Merah Tak Pernah Padam: Kobaran Reformasi 1998 di Kota Makassar (1)
Kota Daeng punya ceritanya sendiri saat menyambut Reformasi
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Makassar, IDN Times - Selasa 10 Maret 1998 bertempat di Gedung MPR/DPR, Soeharto dilantik menjadi Presiden Indonesia oleh MPR untuk masa jabatan 1998-2003 bersama Wakil Presiden BJ Habibie. Namun tak ada seremoni berlebih, keuangan negara sedang di ujung tanduk. Gelombang krisis ekonomi Asia sudah terasa sejak Januari, ketika kurs Rupiah terhadap Dollar AS menginjak Rp17 ribu.
Rakyat cemas dengan efek domino. Mimpi buruk bisa muncul kapan saja. Sementara kegusaran kelompok mahasiswa telah memuncak. Krisis ekonomi ibarat paku terakhir untuk peti mati Orde Baru, masa tiga dekade yang dihiasi rentetan pelanggaran HAM dan langgengnya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Lima hari sebelum Soeharto disumpah untuk masa jabatan keenamnya, 20 perwakilan mahasiswa Universitas Indonesia menyerahkan surat penolakan terhadap pidato pertanggung jawaban presiden sekaligus menyerahkan agenda reformasi. Protes tak digubris. Soeharto tetap mantap bertugas lima tahun lagi.
Maka, dimulailah bulan-bulan penuh demonstrasi di seluruh negeri menuntut Soeharto segera meletakkan jabatan. Mulai dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Medan dan Surabaya. Saat pemberitaan terpusat pada ibu kota, mahasiswa Makassar juga memiliki ceritanya sendiri.
1. Pada 21 April 1996, tiga mahasiswa Universitas Muslim Indonesia tewas
Menilik ke belakang, tepatnya tanggal 24 April 1996, Makassar menjadi pusat pemberitaan nasional. Aksi mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI) dan Universitas 45 Makassar menentang kenaikan tarif angkutan kota mendapat tindakan represif dari aparat keamanan. Tiga mahasiswa UMI kehilangan nyawa. Kini, peristiwa tersebut dikenal sebagai Amarah, akronim dari April Makassar Berdarah.
Momentum untuk mendongkel Soeharto dari jabatan presiden juga dimanfaatkan oleh mahasiswa Kota Daeng. Amarah, yang pengusutannya jalan di tempat hingga sekarang, jadi salah satu alasan mahasiswa untuk kembali turun ke jalan.
Berbicara pada IDN Times pada 2018 lalu, Wakil Ketua Senat 1994-1995 FISIP Universitas Hassanudin (Unhas) sekaligus aktivis '98 Makassar, yakni Arqam Azikin masih ingat betul betapa ramainya Kampus Merah oleh demonstrasi mahasiswa di bulan-bulan awal menggelindingnya desakan reformasi.
"Pada bulan Maret, tepatnya tanggal 11 itu saya sidang skripsi. Kondisi di kampus sudah sangat tidak kondusif. Aktivitas yang ada kebanyakan turun jalan semua. Demo di mana-mana. Setelah saya dipastikan lulus, saya langsung gabung dengan adik-adik dan aktivis lainnya," ungkap Arqam.
Baca Juga: Sebelum Jakarta, Kerusuhan Rasial Pecah di Makassar pada 1997
Baca Juga: Tragedi AMARAH dan Pemantik Reformasi dari Tanah Makassar
Baca Juga: Merah Tak Pernah Padam: Kobaran Reformasi 1998 di Makassar (2)