TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Nama Khas Bugis Makassar, Identitas Kultural Pengingat Kampung Halaman

Nama adalah doa, juga penanda akar kebudayaan Indonesia

Warga melintas di area Pantai Losari saat matahari terbenam di Makassar, Sulawesi Selatan. (ANTARA FOTO/Arnas Padda)

Makassar, IDN Times - Beberapa waktu lalu, linimasa Twitter ramai membicarakan daftar nama-nama anak para figur publik yang dianggap unik. Di telinga orang awam mungkin terdengar unik dan tak biasa. Ada nama modern seperti Xabiru Oshe Al Hakim (anak selebgram Rachel Vennya), Sky Tierra Solana (anak komedian-sutradara Ernest Prakasa) dan Satine Zaneta Putri Hujan (anak aktor Abimana Aryasatya).

Namun ada juga nama-nama yang menonjolkan unsur Jawa. Contohnya Btari Embun Anandayu (anak pasutri selebriti Ananda Omesh-Dian Ayu), Trah Kandara Biru (anak penulis Rahne Putri), Den Bagus Satrio Sasono (anak pasutri selebriti Dwi Sasono-Widi Mulia) serta tentu saja Jan Ethes Srinarendra, cucu Presiden Joko Widodo.

Memang ada ungkapan berbunyi "apalah arti sebuah nama." Padahal, dari nama kita bisa menangkap rasa bangga atas identitas tradisional dari sang orangtua. Umumnya mereka berharap si buah hati tetap tak lupa akar leluhurnya. Tapi, apakah pemberian nama tradisional adalah hal wajib? Bagaimana budaya Sulawesi Selatan memandangnya?

1. Bagi orangtua, ada identitas Bugis-Makassar yang hendak diabadikan dalam nama

(Ilustrasi) Para wanita suku Bugis di Makassar pada dekade 1930-an/Wikimedia Commons/Collectie Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen

Pindahkan cakupan fenomena ini ke Sulawesi Selatan. Semua orangtua pun menghadapi dilema serupa. Paparan modernisme membawa mereka dalam proses merancang dan memilah nama anak, sembilan bulan sebelum ia menyapa dunia. Sebagian menjalaninya dengan santai, namun tak jarang ini malah berujung rasa pening di kepala.

Sikap kalem dipilih oleh Sabda Tarotrinarta, seorang dosen ilmu komunikasi Universitas Tadulako asal Makassar yang saat ini tinggal di Palu, Sulawesi Tengah. Ia menamai sang buah hati Jiwa Labbiri Tarotrinarta. Dalam bahasa Bugis, kata "labbiri" bermakna "mulia."

Misi mengoper identitas kepada anak jadi alasannya. "Karena menurutku, salah satu hal yang bisa digunakan untuk menjaga nilai identitas kedirian adalah dengan melestarikan bahasa Bugis-Makassar dalam nama," ujar sosok yang juga berprofesi sebagai barista itu kepada IDN Times, Minggu (21/2/2021) siang.

Taro, sapaan akrabnya, memandang tak masalah menggunakan nama asing. Ia menyebut ini adalah hak dari masing-masing orangtua. Namun, ia menyebut hal tersebut menjadi aneh jika ternyata motif penamaan sebab ikut arus tren.

"Yang namanya tren takkan lama dan abadi. Kan tidak lucu hari ini kau atau anakmu bernama atau punya unsur Arab yang sedang tren, kemudian beberapa tahun ke depan diganti lagi namanya karena sudah tidak tren. Akan banyak ongkos pemotongan anak kambing," selorohnya, merujuk pada prosesi penggantian nama yang lazim dilakukan.

Baca Juga: Amanna Gappa, Aturan Bugis Kuno Penginspirasi Konvensi Laut Sedunia

2. Tinggal di ibu kota tak serta merta membuat orangtua asal Sulsel lupa dengan kampung halaman

Ilustrasi (IDN Times/Anata)

Masalah identitas juga jadi fokus Ahmad Syarif Makkatutu. Bermukim di Jakarta tak membuatnya lupa dengan kampung halaman. Ia masih menyelipkan unsur Bugis di nama sang buah hati, Samasta Tumbuh Pallawarukka.

Aco, sapaan akrabnya, memadukan tiga unsur sekaligus. "Samasta" adalah bahasa Sansekerta yang berarti "disatukan", sementara "pallawarukka" dalam bahasa Bugis bermakna "peredam bising." Semuanya serasi mengapit salah satu kosa kata yang selalu berkonotasi positif dalam bahasa Indonesia.

"Alasannya sih karena kami senang dengan segala sesuatu yang berbau budaya Indonesia, dan memasukkan unsur bahasa daerah ke dalam anak kami, agar kelak dia juga tertarik belajar soal identitasnya," demikian diungkapkan Aco saat dihubungi IDN Times, Senin, 22 Februari.

Lebih jauh, pria yang berprofesi sebagai Brand Visual Leader di Narasi itu memandang perkara penamaan kembali kepada pilihan, pengalaman dan keterkaitan yang berbeda dengan budaya dari masing-masing orangtua.

"Bukan cuma unsur luar sekarang juga tren, kok. Ada nama-nama anak dengan unsur kata yang lugas. Contohnya 'Embun Pagi', 'Kala Senja', dan masih banyak lagi," papar Aco.

3. Melalui nama, menegaskan identitas Indonesia sebagai negeri majemuk

ANTARA FOTO/Jojon

Identitas daerah akan selalu dibawa oleh sang anak ke mana pun ia pergi. Itulah yang menjadi ciri khasnya di lingkungan yang baru, meneguhkan Indonesia sebagai sebuah negeri majemuk. Hal tersebut dirasakan langsung Andy Makkaraseng, ketika menimba ilmu di sebuah perguruan tinggi kota Surabaya.

"Langsung ketahuan kalau asli dari Bugis-Makassar, meskipun belum menyebut tempat asal. Jadi lebih dikenal juga di kampus karena namanya unik," cerita lelaki yang berprofesi sebagai wiraswasta itu, Sabtu, 27 Februari kemarin.

"Dulu pernah nanya bapak soal arti nama, waktu itu diceritakan memang nama saya diambil dari nama buyut dari pihak bapak, yaitu Andi Makkaraseng," jelasnya. Jika menelusuri lembaran sejarah Sulsel, nama tersebut juga pernah tersemat untuk salah satu Anre Guru (gelar untuk pemimpin pasukan elite) Kerajaan Bone abad ke-18. 

Makkaraseng sendiri berasal dari bahasa Bugis kuno. Namun lantaran penuturnya sudah menyusut drastis, hanya tersisa pada Bissu selaku pemuka adat lama, nama tersebut nyaris tak pernah terdengar bahkan di Sulsel sekalipun.

"Kalau secara arti sendiri saya kurang paham. Tapi bisa jadi diambil dari kata 'karrasa' atau 'keras' sehingga bisa diartikan 'berpendirian keras,'" lanjut pria yang masih lajang tersebut.

Baca Juga: Mantra Cenning Rara, Ilmu Pemikat Hati Warisan Leluhur Bugis Makassar

4. Ternyata, masyarakat Bugis-Makassar cukup luwes untuk urusan penamaan anak

Potret tiga laki-laki Makassar antara tahun 1910 hingga 1930. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Lantas bagaimana dengan pandangan lokal atas perkara nama? Apakah ada keharusan penggunaan unsur tradisional sebagai penanda identitas? Ternyata, masyarakat Bugis-Makassar cenderung cair menyikapi budaya luar. Sikap tersebut dibawa ke urusan penamaan.

"Orang Bugis dan Makassar adalah masyarakat bilateral, yang dikenal punya budaya lebih terbuka. Kita lebih gampang menerima infliltrasi budaya asing. Baik dalam peradaban, keseharian, dan pemberian nama," ujar seniman-budayawan Sulsel, Asmin Amin, Kamis 25 Februari.

Dijelaskan Amin, masyarakat bilateral tak ragu mengadopsi nama asing. Terlebih jika ada relasi emosional yang sudah terbangun lebih dulu. Misalnya ketika seseorang yang lahir dan besar di Jeneponto berteman akrab dengan orang dengan latar belakang Jawa. Si penduduk Jeneponto punya potensi tak ragu menggunakan nama sang karib asal Jawa.

"Saya ambil contoh lain. Ketika seseorang telah lama meninggalkan Sulsel dan menetap di Sumatra, bisa nama anak yang dipilih ada ciri Bataknya. Begitu juga jika telah tinggal di Singapura atau Kanada. Begitu pula nama dengan unsur Arab karena dipengaruhi ciri Islam. Itu (penggunaan nama asing) mudah sekali bagi masyarakat Bugis dan Makassar," lanjut Amin.

5. Tradisi penggunaan marga oleh suku Toraja tak lepas dari ciri masyarakat yang komunal

Para penari Toraja dengan busana tradisional di Makale, Tana Toraja, Sulawesi Selatan. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Saat cakupan diperluas, tak hanya Bugis-Makassar, ada konsistensi suku Toraja dengan tradisi penggunaan marga tradisional. Mulai dari Paembonan, Rantetasak, Tandi, Masiku, Ampulembang dan masih banyak lagi. Menurut Amin, ini tak lepas dari budaya masyarakat Toraja yang berciri komunal.

"Pandangan orang Bugis-Makassar tentang penamaan berbeda dengan orang Toraja yang berciri masyarakat komunal, yang lebih dekat dengan tanah kelahirannya," jelas sosok yang pernah menjadi anggota DPR-RI itu. "Mereka konsisten menjaga penamaan-penamaan, tetap dijaga supaya tetap memiliki ciri Toraja. Diambil dari leluhur dan diturunkan pada anak dan cucu."

Penggunaan marga mengingatkan pada kebiasaan penduduk lain seperti Jawa, Batak, Minang, Dayak, Karo, Maluku, Papua dan lain-lain.

"Masyarakat komunal punya kekerabatan yang kuat. Sehingga akan sangat susah jika ada marga lain untuk masuk, ada syarat-syaratnya."

Ini sangat berbeda dengan Bugis-Makassar yang tak terikat keharusan mewariskan nama belakang ke anak atau cucu.

Baca Juga: Jalloq, Amukan Spontan Pemulih Harga Diri Orang Bugis-Makassar

Berita Terkini Lainnya