Wilayah elite yang terletak di timur Bangkok ini juga punya pertalian yang erat dengan sejarah perlawan rakyat Makassar. Menurut cerita, salah satu putra Sultan Hasanuddin, yakni Daeng Mangalle meminta suaka ke Raja Siam saat itu, Somdet Phra Narai (Ramathibodi III), setelah situasi Perang Makassar antara Kerajaan Gowa-Tallo dan koalisi pimpinan VOC kian memburuk.
Singkat cerita, Daeng Mangalle beserta keluarga dan 250 pengikutnya menjejakkan kaki di Tanah Siam pada tahun 1664. Dengan reputasi sebagai pasukan ulung, orang-orang Bugis-Makassar di Bangkok tak sulit mendapat jabatan tinggi di Kerajaan Ayutthaya.
Seiring waktu, rakyat merasa cemas saar Konstantin Phaulkon, warga Yunani mantan pegawai Serikat Dagang Hindia Timur (East Indies Company) milik Kerajaan Inggris itu, menjadi penasihat pribadi Raja Phra Narai. Puncaknya pada tahun 1688, rakyat memberontak melawan 300 ribu serdadu Prancis lantaran takut jika kerajaan mereka bakal diduduki oleh salah satu kekuatan Eropa tersebut. Daeng Mangalle ikut serta membantu perlawanan.
Dari catatan pelaut Prancis, Claude de Corbin, diketahui jika jumlah pasukan di medan tempur tak sebanding. Pasukan Daeng Mangalle hanya beranggotakan 40 orang, sementara gabungan Siam-Portugis-Prancis berjumlah hampir seribu orang. Namun dengan jumlah yang sedikit, mereka masih mampu menaklukkan 366 prajurit lawan.
Pada 13 Desember 1688, raja memerintahkan bumi hangus tempat tinggal etnis Makassar. Namun perlawanan hebat hingga titik darah penghabisan jadi pilihan. Terkesan dengan riwayat Daeng Mangalle beserta pengikutnya, warga lokal menamai wilayah bekas tempat tinggal mereka sebagai Makkasan, sebutan Makassar di lidah orang Thailand.