TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Silariang di Bugis-Makassar: Pilihan Nekat Pasangan Terbentur Restu

Kamu udah pernah nonton film yang mengangkat tema ini?

(Ilustrasi) Dok. Djarum Foundation

Makassar, IDN Times - Kalau cinta sudah tertanam, segala risiko pun nekat ditempuh. Memang kedengaran klise atau picisan. Tetapi untuk mereka yang dimabuk cinta, hal tersebut seolah menjadi hal yang niscaya. Jika tak ingin disebut sebagai pilihan terakhir.

Dalam kehidupan masyarakat Bugis-Makassar, dikenal istilah Silariang atau secara sederhana dapat diartikan kawin lari. Ya, ini dilakukan oleh pasangan yang cintanya tak kunjung direstui orangtua. Mungkin kamu sudah sering melihatnya di film atau layar kaca. Sudah banyak pula tulisan yang mengupas silariang ini dari beragam sudut pandang. Ada dari kacamata budaya, agama hingga relasinya dengan gender.

Baca Juga: Perang Makassar: Jatuhnya Sang Ayam Jantan dari Timur (1)

1. Silariang rupanya sudah terjadi di masyarakat Bugis-Makassar sejak dahulu

(Ilustrasi) Wikimedia Commons/Collectie Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen

Mendiang sejarawan Drs. Hamzah Daeng Mangemba dalam buku Kenallah Sulawesi Selatan (1956), silariang adalah sebutan suku Bugis-Makassar untuk peristiwa nikah minggat. Ini dilakukan jika pasangan yang sudah teguh pendirian ini menghiraukan sikap orang tua dari pihak perempuan.

Bagi orang suku Bugis-Makassar, anak perempuan yang dibawa lari untuk menikah tanpa restu adalah aib yang tak kepalang tanggung. Ini dianggap sebagai perkara berat lantaran menodai nama keluarga di hadapan masyarakat. Tak sampai di situ, harga diri keluarga besar pun dianggap telah direndahkan lewat silariang.

Silariang sendiri termasuk dalam annyala, bahasa Makassar yang berarti kebersalahan dalam konteks pernikahan. Masyarakat Bugis-Makassar percaya bahwa restu orangtua sangat penting agar kehidupan rumah tangga berjalan tanpa hambatan.

2. Bagi masyarakat Bugis-Makassar, restu orangtua sangat penting dalam pernikahan

Ilustrasi pernikahan (IDN Times/Prayugo Utomo)

Nurul Ilmi Idrus dalam buku Gender Relations in an Indonesian Society: Bugis Practices of Sexuality and Marriage (KITLV, 2016) menulis bahwa perbuatan annyala ini terbagi menjadi tiga jenis. Pertama yakni silariang, nikah minggat yang dilakukan sepasang kekasih setelah tak mendapat restu orangtua. 

Kedua, nilariang atau kondisi di mana sang perempuan dibawa lari oleh si pemuda. Ada banyak motif hingga langkah nilariang ditempuh. Mulai dari upaya orangtua si pemuda untuk mempermalukan orang tua sang gadis, paksaan dari pemuda, dan tak jarang juga lantaran si gadis sudah terkena "guna-guna".

Ketiga, yakni erang kale. Situasi ini adalah di mana si gadis --tanpa diketahui oleh orang tua dan kerabat-- menemui sang pemuda. Ia meminta dinikahi meski tanpa restu orangtuanya. Erang kale sendiri biasa ditemui tatkala sang gadis telah hamil sebelum menikah (nipakatianang).

Baca Juga: Arief Rate: Memperjuangkan, Lalu Dikhianati Republik Sendiri

3. Upaya memulihkan kehormatan pihak to-masirik kemudian jatuh ke ujung badik

instagram.com/ogipusaka

Dari tiga jenis annyala tadi, silariang-lah yang paling sering terjadi. Anak perempuan yang telah menodai citra dan harga diri keluarganya disebut sebagai appakasirik (mempermalukan). Sedang sang pemuda pembawa lari dilabeli to-mappakasirik (yang sudah membuat malu) atau to-mannyala (yang sudah membuat kesalahan).

Setelah sang perempuan menempuh silariang bersama pasangannya, status mereka berubah menjadi tomate attallasa, orang mati yang masih hidup. Perbuatan tercela yang sudah dilakukan membuat mereka bakal diasingkan dari keluarga, tak dianggap. Tali kekeluargaan pun terputus sepenuhnya. Tomate attalasa baru dicabut jika mereka datang melakukan proses rekonsiliasi (mabbajik).

Dalam buku Manusia Makassar (Sugira Wahid, 2008), keluarga sang perempuan (to-masirik) kemudian menempuh appaenteng siri' untuk memulihkan harga diri. Ini adalah kewajiban untuk melukai (atau bahkan mengambil nyawa) keduanya dengan sebilah badik. Tugas itu dibebankan kepada lelaki dalam lingkar keluarga perempuan, entah kakak kandung atau kerabat terdekat.

4. Para pemuka agama atau tetua adat memiliki peran penting dalam upaya appakabajik

(Ilustrasi) Wikimedia Commons/Collectie Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen

Namun, pengecualian diberikan jika pasangan silariang ini berada di dalam rumah atau bahkan halaman imam kampung, penghulu adat atau pemuka masyarakat. Ya, ada aturan lisan yang menyebut pasangan silariang tak boleh diganggu jika sudah berada dalam lindungan salah satu dari ketiganya.

Proses appakabajik (berdamai) sendiri harus menempuh beberapa cara. Orangtua sang perempuan dihubungi oleh imam agar bisa dinikahkan. Biasanya, takkan ada persetujuan diberi. Alhasil, pasangan silariang pun bersatu sebagai suami-istri dengan imam kampung bertindak sebagai wali untuk sang perempuan.

Jika inisiatif berdamai disambut baik, seorang utusan imam kemudian menyambangi keluarga pihak perempuan agar berkenan menerima kembali tomate attalassa. Kalau gayung bersambut, upacara appakabajik pun disiapkan oleh keluarga to-mannyala. Dalam upacara tersebut, kedua pihak keluarga akan bertatap muka. Uang denda (pappasala) pun diserahkan dari to-mannyala kepada to-masirik. Jika diterima, maka terputuslah lingkar dendam di kepala pasangan silariang.

Baca Juga: Amanna Gappa, Peraturan Kuno yang Menjadi Konsep Konvensi Laut Sedunia

Berita Terkini Lainnya