Upaya Mencegah Perkawinan Anak Dimulai dari Lingkungan Rumah

Orang tua harus ubah pola pikir

Makassar, IDN Times - Perkawinan anak masih menjadi PR bersama. Upaya pencegahan perkawinan anak harus dimulai dari rumah atau keluarga, utamanya orang tua. 

Hal ini disampaikan Kepala Bidang Kualitas Hidup Perlindungan Perempuan dan Anak Dinas P3A Sulsel, Meisy Papayungan, dalam rakor implementasi pencegahan perkawinan anak di Hotel Best Western, Makassar, Selasa (4/7/2023).

Meisy mengatakan bahwa Sulsel telah memiliki beberapa peraturan mengenai pencegahan perkawinan anak. Salah satu strateginya adalah menciptakan lingkungan yang mencegah perkawinan anak. 

"Lingkungan itu bisa ada di rumah yaitu keluarga, utamanya orang tua. Kalau misalnya anak dikawinkan oleh orang tua berarti kan yang mengambil keputusan orang tua," kata Meisy kepada IDN Times.

Baca Juga: 35000 Calon Siswa SMA Mendaftar PPDB Sulsel Jalur Zonasi

1. Orang tua perlu sadar dampak buruk perkawinan anak

Upaya Mencegah Perkawinan Anak Dimulai dari Lingkungan RumahRapat Koordinasi Implementasi pencegahan perkawinan anak di Sulawesi Selatan. (IDN Times/Ashrawi Muin)

Orang tua, kata Meisy, perlu diedukasi mengenai dampak buruk dari mengawinkan anak. Di antaranya yakni hak-hak anak seperti pendidikan tidak dapat terpenuhi. Tidak sedikit anak yang menikah dini harus merelakan pendidikannya.

Kemudian, ada beberapa kasus di mana anak harus menikah dini karena terlanjur hamil. Setelah ditelurusi, rupanya sebagian besar dari mereka terjerumus ke dalam pergaulan berisiko akibat kurangnya perhatian orang tua.

Kondisi anak yang dalam masa tumbuh kembang sangat membutuhkan perhatian orang tuanya. Ketika perhatian itu tidak didapatkan dari orang tua, maka mereka akan mencari perhatian alternatif di luar rumah.

Maka dari itu, mencegah perkawinan anak harus dimulai dari rumah. Pasalnya, pengambilan keputusan dan tumbuh kembang di anak ada di dalam rumah. Kemudian, orang tua juga seharusnya memberikan kesempatan pada anak untuk menentukan nilai dirinya.

"Sebetulnya tidak disadari itu masuk ke dalam pergaulan berisiko. Akhirnya terlanjur hamil misalnya sehingga kalau mau dicari dari mana masalahnya ya tadi, defisit perhatian orang tua," kata Meisy.

2. Ada kecenderungan normalisasi di masyarakat

Upaya Mencegah Perkawinan Anak Dimulai dari Lingkungan RumahIlustrasi Pernikahan (IDN Times/Mardya Shakti)

Meisy mengatakan bahwa perkawinan anak, termasuk di Sulsel, cenderung dinormalisasi oleh masyarakat, keluarga bahkan orang tua karena pola pikir yang belum dibangun. Itulah sebabnya strategi yang terkait menciptakan lingkungan yang mencegah perkawinan anak, harusnya berasal dari orang tua.

Ketika pola pikir orang tua mengenai perkawinan anak berubah, maka masyarakat akan berubah. Meisy mencotohkan apabila ada orang tua yang mengawinkan anaknya mendapat kritik dari masyarakat sekitar maka hal ini pasti bisa ditekan.

"Itu pasti bisa ngerem. Tapi kalau dikawinkan anaknya, trus orang berbondong-bondong untuk datang juga menghadiri acaranya, kan biasa aja  malahan dianggap hebat, keren," kata Meisy.

Namun dia sadar bahwa sangat sulit mengubah pola pikir masyarakat mengenai perkawinan anak, khususnya di daerah. Karena itu, beberapa desa di Kabupaten Bone membuat program melarang perkawinan anak dan memberikan sanksi sosial.

Sanksi sosial diberikan sebab sejauh ini belum ada regulasi yang secara khusus melarang perkawinan anak, kecuali UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Meisy menjelaskan bahwa perkawinan anak menjadi pelanggaran pidana ketika dipaksa, termasuk oleh orang tuanya.

"Tapi kalau yang di desa itu, kan dia sudah beberapa tahun, desa itu buat peraturan kalau ada orang yang mengawinkan anaknya, maka aparat desa dan masyarakat dilarang untuk hadir. Itu sebagai bentuk sanksi sosial," kata Meisy.

3. Tren perkawinan anak di Sulsel menurun

Upaya Mencegah Perkawinan Anak Dimulai dari Lingkungan RumahIlustrasi buku nikah (IDN Times)

Berdasarkan data BPS dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, angka perkawinan anak di Sulsel cenderung menurun. Pada tahun 2018, angka perkawinan anak mencapai 14,10 persen. Pada 2019 tercatat 12,11 persen. Kemudian pada 2020 sebanyak 11,25 persen, pada 2021 sebanyak 9,25 persen dan pada 2022 sebanyak 9,33 persen.

Kendati demikian, angka tersebut lebih tinggi dibandingkan angka presentasi nasional. Secara nasional, angka perkawinan anak pada 2018 mencapai 11,21 persen. Kemudian pada 2019 mencapai 10,82 persen, pada 2020 sebanyak 10,35 persen, pada 2021 sebanyak 9,24 persen dan tahun 2022 sebanyak 8,06 persen.

"Kita presentasinnya itu 9,33 persen dari total perkawinan, tidak sampai 10 persen. Itu yang tercatat tapi kan ada yang tidak tercatat. Jadi kalau misalnya perkawinan itu ada 1 juta, maka 10 persennya berapa. Kalau dihitung, jumlah tetap banyak," kata Meisy.

Namun di sisi lain, kata Meisy, pemberian dispensasi nikah juga mulai diperketat. Pengadilan Agama saat ini tidak sembarang memberikan izin menikah pada anak. Tapi persoalannya, tidak ada jaminan bahwa mereka yang ditolak tidak menikah siri.

Karena itu, Dinas DP3A bekerja sama dengan USAID untuk mendapatkan informasi mengenai pernikahan siri. Orang yang mengajukan dispensasi nikah akan tetap dipantau.

"Tidak bisa dilarang tapi intinya strategi ini paling penting supaya tidak panjang prosedurnya ini, orang tua harus dicegh. Orang tua harus paham nilai anak. Banyak kan orang tua yang merasa anaknya adalah investasi yang berpikir kasih kawin saja," kata Meisy.

Baca Juga: Aliansi Ummat Islam Sulsel Dukung MUI Keluarkan Fatwa Sesat Al Zaytun

Topik:

  • Aan Pranata

Berita Terkini Lainnya