Sejak Kapan Buzzer Dinilai Negatif, Benarkah Serupa dengan Influencer?
"Setelah Pilpres pendapatan mereka gak tentu"
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Makassar, IDN Times - Fenomena cyber troops (pasukan siber) atau populer disebut sebagai buzzer, belakangan makin mencuri perhatian masyarakat Indonesia. Lantaran rentetan peristiwa aksi unjuk rasa diduga digerakkan -juga berupaya dilemahkan- melalui kanal-kanal informasi di media sosial. Seruan aksi menolak UU KPK hasil revisi, misalnya, setali tiga uang dengan usaha pengerdilan gerakan mahasiswa bersama aliansi masyarakat.
Eksistensi buzzer di Indonesia, sejatinya menemukan momentum kehadiran pada pemilihan umum (Pemilu) Presiden 2019 lalu. Dua kubu kontenstan Pilpres 2019, ditengarai menggerakkan buzzer guna membentuk kesadaran manipulatif masyarakat pemilih. Fakta itu ditegaskan hasil penelitian dari Universitas Oxford dan Institut Internet Oxford, Inggris. Hasil studi membuktikan bahwa Indonesia adalah salah satu dari 70 negara yang terdeteksi memiliki buzzer.
Pengamat politik Ujang Komaruddin mengatakan, aktivitas para buzzer tidak akan berhenti meski pesta demokrasi lima tahunan telah selesai April lalu. Menurut dia, buzzer kini telah menjelma menjadi pekerjaan yang menjanjikan penghasilan lumayan.
"Buzzer kan butuh hidup juga. Setelah Pilpres pendapatan mereka gak tentu, mereka butuh makan karena pekerjaan (utama) mereka ya itu buzzer,” kata Ujang saat dihubungi IDN Times, Minggu (6/10).
Senada dengan Ujang, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Bina Nusantara (Binus), Rahmad M. Arsyad menilai, banyak orang yang melakukan aktivitas buzzer karena perkembangan teknologi informasi dan media komunikasi mengubah cara masyarakat menerima gempuran data digital.
"Buzzer itu lahir dari budaya zaman, dia merupakan wujud dari media morfosis, menghadirkan profesi baru," terang Rahmad, saat berbincang dengan IDN Times di Makassar, Minggu (6/10).
1. Memelihara buzzer untuk kepentingan elite
Menurut Ujang, buzzer bakal terus eksis sebab ada banyak pihak yang membutuhkan jasa mereka. Salah satunya, ucap Ujang, adalah kalangnan elite penguasa dan pemerintah.
"Justru kalau dibubarkan (pemerintah) akan kecolongan diserang buzzer yang lain. Jadi buzzer itu bukan hanya setelah Pilpres dibuang, tapi dipelihara. Itu yang saya kira kenapa masih ada," Ujang menjelaskan.
Meski begitu, Ujang juga menuturkan bahwa buzzer bisa saja berhenti apabila mereka merasa dikecewakan janji-janji para elite politik yang tidak terealisasi pasca-Pilpres.
“Misalkan si A buzzer, pasti dijanjikan oleh capres-cawapres ‘nanti kamu (buzzer) kalau saya jadi (menang pemilu) masuk Istana atau nanti jadi Komisaris atau Duta Besar’. Nah kalau janjinya tidak ditepati maka akan kecewa dan dia berhenti atau berpindah kepada buzzer lawan,” Ujang menerangkan.
Baca Juga: Blak-blakan Buzzer Politik, dari Bayaran Hingga Cara Kerja
Baca Juga: Pesan Moeldoko Untuk Para Buzzer: Saat Ini Kalian Gak Diperlukan Lagi