TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

WALHI Desak Belanda Selesaikan Konflik Tambang Pasir Laut di Makassar

Nelayan sangat dirugikan aktivitas tambang oleh PT Boskalis

Nelayan Sangkarrang menghadapi kapal milik PT Royal Boskalis di perairan Makassar, Sabtu (4/7). IDN Times/Istimewa

Makassar, IDN Times - Wahana Lingkungan Hidup Sulawesi Selatan (WALHI Sulsel) mendesak Pemerintah Belanda melalui kedutaan besarnya untuk bisa membantu menyelesaikan konflik terkait aktivitas tambang pasir laut di wilayah tangkap nelayan Kecamatan Sangkarrang Makassar. Pasalnya aktivitas tambang tersebut dilakukan oleh PT Royal Boskalis yang merupakan perusahaan asal Belanda.

Direktur Eksekutif WALHI Sulsel, Muhammad Al Amien, meminta agar pemerintah Belanda juga turun tangan dalam menyelesaikan konflik ini. Dia menilai, pemerintah Belanda melalui kedutaan besarnya wajib menjalankan instrumen HAM dan kewajiban ekstrateritorial yang diatur dalam perjanjian internasional. 

"Dalam konteks penyelesaian konflik antara nelayan dan Boskalis itu sebaiknya pemerintah Belanda juga mengambil peran karena kedutaan besar Belanda sudah diatur kesepakatan internasional di mana mereka wajib menjalankan kewajiban ektrateritorial. Salah satunya adalah menjalankan instrumen HAM dalam setiap bisnis yang mereka jalankan di Indonesia," kata Amien kepada IDN Times, Minggu (5/7/2020).

Ekstrateritorial merupakan wilayah yang diakui secara internasional sebagai bagian dari suatu negara meskipun berada di tengah negara lain. Hal ini bisa dilihat dari adanya perwakilan negara lain di suatu negara seperti dengan menempatkan kedutaan besar.

1. Nelayan geram karena PT Royal Boskalis tak penuhi janji

Ilustrasi nelayan melaut ( ANTARA FOTO/Adeng Bustomi)

Konflik antara nelayan di Kepulauan Sangkarrang Makassar dengan PT Boskalis terkait dengan aktivitas tambang pasir laut kian meruncing. Berkali-kali mereka telah melakukan perlawanan terhadap perusahaan tersebut.

Yang terbaru, mereka melakukan aksi menuntut pemberhentian aktivitas tambang pasir laut dan pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di wilayah tangkap nelayan pada Sabtu, 4 Juli 2020 kemarin. Bahkan kapal sedot pasir milik Boskalis pun dihadang dan berhasil dibuat kabur.

Aksi itu dianggap sebagai perlawanan terbesar mereka lantaran PT Royal Boskalis tidak menjalankan perjanjian yang telah dibuat oleh nelayan pada 28 Juni 2020 lalu. Dalam perjanjian tersebut, Boskalis sepakat untuk menghentikan sementara tambang pasir laut dan menyelesaikan seluruh masalah yang menjadi tuntutan para nelayan.

"Artinya, kemarahan masyarakat di Pulau Kodingareng atau Pulau Sangkarrang itu sudah sangat besar dan perlu tanggapan serius dari pemerintah," kata Amien.

Baca Juga: Abrasi Parah di Galesong Takalar, 19 Rumah Terancam Hilang

2. Nelayan minta izin usaha pertambangan di wilayahnya dicabut

Ilustrasi nelayan. IDN Times/Wayan Antara

Menurut Amien, Boskalis telah berjanji untuk menghentikan sementara aktivitas tersebut namun hanya berselang sehari saja setelah menandatangani, mereka kembali beroperasi. Hal itulah yang memicu kemarahan masyarakat setempat tidak dapat dibendung lagi.  

Para nelayan juga menyadari bahwa tambang pasir laut itu juga disebabkan adanya izin usaha pertambangan di wilayah tangkap mereka. Daerah Coppong Caddi dan Coppong Lompo yang selama ini merupakan sumber kehidupan utama bagi nelayan di sana akhirnya harus dirusak oleh tambang pasir laut.

"Sementara di dalamnya itu diletakkan izin usaha pertambangan yang melegalisasi kegiatan tambang pasir laut. Mereka (nelayan) menyadari akhirnya kemudian mereka pun menuntut agar tambang pasir laut dan izin usaha pertambangan di wilayah tangkap nelayan itu dicabut dan dihentikan," kata Amien lagi.

Baca Juga: WALHI Sulsel Minta Pembangunan Masjid 99 Kubah Dipindahkan

Berita Terkini Lainnya