Bujet Selangit, Visual Melarat! 10 Film Mahal yang Terlihat Murah

Film-film berbujet besar selalu datang dengan ekspektasi yang tinggi. Penonton mengharapkan visual yang memukau, set yang imersif, dan efek khusus yang canggih. Namun kenyataannya, banyak film berbujet besar yang justru menampilkan kualitas visual yang mengecewakan. Permasalahan ini bisa berupa CGI yang terlihat murah, desain set yang hambar, kostum yang kurang menarik atau bahkan kekurangan adegan yang menampilkan visual yang memukau.
Daftar berikut ini mencakup beberapa film berbujet besar yang gagal memenuhi ekspektasi penonton dari segi visual. Film-film ini berasal dari berbagai genre mulai dari film aksi, fantasi, hingga komedi. Namun mereka memiliki satu kesamaan, yaitu ketidakseimbangan antara nilai estetika dengan dana yang diinvestasikan. Akibatnya, film-film ini memberikan pengalaman menonton yang mengecewakan bahkan terkesan murah. Seperti film yang diproduksi untuk rilis langsung ke video bukan layaknya film Hollywood kelas atas.
Film-film apa sajakah itu? Yuk, langsung simak daftarnya!
10. Red Notice (2021)

"Itulah mengapa mereka menyebutnya permainan kepercayaan". Kalimat ini seolah menjadi sindiran bagi film aksi komedi Red Notice yang dibintangi oleh Dwayne Johnson sebagai profiler FBI John Hartley. Ia bekerja sama dengan pencuri seni Nolan Booth (Ryan Reynolds) untuk memburu seorang kriminal kelas kakap bernama The Bishop (Gal Gadot). Meskipun menelan biaya produksi sebesar 200 juta dolar atau sebesar Rp3,1 triliun. Adegan-adegan pencurian yang berlatar di berbagai negara terasa kurang meyakinkan dengan latar belakang layar hijau yang terlalu jelas dan urutan aksi yang terkesan artifisial.
Para pemeran utamanya yang karismatik berusaha keras untuk menyelamatkan film ini dari naskah yang lemah dan dialog yang datar. Johnson, Reynolds, dan Gadot memang selalu menarik untuk ditonton, namun karakter yang mereka perankan terlalu dangkal dan kurang mendalam. Kurangnya pengembangan karakter ini menyebabkan twist, pengkhianatan, dan intrik dalam cerita terasa kurang berdampak secara emosional. Plot film ini memang penuh kejutan, namun sebagian besar terasa dipaksakan dan tidak alami. Secara keseluruhan, Red Notice memberikan kesan bahwa para pemain dan kru film ini terlalu puas dengan hasil yang biasa-biasa saja.
9. The Munsters (2022)

Waralaba The Munsters menceritakan kehidupan sebuah keluarga monster Universal yang tinggal di pinggiran kota Amerika modern. Rob Zombie, sang sutradara, berambisi untuk membawa keluarga sitkom yang terkenal ini ke era baru dengan sentuhan warna dan pesona yang unik. Sayangnya, kualitas produksi film ini tidak sebanding dengan ambisinya. Set yang digunakan terlihat seperti panggung suara biasa dan visualnya lebih mirip dengan film televisi daripada film layar lebar.
Pencahayaan yang terlalu mencolok dan properti yang terlalu sederhana membuat film ini lebih terkesan seperti pesta Halloween daripada sebuah dunia monster yang hidup. Secara keseluruhan, The Munsters tidak terlihat seperti film dengan bujet 40 juta dolar atau sekitar Rp635 miliar (meskipun Zombie sendiri membantah angka ini). Semua aspek dalam film ini terlalu berlebihan, mulai dari humor yang norak hingga akting yang teatrikal. Hal ini mungkin akan menghibur penonton anak-anak, namun kurang menarik bagi penonton dewasa. Meskipun tidak dapat dikatakan buruk, The Munsters gagal mencapai potensi maksimalnya.
8. Gemini Man (2019)

Gemini Man menampilkan Will Smith dalam dua peran sekaligus, yaitu sebagai seorang pembunuh bayaran yang menua dan kloningnya yang lebih muda. Meskipun teknologi penghilang penuaan (de-aging) digadang-gadang sebagai daya tarik utama, hasil CGI dalam film ini justru terlihat tidak konsisten. Beberapa adegan mengungkapkan keterbatasan efek digital yang digunakan. Selain itu, adegan-adegan aksi yang terlalu bergantung pada CGI terasa kurang mendebarkan dan realistis. Bahkan, cutscene dalam video game terlihat lebih baik.
Frame rate film yang tinggi juga lebih mengganggu daripada memberikan efek imersif. Yang paling mengecewakan, film ini disutradarai oleh Ang Lee seorang sutradara legendaris yang telah membuktikan kepiawaiannya dalam menciptakan visual yang memukau dalam film-film sebelumnya seperti Crouching Tiger, Hidden Dragon dan Life of Pi. Dengan reputasi Ang Lee, Gemini Man seharusnya menjadi sebuah mahakarya. Namun, kenyataannya, film ini justru terasa biasa saja bahkan cenderung mengecewakan. Belum lagi jika kita membahas naskah yang lemah dan konsep kloning yang tidak masuk akal.
7. Justice League (2017)

Zack Snyder's Justice League menampilkan para bintang besar seperti Ben Affleck, Henry Cavill, Gal Gadot, dan Jason Momoa sebagai pahlawan super DC. Namun, film ini justru menuai banyak kontroversi ketimbang pujian. Meskipun dimaksudkan sebagai pertemuan para karakter ikonik, berbagai masalah produksi, termasuk pergantian sutradara, membuat film ini terasa tidak koheren. Ironisnya meskipun memiliki bujet fantastis, kualitas visual film ini terutama CGI-nya terlihat sangat buruk. Steppenwolf (Ciarán Hinds) sang penjahat bahkan terlihat seperti karakter video game dengan render yang jelek.
Sama seperti Gemini Man, penggunaan CGI yang berlebihan untuk menggantikan adegan aksi dan koreografi pertarungan yang sebenarnya membuat film ini terasa hambar dan kurang mendebarkan. Penghapusan kumis Henry Cavill secara digital yang sempat menjadi perbincangan hangat juga menjadi bukti bahwa efek visual film ini dikerjakan secara terburu-buru. Pada akhirnya, ketidakkonsistenan visual dan nada cerita yang bertabrakan membuat Justice League terkesan belum selesai, meskipun para penggemar versi Snyder berpendapat bahwa versi tersebut telah memperbaiki banyak permasalahan ini.
6. Green Lantern (2011)

Green Lantern kembali menjadi contoh film berbujet besar yang gagal memenuhi ekspektasi. Film ini dibintangi oleh Ryan Reynolds sebagai seorang pilot uji coba yang terpilih menjadi pahlawan super dan bergabung dengan pasukan polisi antar galaksi. Dengan dana yang dikucurkan, Green Lantern seharusnya menjadi sebuah tontonan visual yang spektakuler. Namun sayangnya, dunia CGI yang ditampilkan justru terlihat datar dan mengecewakan. Kualitasnya tidak dapat dikatakan buruk namun juga tidak istimewa.
Kostum Green Lantern yang seluruhnya dibuat dengan CGI terlihat terpisah dari tubuh Ryan Reynolds, memberikan kesan animasi yang janggal. Begitu pula dengan lanskap planet asing yang terlihat kurang meyakinkan. Efek 3D yang ditawarkan pun terkesan murah dan hanya sebagai gimik untuk mengalihkan perhatian penonton dari kelemahan-kelemahan lain seperti naskah yang buruk dan alur cerita yang hambar. Yang terburuk, plot film ini seolah ingin memuaskan semua orang sehingga terlalu dangkal dan tidak fokus. Sutradara Martin Campbell (The Legend of Zorro, Casino Royale) sendiri mengakui kegagalan proyek ini. "Filmnya tidak berhasil" ujarnya. "Film superhero memang bukan keahlian saya".
5. How Do You Know (2010)

Film komedi romantis ini mengisahkan kisah cinta segitiga antara Lisa (Reese Witherspoon) seorang atlet profesional, George (Paul Rudd) seorang pengusaha dan Matty (Owen Wilson) seorang bintang bisbol. Film dengan tema seperti ini seharusnya tidak membutuhkan biaya produksi yang besar karena tidak memerlukan set atau efek CGI yang rumit. Namun, How Do You Know justru menelan biaya hingga 120 juta dolar. Sebagian besar dana tersebut digunakan untuk membayar gaji para bintang ternama yang terlibat, di mana Reese Witherspoon sendiri dilaporkan menerima 15 juta dolar atau sebesar Rp238 miliar.
Sayangnya, kualitas sinematografi film ini tidak mencerminkan bujetnya yang fantastis. Meskipun tidak buruk, sinematografinya terkesan biasa saja dan tidak memiliki keistimewaan seperti film indie dengan dana terbatas. Aspek-aspek lain dalam film ini pun mendapat sambutan yang kurang hangat. Banyak kritikus yang mengkritik humor, penulisan cerita, dan klise genre yang disajikan serta durasi film yang terlalu panjang (sekitar dua jam) dengan banyak adegan yang tidak penting. Para bintang dalam film ini pun tampaknya tidak memberikan penampilan terbaik mereka.
4. Fantastic Four (2015)

Fantastic Four versi reboot yang disutradarai oleh Josh Trank sayangnya menjadi salah satu film superhero yang mengecewakan. Film ini dibintangi oleh Miles Teller, Michael B. Jordan, Kate Mara, dan Jamie Bell sebagai pemeran utama, namun penampilan mereka terkesan kurang bersemangat. Film ini memiliki banyak kelemahan, mulai dari struktur narasi yang kacau, logika cerita yang lemah, hingga adegan-adegan membosankan yang didominasi oleh dialog tanpa aksi yang menarik.
Kualitas visual film ini juga terlihat buruk untuk sebuah film dengan skala sebesar ini. Set yang digunakan terkesan tidak inspiratif, dan efek CGI terlihat tidak selesai. Banyak adegan berlangsung di ruangan yang kosong dan membosankan, sehingga film ini terasa terlalu sempit dan kurang mendebarkan. Fantastic Four versi ini terkesan kurang ambisius dan artistik, sehingga mudah terlupakan. Tidak mengherankan jika banyak penggemar Marvel yang kecewa dengan film ini, dan pencapaiannya di box office pun tergolong rendah untuk sebuah film franchise besar. Film ini bahkan membuat film-film Fantastic Four sebelumnya terlihat lebih baik yang menunjukkan betapa buruknya kualitas film ini.
3. Jack and Jill (2011)

Jack and Jill adalah salah satu film terburuk yang pernah dibintangi oleh Adam Sandler. Dalam film ini, Sandler memerankan dua karakter sekaligus yaitu Jack seorang eksekutif periklanan yang sukses dan Jill saudara kembarnya yang unik. Jika film-film lain dalam daftar ini membutuhkan efek visual dan desain produksi yang rumit, Jack and Jill pada dasarnya hanyalah sebuah film tentang orang-orang yang berbicara di dalam ruangan. Oleh karena itu, bujet sebesar 79 juta dolar untuk film ini terasa sangat membingungkan.
Kemana larinya semua uang itu? Efek layar terpisah bukanlah sesuatu yang sulit untuk dilakukan dan tata rias dalam film ini pun tidak terlalu rumit atau meyakinkan. Naskah film ini juga terkesan asal-asalan, seolah-olah ditulis tanpa banyak perbaikan. Humor yang disajikan pun sangat sedikit dan tidak lucu. Tidak mengherankan jika Jack and Jill mendapat banyak kecaman dari para kritikus film, bahkan berhasil menyabet semua kategori penghargaan di ajang Razzie Awards tahun itu.
2. Cats (2019)

Jika film-film lain dalam daftar ini merusak materi sumber yang bagus, film Cats justru menghancurkan sebuah karya ikonik dengan cara yang sangat fatal. Film ini mengadaptasi sebuah pertunjukan musikal panggung yang terkenal ke layar lebar dengan cara yang sangat canggung. Efek digital yang digunakan untuk menciptakan karakter hibrida manusia-kucing justru menghasilkan penampilan yang menyeramkan dan mengganggu. Banyak karakter yang terlihat mengerikan dan seolah-olah belum selesai dibuat.
Meskipun menelan biaya produksi setidaknya 80 juta dolar, efek visual dalam film ini terlihat sangat amatir. Alih-alih larut dalam cerita, penonton justru terganggu oleh visual yang aneh dan menyeramkan. Sebagai contoh, dalam rilis perdana di bioskop, karakter yang diperankan oleh Judi Dench memiliki jumlah jari yang salah di antara banyak kesalahan lainnya. Tidak mengherankan jika Cats mendapat banyak kecaman saat perilisannya, termasuk dari Andrew Lloyd Webber pencipta musikal aslinya. Film ini juga gagal menutup biaya produksinya. Cats menjadi salah satu kegagalan film yang paling diingat dalam dekade terakhir.
1. Battlefield Earth (2000)

Dalam hal film mahal yang terlihat murah, sulit menemukan contoh yang lebih parah daripada Battlefield Earth yang secara luas dianggap sebagai salah satu film fiksi ilmiah terburuk yang pernah dibuat. Diadaptasi dari novel karya L. Ron Hubbard, film ini berlatar di masa depan distopia di mana umat manusia diperbudak oleh ras alien yang disebut Psychlos. John Travolta (yang sangat bersemangat dengan proyek ini) memerankan pemimpin mereka yang kejam.
Hasil akhir film ini adalah sebuah bencana dalam segala aspek. Dengan biaya produksi setidaknya 44 juta dolar, camerawork film ini justru terlihat seperti karya amatir seorang mahasiswa film tahun pertama. Film ini dipenuhi dengan sudut pengambilan gambar yang aneh dan miring, kostum yang jelek, desain set yang berantakan, pencahayaan yang berlebihan dan efek CGI yang sangat buruk. Battlefield Earth adalah sebuah parodi dari genre fiksi ilmiah, kebalikan total dari 2001: A Space Odyssey. Menonton film ini adalah sebuah siksaan bagi mata dan pikiran.
Meskipun memiliki bujet selangit, sepuluh film yang telah dibahas di atas justru menampilkan visual yang mengecewakan dan terkesan "murah". Hal ini menunjukkan bahwa uang bukanlah satu-satunya faktor penentu keberhasilan sebuah film. Kualitas visual yang baik merupakan hasil dari perencanaan yang matang, eksekusi yang cermat, dan pemanfaatan teknologi yang tepat. Semoga ke depannya, para sineas dapat belajar dari kesalahan film-film ini dan menghasilkan karya-karya yang tidak hanya memuaskan dari segi cerita, tetapi juga memukau secara visual.