Suara Millennials Gorontalo tentang Indonesia di Usia 75 Tahun
Masih ada diskriminasi pembangunan dan ketimpangan sosial
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Gorontalo, IDN Times - Hari Ulang Tahun (HUT) ke-75 Republik Indonesia dirayakan segenap anak bangsa. Senin, 17 Agustus 2020 kemarin, rekaman suara Presiden Sukarno membacakan teks proklamasi, menggema di seantero nusantara.
Lalu, bagaimana harapan generasi Millennials dan Gen Z di usia ke-75 tahun kemerdekaan Indonesia? Kali ini IDN Times merangkum beberapa testimoni tentang Indonesia hari ini.
Oktaviani Mansa (23) menuturkan setiap orang memiliki opini dan perspektif kemerdekaan masing-masing. Menurutnya kemerdekaan bukan hanya sorak-sorai kegiatan seremonial belaka. Namun ia memahami kemerdekaan dalam artian yang sesungguhnya, bahwa tidak ada lagi riak-riak yang dapat memecah belah kesatuan.
“Merdeka ketika orang-orang sudah bisa membuka pikiran. Bukan sekadar tarik tambang dan tidak ada yang teriak merdeka lagi,” kata Okta, millennial asal Paguyaman, Kabupaten Boalemo, Gorontalo, kepada IDN Times, Senin, 17 Agustus 2020.
1. Kebebasan berpendapat mulai terdegradasi
Sementara itu millennial asal Ambon, Jalipati Tuheteru (28) memahami kemerdekaan yang sesungguhnya, jika kebebasan berpendapat dapat dilakukan oleh seluruh kalangan. Menurutnya saat ini di Indonesia sangat susah berpendapat di depan umum. Apalagi adanya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang dapat menjerat siapa saja.
“Faktanya warga negara diikat, pola pikir diikat, hak berbicara diikat. Seperti dijajah oleh negara sendiri,” kata Jali yang sudah berdomisili di Kota Gorontalo sejak lama.
Ia menganggap saat ini negara sangat sensitif terhadap kritikan. Hanya menyuarakan pendapat di depan umum, bakal dianggap sebagai tindakan makar. Selain itu penegakan hukum di Indonesia, kata dia, masih jauh dari kata adil.
“Misalnya persoalan kasus Novel Baswedan. Sangat jauh dari yang namanya keadilan. apakah negara menginginkan yang seperti itu? Penegakan hukum hanya tajam ke atas dan tumpul di bawah,” katanya.
Baca Juga: Potret Guru Honorer di Pedalaman: Jalan Kaki 1 Jam Menembus Hutan
Baca Juga: Melihat Dusun Tumba, Benteng Terakhir Hutan Suaka Margasatwa Gorontalo