TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Riwayat Awal Hindu-Budha di Sulsel yang Masih Menyimpan Misteri

Bukti-bukti dan penelitian masih sangat minim

Kolase Berbagai Sumber

Makassar, IDN Times - Pada tahun 1921 atau tepat seabad silam, penduduk di pesisir Desa Sempaga, kini utara Kota Mamuju, Sulawesi Barat, menemukan sebuah arca bercorak Budha pada sebuah lahan yang hendak dijadikan ladang. Penemuan ini kemudian dilaporkan pada pejabat setempat, untuk diteruskan ke pejabat tinggi.

Singkat cerita, arca tersebut kemudian dibawa ke Batavia lewat Makassar. Menurut kajian Tim Cagar Budaya Nasional pada 2017 lalu, peninggalan yang kini bernama Arca Buddha Dipangkara itu dibawa oleh pelaut India ke Sulawesi pada antara abad ke-2 hingga ke-5. Arca ini dipercaya memberi keselamatan bagi para awak kapal. Alhasil, ini menjadi bukti bahwa lalu lintas perdagangan di masa lampau.

Nah, lantas apakah arca Budha tertua di Indonesia tersebut menjadi tolok ukur perkembangan agama tersebut di Sulawesi Selatan? Kemungkinannya masih diteliti. Di sisi lain, riwayat penyebaran agama Budha di Nusantara selalu beriringan dengan Hindu.

Baca Juga: Menilik Akulturasi Islam dan Hindu di Masjid Al Muhajirin Tulungagung

1. Salah satu bukti pengaruh Hindu-Budha di kehidupan Sulsel kuno tercantum dalam naskah epos I La Galigo

Salah satu potongan naskah epos I La Galigo yang dipamerkan di Museum I La Galigo, Benteng Fort Rotterdam, Makassar, Sulawesi Selatan. (IDN Times/Achmad Hidayat Alsair)

Kepada IDN Times, Bahri (sejarawan Universitas Negeri Makassar) menjelaskan bahwa catatan perihal kehadiran agama Hindu dan Budha di Sulawesi Selatan bisa ditemukan di naskah epos I La Galigo yang melegenda.

"Dalam lontaraq tersebut, digambarkan seorang Sawerigading berlayar ke negeri China. Dalam persiapan, ia dibantu 40 orang biksu," jelasnya saat dihubungi 30 Juli 2020 silam.

"Sureq I La Galigo tersebut memuat kata yang sangat lekat dengan perkembangan agama Hindu-Budha di Indonesia. Seperti Sinrijala (Sriwijaya) yang dikenal sebagai kerajaan yang bercorak Budha, Mancapai (Majapahit) sebagai kerajaan yang bercorak Hindu," lanjut Bahri.

Lebih jauh, sejumlah penamaan lain dalam lontaraq tersebut dinsinyalir adalah bukti pengaruh Hindu-Budha saat itu. Mulai dari Sangiang Sri (Sri Dewi), Paratiwi (Pertiwi) hingga Bissu (Biksu).

2. Terdapat sejumlah bukti perihal hubungan penduduk Sulawesi dengan Majapahit yang bercorak Hindu

Peta Kerajaan Majapahit di wilayah yang saat ini dikenal sebagai Jawa Timur, dengan Trowulan sebagai pusatnya. (Wikimedia Commons/Gunawan Kartapranata)

Selain itu, Bahri menjabarkan bahwa dalam kitab Negarakartagama ditemukan referensi yang memperkuat bahwa Hindu-Budha telah sampai di Sulawesi Selatan.

"Kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Hayam Wuruk telah memperluas wilayah kekuasaannya termasuk ke Sulawesi. Bahkan di abad ke-15 dan 16, mereka mengirim utusannya (prajurit dan pendeta) untuk menarik upeti," jelasnya.

Meski klaim Negarakertagama belakangan jadi topik debat dalam forum ilmiah, beberapa jejak Majapahit yang bercorak Hindu ditemukan di beberapa tempat. Mulai dari meriam/paroppo' Bissorang di Selayar (Sulawesi Utara), serta penemuan mata uang Gobog yang digunakan kerajaan tersebut di Kolaka Utara (Sulawesi Tenggara).

3. Turut ditemukan beberapa bukti pengaruh Hindu-Budha pada kehidupan masyarakat Sulsel kuno

Lukisan tentang kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan pada abad ke-16. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Selain dalam sureq I La Galigo, bukti pengaruh Hindu-Budha dalam kehidupan masyarakat Sulsel kuno juga tercantum dalam dokumen lain yakni Lontaraq Bone dan Lontaraq Wajo.

"Secara spesifik dalam Lontaraq Bone disebutkan bahwa pada saat Raja Bone La Tenri Rawe Bongkangge Matinroe ri Gucinna dibakar, abu jenazahnya disimpan dalam guci. Selain itu dalam Lontaraq Luwu juga disebutkan bahwa suami raja ke-VII, ManingoE ri Bajo, ketika meninggal jenazahnya dibakar dengan menggunakan kayu bajo," jelas Bahri.

Ia turut menjabarkan bahwa pada tahun 1947, ditemukan beberapa tempayan bercorak China yang berisi abu kremasi di Bukaka (Bone) dan Lampolo (Wajo).

"Prosesi pembakaran mayat, sebagaimana kita ketahui, adalah budaya penganut Hindu dan Budha. Sehingga ini mengindikasikan bahwa pemeluk kedua agama tersebut hidup berdampingan dengan masyarakat penganut kepercayaan Dewata SeuwaE," paparnya.

Baca Juga: AA Maramis, Tokoh Manado Penegas Kemajemukan saat Pancasila Dirancang

Berita Terkini Lainnya