Kitab Assikalaibineng, Pedoman Etika Persetubuhan Warisan Budaya Bugis

Kearifan hidup suami-istri Bugis dalam manuskrip abad ke-17

Apa yang diingat jika berbicara seksualitas dalam literatur? Yang paling sering melintas tentu saja Kama Sutra, kitab yang disusun oleh Bagawan Vatsyayana pada abad ke-3 Masehi. Setelah diterjemahkan oleh Richard Burton pada 1883, kitab tersebut masih menjadi bahan diskusi hingga sekarang.

Kitab seksualitas sendiri bukan barang asing dalam peradaban, termasuk di Nusantara. Ada Serat Centhini (Jawa), dan dua lain yang berbahasa Melayu yakni Cempaka Putih dan Kumpulan Gunawan.

Untuk masyarakat Bugis sendiri dikenal Assikalaibineng, lontaraq seksualitas dari abad ke-17 yang banyak terpengaruh ajaran Islam. Kitab ini mendapat ekspos luas setelah dikumpulkan dan dibukukan Muhlis Hadrawi dengan judul Assikalaibineng: Kitab Persetubuhan Bugis (Penerbit Ininnawa, 2019, cetakan kelima edisi revisi).

1. Tak cuma tata cara bersenggama, Assikalaibineng turut membahas pentingnya sikap konsensual dalam berumah tangga

Kitab Assikalaibineng, Pedoman Etika Persetubuhan Warisan Budaya BugisIDN Times/Achmad Hidayat Alsair

Namun, isi Assikalaibineng ternyata tak melulu perihal tata cara bercinta. Suami juga diajarkan bagaimana memperlakukan sang istri dengan mengutamakan kesopanan.

"Walau suami mengemban tanggung jawab kebahagiaan dalam permainan seks terhadap istrinya, namun pada sisi yang sama suami juga diserahi amanah agar memperlakukannya secara mulia," tulis Muhlis. "(Ini) agar istri merasa disayangi dan dihargai."

Lewat buku yang sebelumnya berupa tesis ini, Muhlis menyelami alam pemikiran orang Bugis untuk hubungan intim. Dari penelitiannya, ia mendapati bahwa ada segi psikologi yang secara tersirat diungkapkan dalam Assikalaibineng.

"Urusan hubungan suami-istri memiliki hubungan erat dengan situasi atau keadaan tubuh dan suasana jiwa istri ketika suami mengajaknya melakukan persetubuhan," ungkapnya.

2. Laki-laki dituntut harus peka dalam menangkap sinyal hasrat seksual pasangan

Kitab Assikalaibineng, Pedoman Etika Persetubuhan Warisan Budaya BugisIlustrasi (Unsplash.com/Markus Winkler)

Salah satu teks dalam naskah Assikalaibineng pun menjelaskan pentingnya seks konsensual bahkan dalam kehidupan berumah tangga:

"Narékko maélono patinroi pogauqni riolo' / Nasengéngngi aléna ricarinnai silaong rianui /

Narékko mupatinroni pogaukenni nasengéngngi aléna ripatinro jémma ripaluppungi madécéng/"

Terjemahan : "Jika kau menjelang tidur maka berhubunganlah / Ia menganggap dirinya disayangi dan dicintai /

Tapi, jika ia tidur dan kau bangunkan, maka dia menganggap dirinya sebagai budak, tak disayangi/"

Dosen program studi Sastra Bugis Universitas Hasanuddin itu menjelaskan bahwa konsep Assikalaibineng memposisikan lelaki sebagai pemegang kendali. Maka sudah tentu lelaki harus peka dan mampu menangkap secara saksama sinyal hasrat seksual dari pasangan.

"Istri merasakan kebahagiaan, kepuasan, dan kemuliaan, sudah tentu segalanya bergantung kepada pihak laki-laki atau suami," ungkap Muhlis.

Baca Juga: Memotret Sunyi Bissu Bugis di Sulawesi Selatan

3. Menurut leluhur Bugis, membangunkan pasangan untuk bersenggama adalah perbuatan yang tak elok

Kitab Assikalaibineng, Pedoman Etika Persetubuhan Warisan Budaya BugisIlustrasi (Unsplash.com/Womanizer WOW Tech)

Bahkan dalam rumah tangga sekalipun, hubungan seks juga harus mengutamakan sikap konsensual. Para leluhur Bugis menekankan jika membangunkan istri hanya untuk melampiaskan hasrat adalah perbuatan tak elok. Sebuah istilah pun dipakai yakni "ripatinro jémma", yang berarti "istri diperlakukan sebagai budak seks" (hal. 186).

Menyenangkan pasangan, menurut lontaraq ini, adalah hal mutlak. Rasa kasih sayang bisa muncul dari tindakan-tindakan sederhana serta rasa peka. Ini demi mencapai "papuji pulana", yang berarti "cinta dan kasih sayang suami yang kekal dan tak berubah sebelum dan setelah hasrat seksualnya tercapai."

Lanjut Muhlis, Assikalaibineng memberi sugesti kepada suami agar memerhatikan hal-hal penting tersebut di dalam hubungan seksnya. "Agar ia dapat menunaikan peran seksualitasnya dengan baik. Pada sisi lain, istri pun dapat merasakan perlakuan yang mulia dan berkualitas," tulisnya.

4. Sejumlah cara dianjurkan oleh lontaraq Assikalaibineng untuk membuat pasangan kian merasa spesial

Kitab Assikalaibineng, Pedoman Etika Persetubuhan Warisan Budaya Bugis(Ilustrasi) IDN Times/Muhammad Nur Abdurrahman

Lantas apa saja perlakuan yang bisa membuat pasangan merasa kian spesial? Menurut petuah bijak, lelaki dianjurkan agar tidak langsung tidur setelah bersenggama. Ini adalah salah satu dari "tarette'na narekko leba mpusoni", atau adab setelah persetubuhan.

"Ia (laki-laki) disyaratkan memberi perlakuan-perlakuan khusus yang bermakna sebagai perawatan dan pembersihan pada tubuh istrinya," jelas Muhlis. "Lagi pula, pihak suami diimbau menjauhkan kesan tidak bergairah lagi atau bosan setelah mencapai orgasme."

Selain beberapa tata cara pembersihan, lelaki juga bisa bercengkerama ringan lebih dulu dengan sang istri. Merawat istri secara lahir batin, menurut Assikalaibineng, menjadi peran yang diemban suami.

Baca Juga: Mengenal Cenning Rara, Tradisi Mantra Pemikat Hati dari Bugis-Makassar

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya