Dilema Pilkada 2020, PKPU Tak Atur Sanksi Pelanggar Protokol Kesehatan

IDI Makassar sebut pelanggar bisa dilapor ke polisi

Makassar, IDN Times - Berlanjutnya tahapan pemilihan kepala daerah serentak di tengah situasi pandemik COVID-19 membuat sejumlah pihak khawatir, utamanya dari kalangan dokter maupun epidemiolog. Pasalnya, walaupun disebut telah menerapkan protokol kesehatan, tahapan pilkada yang identik dengan kerumunan massa dikhawatirkan memicu timbulnya klaster baru penularan COVID-19, yakni klaster pilkada.

Di Sulawesi Selatan (Sulsel), sejumlah tahapan pilkada sudah berlangsung di tengah pandemik COVID-19 mulai dari deklarasi, pendaftaran, hingga pemeriksaan kesehatan bakal pasangan calon. Sayangnya kerumunan massa masih sangat sulit dihindari. Kalau hanya memakai masker dan face shield, semua kandidat juga sudah melakukannya.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulsel, Faisal Amir, juga mengakui sulitnya menghindari hadirnya massa pada tahapan pilkada itu. Dia mengakui bahwa di tahapan-tahapan tersebut sejumlah bakal paslon kepala daerah masih diikuti oleh banyak orang sehingga menimbulkan kerumunan dan melanggar physical distancing.

"Itu sudah menjadi bahan evaluasi kami. Sesungguhnya pada konteks yang diatur dalam PKPU sudah memenuhi protokol kesehatan dalam ruangan pendaftaran. Tetapi di luar, wilayah KPU itu yang kemudian masih ada kerumunan orang," kata Faisal Amir dalam kunjungannya di Kantor Gubernur Sulsel, Senin (14/9/2020).

1. PKPU tidak mengatur sanksi pelanggar protokol kesehatan

Dilema Pilkada 2020, PKPU Tak Atur Sanksi Pelanggar Protokol KesehatanKerumunan massa pengantar Bacawali-bacawawali dari PDIP, Eri-Armuji di KPU Surabaya, Jumat (4/9/2020). IDN Times/Fitria Madia

Faisal menyebut, di dalam PKPU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pilkada dalam Kondisi Bencana Non Alam COVID-19, memang tidak mengatur soal sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan. Dia mengatakan, PKPU tidak boleh mengatur sanksi yang tidak diatur dalam undang-undang. 

"Itu norma. Dalam undang-undang tidak diatur sanksi bagi yang melanggar protokol kesehatan," katanya.

Faisal menambahkan, semua yang diatur dalam PKPU sudah menjadi norma yang harus dipatuhi. Demikian juga hal ini secara otomatis menjadi objek pengawasan Bawaslu. 

"Tetapi memang ini kemarin untuk tahap pencalonan belum menjadi domain Bawaslu juga di luar KPU karena ini belum menjadi calon," katanya.

2. Gubernur hanya minta kesadaran bakal paslon

Dilema Pilkada 2020, PKPU Tak Atur Sanksi Pelanggar Protokol KesehatanGubernur Sulsel Nurdin Abdullah saat Rakor Pilkada Serentak di Posko Penanganan COVID-19 Sulsel, Kamis (10/9/2020). Humas Pemprov Sulsel

Di kesempatan yang sama, Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah menyebut bahwa tidak disebutkannya sanksi pelanggaran protokol kesehatan dalam PKPU tersebut justru menjadi persoalan sendiri. Ditambah lagi hal ini tidak mungkin diatur dengan pergub atau perda. 

Karena itu, Nurdin meminta kesadaran seluruh bakal paslon yang akan bertarung di pilkada serentak nanti supaya benar-benar mengikuti protokol kesehatan secara ketat. Misalnya, boleh mengumpulkan orang tapi dengan jumlah terbatas tidak lebih dari 50 orang. 

"Terus menggunakan masker, siapkan tempat cuci tangan atau hand sanitizer, jaga jarak. Tidak ada lagi pengumpulan massa yang begitu besar yang tanpa terkendali," kata Nurdin.

Baca Juga: KPU Makassar Minta Bakal Pasangan Calon Tes PCR Sebelum Daftar 

3. IDI dan Gugus Tugas berupaya cari regulasi

Dilema Pilkada 2020, PKPU Tak Atur Sanksi Pelanggar Protokol KesehatanHumas IDI Makassar dr Wachyudi. IDN Times/IDI Makassar

Sementara itu, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Makassar sudah berkali-kali menyoroti kerumunan massa di tahapan pilkada serentak ini. Humas IDI Makassar, dr Wachyudi Muchsin, menyebut apa yang terkandung dalam PKPU itu lemah karena tidak mengatur terkait sanksi bagi pelanggar.

Kendati demikian, pihaknya bersama Tim Gugus Tugas COVID-19 Sulsel mencoba mencari regulasi yang bisa dijadikan dasar untuk melaporkan tindakan pelanggaran protokol kesehatan tersebut. Aturan itu adalah UU Nomor 4 Tahun 1984 terkait wabah penyakit menular, dan UU Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

"Ini bisa masuk sebagai pelaporan ke kepolisian. Kita harus seperti itu, kalau tidak mereka akan anggap ini main-main," kata Yudi, sapaannya.

Yudi menyebut masa kampanye yang akan dilakukan oleh paslon sangat berisiko. Apalagi masa kampanye berdasarkan aturan KPU akan dilaksankan selama 71 hari dengan mengunjungi 10 titik per hari di masing-masing wilayah.

"Bayangkan kalau ini dihadiri 100 orang dalam satu titik, sementara ada 10 titik per hari yang harus dikunjungi. Makassar misalnya, ada 4 kandidat, bisa bahaya. Akan jadi klaster baru," katanya.

Baca Juga: Gugur di Pilkada Barru, Agus Nu'mang Bantah Andi Ogi Pakai Narkoba

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya