Jerit Petani Garam Jeneponto saat Pandemik, Panen Menumpuk Tak Terbeli
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jeneponto, IDN Times - Garam merupakan salah satu bumbu masak yang wajib ada di dapur. Sebab tak lengkap rasa masakan bila tak ditaburi garam. Berbicara tentang garam, sangat erat kaitannya dengan Kabupaten Jeneponto di Sulawesi Selatan.
Daerah di selatan Sulsel itu terkenal sebagai salah satu sentra petani garam tradisional di Indonesia. Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2015, Jeneponto menduduki peringkat 14 sebagai daerah produsen garam terbesar di nusantara. Pembuatan garam di Jeneponto terpusat pada empat kecamatan yaitu, Kecamatan Bangkala, Bangkala Barat, Arungkeke, dan Tamalatea.
Selama masa pandemik COVID-19 ini, petani garam Jeneponto, khususnya di Jalan Paccelanga, Kecamatan Bangkala, mengeluhkan menurunnya pendapatan dari hasil menjual garam. Kondisi tersebut diungkapkan para petani garam saat berbincang dengan IDN Times, Minggu, 4 Oktober 2020.
1. Pembeli garam menurun drastis di tengah pandemik
Petani garam Jeneponto saat ini sedang masa panen. Dari pantauan IDN Times, tumpukan garam tampak terlihat di atas pematang kawasan tambak. Demikian halnya garam dalam kemasan plastik dan karungan di sepanjang jalan poros Jeneponto - Bantaeng, tepatnya di Kampung Paccelanga.
Siriwa, salah satu petani garam di daerah tersebut mengatakan, pendapatannya menurun selama pandemik COVID-19 menghantam. Tahun lalu, dia mengaku bisa menjual garam dengan harga Rp50 ribu per karung besar. Saat ini, dijual dengan harga Rp20 ribu pun masih kurang laku.
"Harga garam per karung itu Rp20 ribu per karungnya ukuran karung besar," kata Siriwa yang telah menggeluti tambak garam hampir 10 tahun lamanya.
2. Proses produksi garam yang masih terbilang tradisional
Proses produksi garam tidak mudah. Faktor cuaca sangat menentukan bagi petani garam di Paccelanga. Apalagi, proses produksi yang dilakukan masih terbilang tradisional dengan hanya mengandalkan bantuan sinar matahari.
Seperti dikatakan Ngawing, petani lain di Paccelanga. Menurutnya, cuaca sangat berperan penting dalam proses penguapan air laut menjadi kristal-kristal garam.
"Tergantung cuaca, kalau buruk cuaca bisa kita kerja sampai satu bulan, tapi kalau cuaca bagus setengah bulan sudah jadi. Tergantung matahari.," ungkapnya.
3. Penjual garam banting harga
Pandemik COVID-19 memang berdampak pada seluruh aspek kehidupan. Termasuk petani dan penjual garam Jeneponto. Julianti, penjual garam di Paccelanga menyebut, selama pandemik dia hanya memperoleh penjualan kurang dari seratus ribu rupiah per hari.
Biasanya, sebelum masa pandemik, Julianti bisa mendapat Rp200 ribu sampai Rp300 ribu setiap hari.
"Penjualan per karung kecil itu Rp10 ribu, kadang saya kasih Rp15 ribu dua karung kecil," kata wanita kelahiran 1998 itu.
Baca Juga: Kala Joki Cilik Jeneponto Meraup Rezeki dari Pacuan Kuda