Amanna Gappa, Aturan Bugis Kuno Penginspirasi Konvensi Laut Sedunia

Dirumuskan oleh seorang matoa Wajo pada tahun 1676

Makassar, IDN Times - Nusantara, pada abad ke-7 hingga ke-18 Masehi, adalah masa-masa keemasan bahari. Sejumlah kerajaan yang terletak di Pulau Sumatera, Jawa hingga Sulawesi, silih berganti menjadi pemegang supremasi di laut. Beberapa di antaranya bahkan rela saling mengangkat senjata, memerangi satu sama lain.

Mendiang sejawaran Richard Zacharias Leirissa, dalam artikel yang dimuat dalam buku Kepemimpinan Bahari; Sebuah Alternatif Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia (2012), menulis bahwa wilayah kepulauan Nusantara saling terhubung oleh laut.

RZ Leirissa menyebut, tradisi yang berkembang membuat orang-orang di wilayah Asia Tenggara tak pernah memandang lautan sebagai pembatas. Horison biru sejauh mata memandang adalah jembatan menuju wilayah-wilayah eksotis berisi budaya baru, persahabatan, ekonomi hingga rumitnya percaturan politik antar kerajaan.

Baca Juga: Berumur 44 Ribu Tahun, Lukisan Gua Tertua di Dunia Ditemukan di Sulsel

1. Sejak lama, Nusantara dikenal sebagai wilayah bahari yang membentang luas

Amanna Gappa, Aturan Bugis Kuno Penginspirasi Konvensi Laut SeduniaRepro Grote Atlas van de Verenigde Oost-Indische Compagnie

Jika menilik lebih ke belakang, kata "Nusantara" --yang dipakai sebagai sinonim untuk khazanah kebudayaan dari Sumatera sampai Papua-- berasal dari kitab Pararaton. Istilah tersebut berasal dari sepasang kata dari bahasa Sansakerta yakni "Nusa" (pulau) dan "Antara" (luar). Dalam konteks Majapahit, Nusantara adalah pulau-pulau yang berada di luar wilayah kekuasaan kerajaan tersebut.

Kebiasaan berlayar juga dilakukan oleh para pelaut Bugis-Makassar pada masa kuno. Mereka menjelajah pesisir Asia Tenggara, Australia hingga Pulau Madagaskar. Menginjak abad ke-17, mulailah tumbuh kesadaran atas pentingnya peraturan yang mengikat dan berlaku di laut serta di atas kapal.

Ya, acapkali terjadi konflik antara sang nakhoda dan para penumpangnya ketika kapal mengarungi lautan. Alhasil dibutuhkan beberapa peraturan yang mengatur perilaku orang-orang di atas kapal, hubungan saudagar dan pelaut, penempatan barang di kapal, kepemilikan di atas kapa, hingga nasib muatan jika kapal diterpa topan.

2. Kebutuhan akan peraturan membuat para matoa duduk bersama

Amanna Gappa, Aturan Bugis Kuno Penginspirasi Konvensi Laut SeduniaCollectie Tropenmuseum

Dalam buku Warisan Bahari Indonesia (Bambang Budi Utomo, 2016), dijelaskan bahwa seorang ketua adat Wajo bernama Amanna Gappa dipilih sebagai matoa (ketua) yang mengorganisir masyarakat Bugis-Wajo, yang pada dekade akhir abad ke-17 sudah berdiam di pelabuhan Ambon, Banjarmasin hingga Malaka.

Para matoa yang berasal dari berbagai komunitas Wajo --yang tumbuh pesat di wilayah pelabuhan-- kemudian bertemu di Makassar pada dekade 1670-an. Mereka berembuk untuk merumuskan peraturan dan tata tertib yang harus dipatuhi dalam pelayaran dan perdagangan.

Peraturan yang kemudian tertera dalam 18 lontara berbahasa Bugis disebut sebagai "Ade allopi loping bicaranna pa'balu baluE" atau etika pelayaran dan perdagangan pada 1676. Pedoman tersebut menjadi pedoman hukum pelayaran dan perdagangan laut dari Laut Banda hingga Selat Malaka.

3. Peraturan Amanna Gappa menjelaskan secara rinci ketentuan berlayar dan hierarki di geladak

Amanna Gappa, Aturan Bugis Kuno Penginspirasi Konvensi Laut SeduniaCollectie Tropenmuseum

Amanna Gappa terdiri dari 21 pasal, yang menjelaskan secara rinci ketentuan saat berlayar. Salah satunya yakni susunan birokrasi di atas geladak kapal. Nakhoda berstatus sebagai pemilik perahu dagang dan didampingi oleh juru mudi dan juru batu.

Kelasi juga demikian. Dalam pasal keempat, mereka terbagi menjadi empat kelas, yaitu sawi tetap (kelasi tetap), sawi loga (kelasi bebas/tidak tetap), sawi manumpang (kelasi menumpang) serta tommanumpang (orang yang menumpang kapal). Kelasi dengan status tetap diberi izin menyewa petak-petak dalam perahu sebagai tempat menyimpan barang dagangan masing-masing.

Dalam buku Indonesia Negara Maritim (Wahyono Suroto Kusumoprojo, 2009), seorang nakhoda kapal wajib memiliki sifat-sifat seperti beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki tujuan dan haluan hidup yang jelas, melihat ke masa depan dan menarik pelajaran dari masa lalu.

4. Konsep-konsep Amanna Gappa bisa dilihat dalam sejumlah peraturan laut internasional

Amanna Gappa, Aturan Bugis Kuno Penginspirasi Konvensi Laut SeduniaPergerakan kapal nelayan asing melalui layar yang tersambung kamera intai dari Pesawat Boeing 737 Intai Strategis AI-7301 Skadron Udara 5 Wing 5 TNI AU Lanud Sultan Hasanudin Makassar di Laut Natuna. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

Selain itu nakhoda diminta harus selalu waspada, berani dan bertanggung  jawab, bersikap dan berpikiran luwes, dan berpikir menyeluruh. Ia pun wajib mengutamakan keselamatan kapal dan awaknya, mengayomi anak buah dan keluarganya, serta membina persaudaraan sesama pelaut. Semuanya tertera dalam Pasal 6.

Pasal 11 juga menarik. Pasal tersebut berisi cara penyelesaian masalah yang terjadi di atas kapal. Disebut bahwa pihak yang bertikai tak diperkenankan naik ke darat sebelum masalahnya tuntas. Nakhoda bertugas sebagai penengah dan pendamai. "Janganlah membawa kesusahan kepada pemimpin negeri, sebab tiap-tiap negeri yang kau singgahi memiliki hakim," demikian bunyi pasal tersebut.

Menurut Bambang Budi Utomo, Amanna Gappa menganut konsep kebebasan berlayar di laut tapi dengan etika. Konsep "kepemilikan" laut ini disebutnya dapat ditemukan dalam sejumlah hukum internasional, mulai dari UNCLOS hingga Hukum Perairan Internasional.

Baca Juga: I La Galigo, Epos Asli Bugis dan Karya Sastra Terpanjang di Dunia

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau
  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya