Sebab Pandemik di Sulsel Belum Bisa Segera Tuntas

Di balik optimisme Nurdin Abdullah COVID-19 tuntas akhir Mei

Laporan jurnalis IDN Times, Sahrul Ramadan dan Asrhawi Muin

Makassar, IDN Times – Pada Kamis malam, 19 Maret 2020, Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah mengumumkan dua kasus pertama orang terindikasi positif COVID-19 di daerahnya. Pada jumpa pers di kediaman pribadinya, Nurdin menyebut satu orang di antaranya meninggal, dan satu orang dirawat.

Kini, setelah hampir dua bulan berselang, jumlah kasus COVID-19 di Sulsel berlipat ganda dan masih mungkin terus bertambah. Menurut data pada laman pantauan resmi Pemerintah Provinsi, per Rabu (13/5) teridentifikasi total 801 pasien positif. Data menyebutkan sebanyak 463 orang dirawat, 289 orang sembuh, dan 49 orang meninggal.

Jumlah pasien dalam pengawasan (PDP) lebih banyak lagi. Mereka adalah orang dengan gejala COVID-19 tapi masih menunggu hasil pemeriksaan sampel swab di laboratorium. Secara akumulasi, ada 1.294 orang PDP dengan rincian: 906 dinyatakan non COVID-19, 266 mendapat perawatan, dan 122 orang meninggal.

Di tengah kondisi itu, Gubernur mengembuskan angin segar. Dia mengutarakan optimisme bahwa pandemik COVID-19 di daerahnya bisa segera tuntas. Dia pun memasang target: akhir Mei.

“Tentu kita ingin hidup normal kembali. Target kami kalau kita sepakat tentu ini butuh komitmen bersama, akhir Mei kita harus akhiri Covid-19 ini,” kata Nurdin Abdullah saat mengunjungi Posko Gugus Tugas COVID-19 di Balai Prajurit Jenderal M Yusuf, 2 Mei lalu.

Pada kesempatan lain, Nurdin juga mengungkapkan target berbeda. Dia yakin Sulsel jadi daerah pertama yang mendeklarasikan bebas dari penyakit akibat virus corona itu. Dia mengutip data Gugus Tugas pusat, yang pada awal Mei menyebut Sulsel termasuk daerah dengan tingkat kesembuhan pasien tertinggi.

“Kita mau deklarasi pertama di Sulsel dan penggunaan APBD paling rendah," kata Nurdin Abdullah saat berdiskusi dengan tim edukasi peserta wisata COVID-19 di Hotel Swis Bell Makassar, 5 Mei.

Tapi, benarkah pandemik COVID-19 bisa segera tuntas pada akhir bulan Mei?

Baca Juga: Dinkes Sulsel Ingatkan Rapid Test Tidak Memastikan Infeksi COVID-19

1. Pergerakan kasus di Sulsel masih fluktuatif

Sebab Pandemik di Sulsel Belum Bisa Segera TuntasGubernur Sulsel Nurdin Abdullah meresmikan ruangan Infection Center RSUD Sayang Rakyat, Senin (11/5). Humas Pemprov Sulsel

Berdasarkan rekap data harian Gugus Tugas COVID-19 Sulsel, data kasus di daerah ini masih cenderung fluktuatif. Dalam satu pekan, penambahan kasus baru belum bisa ditebak. Jika dalam satu hari terdapat belasan kasus baru, bisa saja besok tidak ada tambahan, dan besoknya ada lagi.

Misalnya pada rentang waktu 7-13 Mei. Di tanggal 7, secara akumulasi tercatat 684 kasus. Lalu pada satu hari berikutnya ada tambahan 24 kasus. Di tanggal 9 hanya ada dua penambahan kasus baru, lalu meningkat jadi 12 kasus baru di hari selanjutnya.

Pada 11 Mei tidak ada tambahan, yakni tetap 722 kasus. Sedangkan pada dua hari selanjutnya bertambah drastis, yakni 25 dan 54 kasus, sehingga pada tanggal 13 tercatat total 801 kasus. Fluktuasi juga terlihat pada data PDP maupun orang dalam pemantauan (ODP).

Data dari sumber yang sama menunjukkan bahwa kasus COVID-19 tersebar pada 23 dari 24 provinsi di Sulsel. Hanya Toraja Utara yang belum melaporkan kasus positif.

Jumlah kasus terbanyak terdapat di Kota Makassar dan dua daerah tetangganya, yakni Gowa dan Maros. Data Kementerian Kesehatan juga menyebut bahwa tiga daerah tersebut sebagai wilayah dengan penularan transmisi lokal.

“ini sebagai gambaran yang bisa kita maknai bahwa proses penularan di tengah masyarakat terus terjadi,” kata juru bicara pemerintah khsusu penanganan COVID-19, Achmad Yurianto, Minggu (10/5) saat mengomentari soal data kasus yang fluktuatif di berbagai daerah Indonesia.

2. COVID-19 diprediksi belum akan selesai sampai bulan Juli

Sebab Pandemik di Sulsel Belum Bisa Segera TuntasDekan FMK Unhas Dr Aminuddin Syam. Unhas.ac.id

IDN Times menghubungi pakar epidemiologi Universitas Hasanuddin Aminuddin Syam untuk memndengarkan pendapatnya soal optimisme Gubernur Nurdin pandemik tuntas pada akhir Mei. Dan sayangnya, jawabannya adalah bahwa harapan itu sepertinya belum bisa terwujud dalam waktu dekat.

Menurut Aminuddin yang juga Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas, pernyataan Gubernur diasumsikan bisa terwujud jika masyarakat Sulsel disiplin mengikuti aturan yang ditetapkan, utamanya aturan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

"Namun kenyataan sampai hari ini kasus positif masih selalu bertambah. Beberapa sebab diantaranya adalah sebagian masyarakat Sulsel tidak disiplin dan tidak mengindahkan aturan yg ditetapkan pemerintah," kata Aminuddin saat dihubungi IDN Times, Senin (4/5).

Di sisi lain, Aminuddin menilai bahwa penanganan COVID-19 yang dilakukan oleh pemerintah provinsi sudah baik, hanya saja belum berjalan maksimal. Dia menilai koordinasi sesama Satgas COVID-19 maupun pemerintah daerah masih perlu ditingkatkan, sehingga tidak ada satu pun OTG, ODP, dan PDP yang tidak terpantau. 

"Misalnya dalam hal tracing kontak, kelihatannya masih perlu dioptimalkan. Karena sepanjang masih ada penderita OTG yang berkeliaran maka proses pemutusan penularan tidak akan pernah selesai," katanya. 

Menurut Aminuddin, target Nurdin sebenarnya sangat realistis seandainya tracing kontak dilakukan secara maksimal dan masyarakat disiplin dalam mengikuti aturan pemerintah.

"Tapi kondisi saat ini dengan kesadaran masyarakat yang sangat rendah serta kurangnya hukuman bagi yang melanggar aturan pemerintah, maka saya tidak yakin kasus positif bisa selesai bulan Juli. Apalagi dengan lebaran nanti, akan ada saja masyarakat yang pulang kampung padahal yang bersangkutan berasal dari zona merah," dia melanjutkan.

3. Klaster kasus positif di Sulsel semakin tidak jelas

Sebab Pandemik di Sulsel Belum Bisa Segera TuntasSeorang santri dari Jatim melakukan rapid test di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, Rabu (15/4). IDN Times/Istimewa

Seiring bertambahnya orang positif COVID-19 di Sulsel, Gugus Tugas tidak pernah mengungkapkan secara lengkap data klaster penyebaran kasus. Tidak pernah disebutkan berapa jumlah klaster yang teridentifikasi, dan di mana saja distribusinya.

Ada beberapa sebagian kecil kasus yang sempat dihubungkan dengan klaster tertentu, seperti klaster KM Lambelu, klaster kapurung, dan klaster Temboro. Tapi selebihnya lebih sering disebut sebagai kasus transmisi lokal.

Kepala Dinas Kesehatan Sulsel yang juga juru bicara Gugus Tugas, Ichsan Mustari, mengatakan, klaster tidak lagi bermaknya di situasi seperti sekarang. Yang terpenting, menurut dia, adalah upaya pemerintah untuk mencegah penyebaran klaster baru.

Ichsan menjelaskan bahwa dalam epidemiologi, identifikasi klaster penting untuk melihat bagaimana suatu penyakit menyebar dalam sebuah wilayah. Tapi jika langkah isolasi sudah ditempuh untuk menekan penyebarannya, klaster pun dianggap tidak lagi berarti.

"Episentrum adalah klaster. Klaster itu adalah kelompok yang punya potensi menyebarkan virus ke orang lain," kata Ichsan.

Kasus pertama di Sulsel termasuk imported case atau kasus dari luar yang teridentifikasi dalam klaster umrah. Namun, kata Ichsan, penyebaran COVID-19 di Sulsel kini didominasi oleh kasus transmisi lokal sehingga klasternya pun menjadi tidak jelas.

Khusus di Makassar, banyaknya jumlah kasus membuat Makassar otomatis menjadi klaster itu sendiri, yang juga disebut sebagai episentrum atau pusat penyebaran. Meski begitu, dia menilai bahwa penelusuran kontak tetap penting dilakukan terhadap pasien positif.

"Kalau di Makassar ini tidak jelas lagi. Kekerabatan, hubungan atau pasangan, teman. Jadi sampai sekarang kalau dibilang generasi keempat. Jadi orang menyebar ke satu, satu menyebar ke lainnya, sudah sampai ke Makassar," dia menerangkan.

4. Penerapan PSBB dianggap belum efektif

Sebab Pandemik di Sulsel Belum Bisa Segera TuntasSejumlah kendaraan melintas di dekat papan informasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Kamis (30/4/2020). ANTARA FOTO/Abriawan Abhe

Demi memutus mata rantai penyebaran COVID-19, pemerintah menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Sejauh ini baru dua daerah di Sulsel yang memberlakukan kebijakan pembatasan itu, yakni Makassar yang disusul Gowa.

Khusus Makassar, PSBB memasuki tahap dua setelah diperpanjang sejak 8 Mei. Tapi menurut pakar hukum, penerapannya hingga kini belum efektif untuk menekan penyebaran virus.

Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Unhas Prof Musakkir menyebut sejumlah alasan PSBB di Makassar terkesan rancu. Yang pertama adalah masyarakat tidak sadar dengan ancaman atau bahaya virus corona.

"Dalam bahasa Makassar itu dikenal dengan istilah eja tompi nikana doang (udang disebut udang ketika warnanya merah). Nanti kita kena (COVID-19) baru kita (warga) tahu bahwa bagaimana rasanya," kata Muzakkir pada diskusi virtual yang diselenggarakan Departemen Hukum Masyarakat dan Pembangunan Fakultas Hukum Unhas, Rabu (13/5).

Kondisi itu, kata Musakkir, juga diperparah dengan masih banyak masyarakat yang kurang menghargai aparat. Dan sebaliknya, segelintir aparat dianggap mendiskriminasi masyarakat yang tidak patuh aturan. Misalnya beberapa unit usaha yang ditutup paksa tanpa mempertimbangkan nasib karyawan atau pekerja.

Guru Besar Hukum Tata Negara Unhas, Prof Andi Pangerang Moenta berpendapat senada. Menurutnya, PSBB Makassar tidak tegas sama sekali tidak mengatur sanksi pidana maupun sanksi administrasi. Peraturan Wali Kota Nomor 22 Tahun 2020 yang menjadi dasar PSBB Makassar cuma mengarahkan penegakan sanksi melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

"Itu bercampur baur. Kalau secara normatif UU sudah tegas. Pelanggaran PSBB UU Nomor 6 Tahun 2018. Kalau perorangan yang melanggar itu maksimal 1 tahun dan dendanya Rp100 juta. Kalau perusahaan atau jasa transportasi baik darat, udara, laut dan berpotensi menularkan wabah, dendanya lebih di atas lagi. Maksimal 10 tahun (penjara) dan denda Rp100 miliar," ucapnya.

Ketimbang PSBB, Pangerang menganggap kebijakan lockdown atau karantina wilayah akan lebih tepat untuk menekan atau memutus mata rantai penyebaran COVID-19 di Sulsel. Hanya saja, kondisi itu disadari cukup susah diterapkan, karena negara dan pemerintah belum mampu menanggung seluruh kebutuhan rakyat selama karantina.

"Itulah sebabnya pemerintah lebih memilih PSBB daripada lockdown. Cuman lockdown berat sekali beban ekonominya karena harus ditanggung beban ekonominya masyarakat," kata dia.

Sebab Pandemik di Sulsel Belum Bisa Segera TuntasIDN Times/Aan Pranata

Baca Juga: Sulsel Belum Penuhi Syarat untuk Deklarasi Daerah Pertama Bebas Corona

Topik:

  • Aan Pranata

Berita Terkini Lainnya