Menengok Rentetan Wabah pada Masa Kolonial Hindia-Belanda
Salah satunya wabah Flu Spanyol pada 1918-1919
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Makassar, IDN Times - Wabah sejatinya menjadi salah satu fase yang selalu mencuat dalam jalannya peradaban. Mulai dari wabah tipes di Athena kuno (429-426 SM) yang merenggut nyawa antara 75 ribu sampai 100 ribu penduduk, wabah pes bubo Black Death (1331-1353) yang melanda Eropa dan Asia, hingga yang terbaru yakni COVID-19.
Menengok catatan sejarah, Indonesia pun beberapa kali mengalami bencana wabah penyakit. Bahkan jika melihat lebih jauh, penyakit mematikan dengan penyebaran yang luas pun disinggung pada sejumlah cerita rakyat. Contohnya "Bawang Merah dan Bawang Putih", asal-usul Gunung Mekongga di Sulawesi Tenggara, bahkan dalam legenda Kala Rau milik rakyat Bali di mana wabah justru terjadi di kahyangan.
Ada juga beberapa kitab dari Jawa Kuno dan lontara Bugis menceritakan sedikit tentang hal tersebut. Akan tetapi, kali ini yang menjadi topik utama artikel ini adalah riwayat wabah pada masa kolonial Belanda.
1. Wabah Demam di Batavia (1809)
Catatan paling jauh tentang riwayat wabah di Hindia-Belanda berasal dari awal abad ke-19. Dalam buku Jakarta a History (Susan Abeyasekere, 1989), disebutkan bahwa sebuah wabah penyakit demam melanda Batavia. Baik penduduk biasa hingga pegawai kolonial menjadi korbannya.
Diduga, asal muasal wabah demam ini berasal dari tanah-tanah rawa di sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Tanah rawa tersebut mengeluarkan uap ketika terkena sinar matahari, dan bisa menyebabkan demam jika terhirup. Ini pun sejalan dengan teori miasma yang berkembang di Eropa pasca Black Death atau Maut Hitam.
Wabah tersebut juga mendorong Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels untuk memindahkan pusat administrasi Hindia-Belanda dari Batavia (Jakarta Utara) ke Weltevreden (Sawah Besar, Jakarta Pusat) pada Mei 1809.
Wabah demam terulang di Palembang pada tahun 1819, pantai barat Sumatera (1841) kemudian Kerasidenan Pekalongan dan Banyumas (1846-1847).
Baca Juga: Mengenal Wahidin Sudirohusodo, Dokter Rakyat Penggagas Budi Utomo
Baca Juga: Sejarah Masker Selama Lima Abad: Dari Model Paruh Burung Sampai N95