Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Wansus Direktur WALHI Sulsel: Tambang Pasir Laut Jadi Konflik Ruang

Direktur Walhi Sulsel Muhammad Al Amin - Sahrul Ramadan/IDN Times

Makassar, IDN Times – Masyarakat nelayan Pulau Kodingareng di Kecamatan Sangkarrang, Kota Makassar masih terus berjuang. Mereka ingin mempertahankan wilayah tangkapnya dari aktivitas penambangan pasir laut.

Penambangan pasir laut oleh kapal Queen of The Netherland milik PT Royal Boskalis dimulai sejak Desember 2019 lalu. Sudah banyak cara ditempuh nelayan untuk menghentikan aktivitas yang ditujukan untuk proyek reklamasi Makassar New Port itu. Meski Pelindo mengklaim penambangan sudah sesuai ketentuan, warga pulau tetap resah karena menganggap pengerukan pasir merusak dan menghancurkan ruang hidup mereka.

Belakangan, warga pulau marak menggelak aksi protes, unjuk rasa mengusir kapal penambang pasir, hingga berupaya dialog dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Tapi nampaknya pemerintah juga bersikukuh bahwa aktivitas penambangan punya izin dan tidak salah.

Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang terhimpun dalam Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP) selama ini ikut mendampingi perjuangan warga Pulau Kodingareng. Salah satunya Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulawesi Selatan, yang termasuk paling getol bersuara. WALHI terus mendesak pemerintah segera mencabut izin penambangan pasir yang masuk di wilayah tangkap nelayan.

Seiring perjuangan menolak penambangan pasir laut, empat nelayan Kodingareng berurusan dengan aparat. Satu di antaranya Manre, ditangkap pada 14 Agustus 2020, sebagai tersangka dugaan perusakan uang rupiah. Sebelumnya dia pernah merobek amplop yang diberikan perusahaan penambang pasir, yang ternyata berisi uang.

Tiga nelayan lain ditangkap pada 24 Agustus, saat memprotes dari dekat penambangan pasir di laut. Satu di antara mereka, Nasiruddin, ditahan karena kasus perusakan pada aksi protes beberapa hari sebelumnya. Dua orang lain, Safaruddin dan Baharuddin dilepas.

IDN Times berkesempatan berbincang dengan Direktur Eksekutif WALHI Sulsel Muhamamd Al Amin. Dia menerangkan seputar masalah yang dihadapi nelayan Pulau Kodingareng. Berikut petikan wawancara jurnalis Sahrul Ramadan dengan Amin, pada Selasa, 25 Agustus 2020.

Bagi masyarakat yang belum tahu, bisa dijelaskan secara singkat tentang WALHI dan tujuannya mendampingi masyarakat Kodingareng?

Ratusan ibu Pulau Kodingareng Makassar, bertahan hingga malam hari di depan Kantor Gubernur Sulsel, Kamis (13/8/2020). IDN Times/Sahrul Ramadan

Tahun 2017 hingga 2019, WALHI Sulsel bersama lebih dari 20 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Selamatkan Pesisir telah mengadvokasi proyek tambang pasir laut. Di tahun 2018 saat pemerintah provinsi (Sulsel) menyusun dan membuat peraturan daerah (Nomor 2 Tahun 2019) tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K), Aliansi Selamatkan Pesisir bersama nelayan Galesong pada saat itu mendesak agar zona tambang pasir laut dihapus dari Perda karena berada di wilayah tangkap nelayan, sehingga akan menimbulkan konflik.

Di pertengahan hingga akhir tahun 2019, Aliansi Selamatkan Pesisir juga telah mengirim surat tanggapan dan penolakan terkait rencana penerbitan izin-izin tambang pasir laut di wilayah tangkap nelayan. Di dalam surat tanggapan tersebut, sangat jelas kami sampaikan bahwa penerbitan izin tambang di wilayah tangkap nelayan akan menimbulkan dampak lingkungan dan ekonomi bagi nelayan, sehingga akan menimbulkan konflik yang panjang.

Namun Gubernur Sulsel (Nurdin Abdullah) mengabaikan pertimbangan kami, dan tetap menerbitkan izin usaha pertambangan di wilayah tangkap nelayan. Saat tambang telah beroperasi kurang lebih 4 bulan, kami mendatangi pulau untuk melakukan riset untuk mengetahui persepsi masyarakat pulau. Hasilnya, masyarakat menolak aktivitas tambang pasir laut di wilayah tangkap nelayan. Selain itu, nelayan dan perempuan di Pulau Kodingareng juga mengalami persoalan ekonomi yang akut, karena hasil tangkap nelayan mengalami penurunan yang signifikan, bahkan rata-rata para nelayan tidak mendapatkan ikan sama sekali.

Kemudian masyarakat meminta untuk didampingi agar keinginan dan tuntutan masyarakat didengar dan direspons oleh pemerintah. Sejak saat itu, WALHI Sulsel yang tergabung dalam Aliansi Selamatkan Pesisir mulai mendampingi nelayan dan perempuan di Pulau Kodingareng.

Bagaimana sebenarnya posisi WALHI pada penolakan terhadap tambang pasir laut di wilayah Kodingareng?

Posisi WALHI Sulsel yang juga tergabung dalam Aliansi Selamatkan Pesisir adalah pendukung nelayan dan perempuan di Pulau Kodingareng. Selain itu, kami juga berusaha menyuarakan masalah lingkungan dan dampak ekonomi yang dialami masyarakat pulau agar pemerintah baik pemerintah Indonesia maupun pemerintah Belanda meninjau ulang aktivitas tambang pasir laut di wilayah tangkap nelayan.

Karena ini menyangkut hak hidup keluarga nelayan dan masyarakat lainnya di Kepulauan Sangkarrang, terkhusus di Pulau Kodingareng.

Apa saja yang sudah dilakukan sejauh ini?

Sejauh ini, teman-teman telah meriset, menghimpun informasi terutama terkait persepsi masyarakat, wilayah-wilayah tangkap nelayan hingga dampak ekonomi yang dialami oleh nelayan dan seluruh warga di Pulau Kodingareng sejak adanya aktivitas tambang pasir laut.

Selain itu, teman-teman juga membagi informasi terkait keberadaan zona tambang dan izin-izin tambang yang menurut masyarakat berada persisi di zona inti wilayah tangkap nelayan.

Apa sebenarnya yang bermasalah pada penambangan pasir laut di sekitar Kodingareng? Dan apa dampaknya?

Nelayan Pulau Kodingareng menolak kapal penambang pasir beroperasi. Dok. Walhi Sulsel

Persoalan utamanya adalah izin tambang pasir laut dan zona tambang pasir laut berada persis di wilayah tangkap utama para nelayan. Sehingga yang terjadi adalah konflik ruang. Masyarakat ingin mempertahankan dan melindungi wilayah tangkapnya sehingga para nelayan tidak kehilangan mata pencahariannya.

Persoalan kedua adalah tidak adanya penghormatan terhadap nelayan dan perempuan di Pulau Kodingareng. Menurut masyarakat, sejak adanya tambang pasir laut, nelayan dan perempuan tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) hingga sosialisasi pelaksanaan tambang. Nanti setelah masyarakat melakukan demo baru diminta bertemu di Makassar. Sementara, masyarakat ingin berdialog di pulau agar semuanya diketahui masyarakat. Sehingga masyarakat tidak punya ruang untuk menyampaikan keinginannya secara langsung ke Gubernur Sulsel.

Saat ini keinginan masyarakat adalah bertemu dan berdiskusi dengan gubernur untuk menyampaikan semua masalah dan penderitaan yang dialami nelayan, perempuan hingga para pedagang di Pulau Kodingareng. Masyarakat ingin mendapatkan solusi agar wilayah tangkap nelayan tidak dijadikan wilayah tambang.

Gubernur bilang perizinan tidak ada masalah, begitu juga dampaknya. Menurut WALHI bagaimana?

Hal inilah yang kami ingin diskusikan dengan Gubernur Sulsel. Masalah utamanya ialah izin yang dikeluarkan tersebut berada di wilayah tangkap nelayan. Hal itu membuat kondisi lingkungan di wilayah tangkap nelayan berubah dan hasil tangkapan nelayan menurun drastis.

Seharusnya izin-izin ini ditinjau ulang dan wilayah tangkap nelayan dilindungi agar ekonomi masyarakat tidak mengalami penurunan seperti saat ini. Karena selama kami mendampingi nelayan, kami lihat secara langsung bagaimana para perempuan dan nelayan frustrasi karena hasil tangkapan mereka menghilang.

Kami yakin, informasi yang diterima gubernur tidak sesuai dengan kondisi yang terjadi di Pulau Kodingareng. Maka dari itu, kami minta Gubernur Sulsel untuk membuka ruang dialog bersama para nelayan dan perempuan di Pulau Kodingareng.

Persoalan tambang pasir laut yang menimbulkan konflik berawal dari proyek reklamasi pelabuhan, yang artinya milik negara. Bagaimana menurut Anda?

Kami tahu ini milik negara, tapi nelayan sebagai warga negara beserta wilayah tangkap sebagai warga negara juga harus dilindungi agar penghidupannya tidak terganggu oleh proyek negara.

Informasi yang kami dapatkan dari perempuan-perempuan nelayan di Kelurahan Tallo, Buloa, Kalukubodoa dan Cambayya, para nelayan dan perempuan nelayan kini sulit mendapat hasil tangkapan karena wilayah tangkapnya ditimbun. Saat ini mereka juga tengah berjuang agar proyek pelabuhan ini tidak diperluas dan hak-hak mereka sebelumnya dipulihkan.

Artinya tidak hanya nelayan dan perempuan di Pulau Kodingareng yang terganggu, akan tetapi nelayan dan perempuan di sekitar proyek MNP juga ikut terdampak akibat penimbunan laut.

Bukan sekali ini penambangan pasir laut bersoal. Sebelumnya di Takalar. Apakah ini kasus yang sama atau berbeda?

Kapal penambang pasir laut di sekitar Pulau Kodingareng Lompo. IDN Times/Walhi Sulsel

Ada kesamaan dan ada perbedaan. Pertama penambangnya sama-sama PT Royal Boskalis. Kedua sama-sama menambang dan menimbun di wilayah tangkap nelayan. Ketiga sama-sama memberi dampak bagi lingkungan dan ekonomi masyarakat di sekitar proyek, baik pada masyarakat di lokasi tambang pasir laut, maupun di lokasi reklamasi.

Untuk perbedaannya, kalau tahun 2017 proyek reklamasi dimiliki oleh perusahaan swasta, kalau tahun ini dimiliki oleh negara.

Bagaimana Anda melihat sikap pemerintah soal penambangan itu?

Al Amin: Sejauh ini kami sangat menyayangkan sikap pemerintah yang acuh tak acuh terhadap masalah yang dialami nelayan dan perempuan baik di Pulau Kodingareng maupun di Kelurahan Tallo, Buloa, Kalukubodoa dan Cambayya.

Yang membuat kami bingung juga adalah pernyataan gubernur yang mengatakan bahwa tidak ada dampak kerusakan lingkungan serta tidak ada penurunan hasil tangkap nelayan.

Oleh karena itu, kalau Pak Gubernur mau mengetahui lebih objektif tentang kondisi masyarakat di Pulau Kodingareng maupun pesisir Makassar (Buloa, Tallo, Kalukubodoa dan Cambayya) saya minta Pak Gubernur Sulsel untuk menemui para nelayan dan perempuan baik di sekitar proyek MNP maupun di Pulau Kodingareng Lompo.

Bagaimana Walhi memandang persoalan lingkungan di Sulsel?

Direktur Eksekutif Walhi Sulsel Muhammad Al Amin menunjukkan peta penggunaan lahan di Kota Makassar. IDN Times/Aan Pranata

Al Amin: Pada catatan akhir tahun WALHI Sulawesi Selatan, kami sudah menyatakan bahwa tahun 2019 lingkungan hidup di Sulsel terus mengalami penurunan daya dukung dan daya tampung. Lalu di tahun ini, kalau kita perhatikan, sejumlah peristiwa bencana ekologi terus melanda Sulsel, dan terakhir bencana kemanusiaan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Saya mengatakan bencana kemanusiaan karena warga meminta keadilan, meminta perlindungan hak, namun yang terjadi adalah kriminalisasi dan penangkapan. Maka dari itu, saya minta dengan sangat agar para warga yang berprofesi sebagai nelayan dibebaskan dan dilakukan upaya penyelesaian konflik ruang antara nelayan dan perusahaan tambang.

*Amin menolak menjawab pertanyaan seputar kasus hukum yang dihadapi dua nelayan Kodingareng. Dua nelayan yang berstatus tersangka disebut dalam pendampingan LBH Makassar, dan proses hukumnya masih terus berjalan.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Aan Pranata
EditorAan Pranata
Follow Us