Bawaslu Sulsel Ingatkan Mahasiswa Bahaya Hoaks dan Isu SARA di Pemilu

Bawaslu Sulsel gelar edukasi pengawasan partisipatif

Makassar, IDN Times - Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sulawesi Selatan Saiful Jihad mengingatkan bahaya penyebaran hoaks pada pemilihan umum. Informasi tidak benar bisa merusak demokrasi.

Saiful mengatakan penyebaran informasi tidak benar bisa memicu ketidakpercayaan masyarakat terhadap penyelenggara pemilu, bahkan menyebabkan kericuhan. Hal itu disampaikan Saiful di hadapan mahasiswa lintas kampus pada kegiatan Sosialisasi Pengawasan Partisipatif Kepada Pemilih Pemula Pemilih Muda di Makassar, Jumat (8/9/2023).

"(Hoaks) menghiasi ruang-ruang informasi yang sampai di kita. Dan banyak informasi tidak benar yang menyebabkan distrust terhadap penyelenggara pemilu," kata Saiful.

Baca Juga: Bawaslu Sulsel: Netralitas ASN dan TNI-Polri Ujian di Setiap Pemilu

1. Pemilu sebelumnya jadi pelajaran

Bawaslu Sulsel Ingatkan Mahasiswa Bahaya Hoaks dan Isu SARA di PemiluIlustrasi Pemilu (IDN Times/Arief Rahmat)

Saiful menekankan bahwa penyelenggaraan pemilu sebelumnya bisa jadi pelajaran soal bagaimana dampak hoaks. Dia mencontohkan di Pemilu 2019, sempat beredar informasi bahwa salah salah satu calon di pemilihan main mata dengan penyelenggara. Dampaknya, saat hasil pemilihan diumumkan, sempat terjadi keributan yang sampai menimbulkan korban luka-luka.

Saiful juga mencontohkan informasi hoaks lainnya yang sempat menyebar, yaitu soal KTP bagi warga negara asing (WNA) untuk digunakan sebagai Pemilu. Informasi seperti itu digunakan untuk menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara pemilu.

"Di 2019, konten paling banyak dikategorikan hoaks itu berkaitan dengan politik. Itu bahayanya," kata Saiful.

2. Isu SARA juga bisa merusak demokrasi

Bawaslu Sulsel Ingatkan Mahasiswa Bahaya Hoaks dan Isu SARA di PemiluIlustrasi SARA (IDN Times/Mardya Shakti)

Pada kegiatan itu, Saiful Jihad menyampaikan tiga hal yang bisa membahayakan demokrasi. Selain hoaks, dua lainnya adalah pemanfaatan isu SARA serta politik uang.

Terkait isu SARA, kata Saiful, itu digunakan oleh orang atau kelompok tertentu untuk memecah-belah bangsa. Mereka menyebarkan informasi untuk mendiskreditkan kelompok yang dianggap berbeda, tidak sesuku, seagama, atau sevisi.

"Akhirnya hingga hari ini kita masih sering dengar istilah cebong dan kampret. Itu salah satu upaya memecah belah kita," katanya.

3. Mahasiswa diharapkan bantu edukasi masyarakat soal pemilu

Bawaslu Sulsel Ingatkan Mahasiswa Bahaya Hoaks dan Isu SARA di PemiluBawaslu Sulsel menggelar sosialisasi pengawasan partisipatif yang diikuti mahasiswa lintas kampus di Makassar, Jumat (8/9/2023). (Dok. Humas Bawaslu Sulsel)

Bawaslu Sulsel mengumpulkan perwakilan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi untuk membekali mereka pengetahuan tentang pengawasan partisipatif di pemilu. Diharapkan, mahasiswa bisa ikut membantu Bawaslu mengawasi proses pemilu di komunitasnya.

"Harapannya, jika kembali ke kampus, ke komunitas masyarakat, apa yang bisa kita lakukan untuk menjaga pemilu kita. Untuk menyebarluaskan informasi semacam ini, yang bisa mengedukasi teman-teman," kata Saiful.

"Kenapa kita sampaikan ke mahasiswa, karena kita yakin mahasiswa masih memiliki idealisme yang kuat, punya harapan masa depan lebih baik. Maka tentu kita punya komitmen bersama menjaga proses demokrasi kia jadi proses sehat," dia menambahkan.

4. Mahasiswa dituntut kritis dalam menentukan pilihan

Bawaslu Sulsel Ingatkan Mahasiswa Bahaya Hoaks dan Isu SARA di PemiluKetua Mafindo Sulsel Andi Fauziah Astrid (kanan) berbicara pada sosialisasi pengawasan partisipatif yang diikuti mahasiswa lintas kampus di Makassar, Jumat (8/9/2023). (Dok. Humas Bawaslu Sulsel)

Ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Sulsel, Andi Fauziah Astrid, yang turut jadi narasumber pada kegiatan Bawaslu Sulsel, mengajak mahasiwa sebagai pemilih pemula kritis dalam menentukan pilihan di pemilu.

Astrid mengatakan, berdasarkan data pemilih KPU, pada Pemilu 2024 sekitar 60 persen pemilih merupakan kelompok millennials dan Gen Z. Di antara mereka banyak pemilih pemula, namun sebagian diperkirakan malas datang ke tempat pemungutan suara (TPS).

"Karena mereka anggap Pemilihan tidak genting, baik itu Pemilihan Legislatif (Pileg), Pilpres, dan Pilkada," katanya.

Menurut Astrid, sebagian pemilih pemula menganggap visi-misi kandidat atau calon tidak pernah berubah. Padahal, mereka bisa berpikir kritis dengan mencari tahu rekam jejak dan visi-misi calon. Salah satu cara yang paling gampang adalah dengan mengeceknya lewat Google. "Tajamkan daya kritis, berpikir kritis. Itu kunci menentukan pilihan," ucapnya.

Baca Juga: Ketua Bawaslu Sulsel: Tekanan Politik Pengaruhi Pengambilan Keputusan 

Topik:

  • Aan Pranata

Berita Terkini Lainnya