TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Mengingat Lagi Sumbangsih Tionghoa Peranakan Membangun Kota Makassar

Mulai dari seni budaya, olahraga, politik dan ekonomi

Ilustrasi - perayaan Cap Go Meh di Makassar / Sahrul Ramadan

Makassar, IDN Times - Sejak mulai menjalin hubungan dagang dengan Kerajaan Gowa-Tallo pada abad ke-16, masyarakat Tionghoa peranakan tak bisa dipisahkan dari perkembangan kota Makassar. Sepanjang 500 tahun interaksi, turut lahir akulturasi budaya yang jejaknya masih bisa ditemui hingga detik ini.

Lebih jauh, kaum peranakan juga ikut terlibat langsung dalam segala bidang. Mulai dari kesenian, olahraga, ekonomi hingga politik. Atas dampak signifikan yang diberi, mereka semua menjadi tokoh-tokoh penting, sekaligus tegaskan bahwa Makassar selalu bertumpu pada kemajemukan.

Lantas siapa saja tokoh-tokoh tersebut? Berikut IDN Times menyajikan sekelumit di antaranya.

1. Seni budaya, metode terbaik untuk melebur dalam masyarakat

Perayaan Cap Go Meh di Makassar / Sahrul Ramadan

Jika berbicara tentang akulturasi, maka budaya tentu tak bisa dilepas. Menurut sejarawan Universitas Negeri Makassar (UNM), Bahri, ini adalah metode terbaik kaum Tionghoa peranakan untuk melebur di tengah masyarakat.

"Salah satu cara masyarakat Tionghoa untuk beradaptasi dengan penduduk lokal Makassar dengan memperkenalkan budaya mereka, salah satunya yang dimaksud adalah seni mereka," paparnya kepada IDN Times, Sabtu (6/2/2021).

Menurut Bahri, pengenalan budaya leluhur juga membuat masyarakat setempat tertarik mencari tahu dan bahkan untuk ikut serta. Salah satunya yakni karnaval tahunan Cap Go Meh di Makassar, yang melibatkan kebudayaan lokal Sulawesi Selatan dan seluruh Indonesia.

Lebih jauh, ada pula tokoh-tokoh peranakan yang berjasa dalam pengembangan budaya. Sebutlah Hoo Eng Djie (1906-1962), sang pencipta lagu-lagu daerah berbahasa Makassar. Di bidang sastra terdapat Ang Ban Tjiong (1910-1930), si pemadu budaya pantun khas Melayu dan bahasa Makassar.

2. Olahraga, mayoritas berkecimpung di dunia sepak bola

Pemain PSM Makassar, Yosef Wijaya (kiri), berebut bola dengan salah satu pemain Persib Bandung di semifinal Perserikatan 1991/92. (Instagram.com/sulselfootballhistory)

Sederet sosok dari kelompok Tionghoa ikut berkontribusi dalam skena olahraga, mayoritas terjun ke dunia sepak bola. Tak hanya di tingkat lokal, mereka pun mencuri perhatian publik bal-balan nasional.

Dari dekade 1960-an, ada Keng Wie alias Budi Wijaya. Berposisi sebagai bek kiri, ia ikut andil dalam mengantar PSM Makassar ke tangga juara Perserikatan edisi 1964/65 dan 1965/66. Turut pula tiga trofi Piala Jusuf (1965, 1967 dan 1975) plus sekali jawara Piala Soeharto edisi 1974.

Dari dekade 1980-an, ada bek tengah Yosef Wijaya yang jadi andalan Juku Eja dari dekade 1980-an hingga awal 1990-an. "Si Tembok Putih", julukan Yosef, membawa Juku Eja menjuarai Piala Jusuf 1985 dan juara Perserikatan 1991/92.

Dari dekade awal 2000-an, mencuat Irvin Museng yang berseragam Pro Duta (2009-10, 2011-12), Medan Chiefs (2010-11) dan Persiba Balikpapan (2013). Ada juga Febrianto Wijaya, jebolan tim junior, dan kini menjabat Pembina Akademi PSM Makassar.

Masih ada nama-nama lainnya yakni Tan Seng Tjan, Piet Tio, Frans Jo, John Simon, Harry Tjong, Abdi Tunggal, Erwin Wijaya dan Tony Ho.

Baca Juga: Perhimpunan Tionghoa Sulsel Beri Bantuan APD Medis ke Pemkot Makassar

3. Politik, riwayat panjang "kapitan" hingga politikus selama empat abad

Ketua DPC Partai Gerindra Makassar, Eric Horas, saat berbicara dalam acara Hari Ulang Tahun Gerindra ke-12 pada tahun 2020. (Instagram.com/erichoras)

Dari bidang politik, kedatangan generasi awal Tionghoa sebagai saudagar lambat laun memberi mereka tempat di lingkaran dalam Kerajaan Gowa-Tallo. Ini ditulis oleh sejawaran Yerry Wirawan dalam buku Sejarah Masyarakat Tionghoa Makassar (KPG, 2014).

Selama masa VOC dan kolonial Hindia-Belanda, "kapitan" adalah jabatan sebagai kepala/pemimpin komunitas Tionghoa. Biasanya para kapitan ini memiliki kapasitas  ekonomi dan politik yang besar, dan bertugas memutus persengketaan dalam perdagangan dan dalam masyarakat Tionghoa.

Sejarah mencatat sejumlah kapitan Tionghoa Makassar yang pernah bertugas. Ada Oeikoeko di separuh akhir abad ke-16, Ong Goat Ko (1679-1701), Ongkiego (1701-1732), Ongkingsay (1732-1738), Lijauko (1738-1748/49) dan masih banyak lagi.

Namun agaknya yang paling diingat adalah kapitan Thoeng Liong Hoei. Ia dieksekusi mati oleh militer Jepang pada 1942 lantaran sikapnya yang enggan bekerja sama dengan penjajah (Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Transmedia Pustaka, 2008).

Sempat mengalami represi selama masa Orde Baru, keterlibatan peranakan Tionghoa di kancah politik Makassar kembali hidup pasca-Reformasi. "Partisipasi mereka semakin terasa hingga saat ini, tokoh-tokoh masyarakat Tionghoa berpolitik dengan memilih partai-partai berhaluan nasionalis seperti Golkar, PDIP, PAN, Nasdem, Hanura dan lainnya," jelas Bahri.

Bahri pun menyebut bahwa terjunnya mereka ke kancah politik lokal memberi citra baik terhadap harmonisasi masyarakat Makassar - Tionghoa, terutama dalam memperjuangkan kepentingan rakyat Makassar. Beberapa bahkan bisa duduk di DPRD Kota Makassar. Contohnya seperti Arwan Tjahjadi (PKPI) dan Eric Horas (Nasdem).

Baca Juga: Mengenal Hoo Eng Djie, Seniman Tionghoa Pencipta Lagu Rakyat Makassar

Berita Terkini Lainnya