TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pameran Di Luar Jam Sekolah: Seni sebagai Ekspresi Remaja

Tempat curhat dan sikap atas segala keresahan sehari-hari

Suasana pameran "Di Luar Jam Sekolah" yang diselenggarakan CREATE Moments di Artmosphere Studio Makassar, 22-25 September 2022. (IDN Times/Achmad Hidayat Alsair)

Makassar, IDN Times - Keresahan adalah dua hal yang tak terpisahkan dari proses remaja menuju tahap dewasa. Entah karena keadaan rumah, di lingkungan pertemanan, masalah kepercayaan, hingga situasi sekolah. Padahal fase krusial tersebut membentuk sikap dan pola pikir ketika memasuki jenjang adolesens.

Akumulasi keresahan bisa berdampak besar pada kesehatan mental. Melampiaskannya bisa berujung pada dua hal, kelegaan atau self destruct. Dan seni bisa menjadi salah satu metode positif untuk penyaluran luapan emosi dan gelisah. Seni menjadi pendekatan untuk mengetahui perkembangan emosional remaja dan sejauh mana imajinasi mereka.

Ini yang dilakukan oleh 20 siswa-siswi Makassar dan Gowa yang memamerkan karya mereka dalam pameran "Di Luar Jam Sekolah", agenda tahunan milik inisiatif gerakan CREATE Moments. Galeri Artmosphere Studio pada Kamis (22/8/2022) hingga Minggu (25/8/2022) lalu berubah menjadi tempat para murid SMA ini bercerita, dan mengajak pengunjung melihat refleksi diri masing-masing.

Baca Juga: Pangdam XIV Hasanuddin Buka Pameran Alutsista di Losari Makassar

1. Muhammad Aldi Saputra menyikapi "toxic masculinity" dalan karyanya

Karya "Ini Adalah Sampah" dari Muhammad Aldi Saputra dalam pameran "Di Luar Jam Sekolah" yang diselenggarakan CREATE Moments di Artmosphere Studio Makassar, 22-25 September 2022. (IDN Times/Achmad Hidayat Alsair)

Perkara toxic masculinity jadi salah satu hal yang dialami oleh Muhammad Aldi Saputra, salah satu siswa SMA. Melalui karya "Ini Adalah Sampah", berupa kolase unik berisi sampah dan potongan surat kabar dalam bingkai, ia ingin menumpahkan keresahan sekaligus pernyataan sikapnya atas perundungan.

"Hal yang saya alami setiap hari adalah perundungan, baik di rumah dan sekolah. Orang-orang melihat saya seperti ini, bertanya tentang kebiasaan saya yang tidak suka main bola atau senang di dapur," ujarnya saat ditemui IDN Times, Sabtu (24/9/2022). "Padahal saya tetaplah seorang laki-laki," sambungnya.

"Kenapa mi itu kau gayamu." "Gemulai kayak ko cewek, harus ko tegas deh." "Deh cowo bede baru suka masak." Ini semua adalah kata-kata tak mengenakkan yang nyaris Aldi dengar setiap hari. Ia merangkai setiap ungkapan negatif tersebut menggunakan potongan koran bekas. Residensi seni di Kedai Buku Jenny selama enam pekan memberinya banyak inspirasi.

Masih banyak kata-kata lain yang hurufnya adalah daur ulang. Kenapa harus sampah? "Sebab sampah adalah hal yang tak dibutuhkan lagi, harus jauh dari pandangan. Maka seperti itulah saya menganggap perundungan ini, hanya sampah," ungkap Aldi.

2. Hubungan ayah-anak yang minim kata jadi tema pilihan A. Mutthohir Farid Anwar

Karya "Interaksi" dari A. Mutthohir Farid Anwar dalam pameran "Di Luar Jam Sekolah" yang diselenggarakan CREATE Moments di Artmosphere Studio Makassar, 22-25 September 2022. (IDN Times/Achmad Hidayat Alsair)

Keresahan lain datang dari A. Mutthohir Farid Anwar lewat karya berjudul "Interaksi." Berbentuk sebagai dua tanaman jeruk dalam sebuah wadah berisi tanah. Yang unik, dua mainan telepon benang dipakai sebagai penghubung antar tumbuhan. Bagi Farid, ini menggambarkan hubungannya sehari-hari dengan sang ayah.

"Saya dan ayah jarang bicara, bahkan di rumah. Tapi satu-satunya momen kami berinteraksi adalah saat kami berkebun di lahan yang ada di rumah. Mungkin itu adalah satu-satunya cara saya dan ayah tetap terhubung, meski bahkan kami irit bicara," ujarnya.

"Jadi, kesempatan untuk berinteraksi itu datang ketika saya berkebun. Lewat cangkul, tanaman, pupuk dan bibit itu kami bisa bercakap-cakap meski tidak langsung. Dan ini saya gambarkan lewat telepon benang di antara dua tanaman ini," sambung Farid.

Selama masa residensi, hal teknis yang ia hadapi adalah menentukan jenis tanaman untuk pameran. Dengan pertimbangan masa mepet, Farid memilih dua pohon jeruk berukuran kecil. Tapi menurutnya, ini tetap menggambarkan tema hubungan ayah-anak yang ia angkat sebab tanaman berduri tersebut juga tumbuh di kebun rumahnya.

Baca Juga: Pameran "Di Luar Jam Sekolah": Isu Keberagaman dari Mata Pelajar

Berita Terkini Lainnya