjung mencapai Rp150 sampai Rp200 ribu. Pendapatan asli desa (PADes) per tahunnya sebelum COVID-19, mencapai Rp120 juta. "Retribusi yang kita tarik dari pengunjung itu paling tinggi 20 persen. Paling tinggi 30 persen. Sementara PADes ini kita gunakan untuk perbaikan infrastruktur," imbuh Iwan.

Bagi Iwan, Rammang-Rammang merupakan rumah. Ke mana pun dia pergi, pada akhirnya akan kembali untuk merawat kesadaran dan kegigihan warga menolak pertambangan. "Kita tidak pernah tahu kapan tambang akan masuk. Jadi untuk menjaga itu semua, kita harus saling menjaga, mengingatkan dan merangkul untuk kelestarian alam tempat kita tinggal," ucap Iwan Dento.

Baca Juga: Bulu Barakka', Gunung Penyampai Pesan bagi Warga Rammang-rammang

8. Dinas Pariwisata enggan campur tangan pengelolaan wisata Rammang-Rammang

Merawat Bara Perlawanan Rammang-Rammang Menolak Tambang MarmerRammang-Rammang di Kabupaten Maros. Indra Abriyanto untuk IDN Times

Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Maros, Ferdiansyah mengatakan, pemerintah pada dasarnya tidak terlibat dan campur tangan langsung dalam pengelolaan objek wisata Rammang-Rammang. Warga di Desa Salerang melalui Pokdarwisnya, kata Ferdiansyah, yang justru mengelola secara mandiri lokasi tersebut. “Kami hanya memfasilitasi saja. Misalnya kalau ada perbaikan jalan menuju objek wisata kemudian pembangunan jembatan dan infrastruktur yang memudahkan akses masuk bagi pengunjung. Jadi tidak ada PAD di sana,” kata Ferdiansyah.

Ferdiansyah menyebut, swakelola mandiri wisata Rammang-Rammang oleh warga dilegitimasi dengan SK yang diterbitkan pihaknya sejak 2019 lalu. Ferdiansyah mengaku SK diterbitkan atas desakan dan permintaan masyarakat Salenrang, beberapa tahun sebelumnya. Mereka berkeinginan agar pendapatan di desanya dikelola internal. “Dari situ makanya kami akhirnya terbitkan. Artinya ini juga menjadi bagian dari peningkatan kesadaran warga membantu pemerintah dalam mempromosikan bahwa di Maros banyak objek wisata,” ujar Ferdiansyah.

Rammang-Rammang menurut Ferdiansyah, berbeda dengan proses pengelolaan objek wisata alam lain seperti Bantimurung dan Gua Purba Leang-Leang. Pada kedua tempat tersebut, pemerintah yang justru turun langsung mengurusi semua persoalan teknis. Termasuk retribusi yang masuk dalam proses pencatatan pendapatan asli daerah (PAD). Ferdiansyah menyebut, PAD Bantimurung tahun 2019 lalu mencapai Rp9 miliar lebih. Angka itu menurutnya surplus dari target Rp8 miliar. Faktornya, kata Ferdiansyah, adalah masifnya promosi hingga ke luar Maros. “Berbeda dengan Rammang-Rammang karena kan sudah dikelola sendiri sama warga di sana,” ucap Ferdiansyah.

Ferdiansyah menyatakan, Rammang-Rammang tidak masuk dalam 20 objek destinasi wisata alam yang ada dalam naungan pemerintah. Namun, Ferdiansyah mengakui bahwa Rammang-Rammang secara teritorial masuk sebagai objek pariwisata lokal yang mereka bina. “Kami beberapa kali mengadakan pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan keterampilan warga, kemudian peningkatan kapasitas. Masyarakat cukup antusias. Di luar itu kami hanya mengontrol dan secara tidak langsung membantu mempublikasikannya,” imbuh Ferdiansyah.

9. Pelajaran dari perjuangan masyarakat di Rammang-Rammang

Merawat Bara Perlawanan Rammang-Rammang Menolak Tambang MarmerGunung Bulu' Barakka di kawasan Rammang-rammang, Desa Salenrang, Kabupaten Maros, Sulsel. IDN Times/Sahrul Ramadan

Direktur Eksekutif WALHI Sulsel, Muhammad Al Amin menilai, perjuangan masyarakat Salenrang dalam mempertahankan Rammang-Rammang, adalah bentuk kesadaran dan ketidakpercayaan terhadap perusahaan tambang. Bagi masyarakat, kata Amin, tambang adalah salah satu pemicu bencana.

Selain menimbulkan dampak ekologis, menurut Amin, tambang juga secara perlahan menghilangkan sumber mata pencaharian warga yang sebelumnya menggantungkan hidup dari alam. “Masyarakat secara tegas menyadari dan memahami secara nyata, bahwa pertambangan tidak memberikan efek yang baik kepada mereka,” ungkap Amin.

Amin mengungkapkan, perjuangan masyarakat di Salenrang memberikan pelajaran berharga bagi masyarakat lain yang mengalami persoalan serupa. Rammang-Rammang menurut Amin, bisa dijadikan sebagai contoh bahwa masyarakat sesungguhnya bisa mengelola sendiri ruang hidupnya tanpa harus menggantungkan harapan terhadap perusahaan tambang. Namun, untuk berjuang, masyarakat harus konsisten dan rela berkorban untuk kehidupan yang layak. “Ini gambaran objektif ketika rakyat ingin sejahtera, maka masyarakat sendiri yang seharusnya mengelola secara arif sumber daya alamnya,” ujar Amin.

Perjuangan masyarakat di Rammang-Rammang, lanjut Amin, juga menjadi titik kritik dan bukti kesalahan pemerintah yang selama ini mempertahankan asumsi bahwa tambang dapat menyejahterakan rakyat. Justru tanpa kehadiran perusahaan ekstraktif tersebut, masyarakat tetap dapat bertahan hidup bergantung dan menjaga sumber daya alamnya. “Orang-orang yang mendapatkan manfaat dari pertambangan itu hanya kelas atas. Pemilik perusahaan, aparat yang membekingi, pejabat daerah dan segelintir anggota dewan. Sementara masyarakat yang justru merasakan dampaknya,” imbuh Amin.

Perjalanan Rammang-Rammang, lanjut Amin, seharusnya menjadi evaluasi pemerintah daerah dan pemerintah provinsi agar menghentikan dan mencabut seluruh izin tambang yang beroperasi di kawasan esensial karst di Kabupaten Maros hingga Kabupaten Pangkep. “Berhentilah berpikir bahwa bisnis pertambangan akan menguntungkan masyarakat secara luas. Semua jenis komoditas tambang, mau pasir laut, batu bara, timbunan dan sebagainya. Itu sama sekali tidak bermanfaat, justru berdampak buruk terhadap lingkungan,” imbuh Amin.

Baca Juga: Warga Rammang-rammang Pamerkan Benda Pusaka dan Konservasi

Topik:

  • Irwan Idris
  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya