La Marupe: Merapal Tradisi Orang Sulsel ala Musik Theory of Discoustic
Perekaman musik dikerjakan di gedung bekas pabrik semen
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Makassar, IDN Times - Tak banyak musisi atau kelompok musik yang gencar mengangkat kebudayaan lokal sebagai pembahasan dalam karyanya. Theory of Discoustic mungkin salah satu yang masuk hitungan.
Band asal Makassar ini terbentuk sejak tahun 2010. Sejak saat itu, kelompok yang digawangi Adriady Stia Dharma, Dian Mega Safitri, Fadli FM, Hamzahrullah, Nugraha Pramayudi, dan Reza Enem konsisten mengkampanyekan cerita rakyat maupun kebudayaan masyarakat Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan. Setidaknya itu tergambar dari dua album mini (EP) terdahulu, yang bertajuk Dialog Ujung Suar (2013) dan Alkisah (2014).
Pada Maret 2018, ToD kembali menegaskan posisi mereka sebagai penutur tradisi lokal lewat album panjang pertamanya: La Marupè. Seperti biasa, lewat delapan lagu, kelompok ini mengangkat sejarah lokal, tradisi lisan, atau mitos yang dipercaya di Sulsel. Album ini sudah bisa didengarkan dengan bebas di laman resmi ToD.
“Tema tradisi menurut kami sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari,” kata Dian, vokalis ToD, Senin (17/12).
Baca Juga: Menikmati Eksplorasi Musik Shaggydog Nan Berani di Makassar
1. Membahas yang tak terjangkau pancaindera
Pada laman resminya, ToD menulis alasan memilih La Marupè sebagai judul album. Frasa ini, dalam bahasa Bugis-Makassar bermakna suatu sosok atau kondisi tertentu yang diyakini keberadaannya, namun tak terjangkau oleh pancaindera dan berpengaruh dalam hajat hidup.
Menurut Dian, La Marupè bisa sebenarnya punya artian lebih luas. Setiap orang dibiarkan menilai sesuai persepsi masing-masing.
“Ada yang artikan keberuntungan, ada juga artikan sebagai sosok yang diagungkan. Intinya Wallahu ‘alam,” kata dia.
Pada delapan lagu, beragam tradisi jadi pembahasan dalam lirik lagu. Badik, misalnya. ’Single' ini bercerita soal sitobo’ lalang lipa, atau duel satu lawan satu memakai badik di dalam sarung. Tradisi atau budaya lampau itu merupakan pilihan terakhir dalam penyelesaian konflik.
Lagu lain, Makrokosmos, membahas kebiasaan yang tak jauh dari keseharian masyarakat Sulsel, yakni tradisi pindah rumah dan menghuni rumah baru. Ada pula lirik tentang tradisi kematian orang Toraja, dan tradisi orang Kajang di Bulukumba yang menjaga kawasan hutan adat sekaligus kesederhanaan dalam hidup.
“Tema ini cenderung lebih mudah kami jabarkan dibandingkan tema cinta dan sejenisnya. Ya, selain karena tujuannya untuk memperkenalkan lebih luas lagi tradisi Sulsel ke orang-orang di luar sana,” Dian menambahkan.
Baca Juga: Sunday Block Party 2018, Festival Seru Pecinta Musik Elektronik