Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Suasana Masjid As-Said atau Masjid Arab di Makassar. (IDN Times/Asrhawi Muin)
Suasana Masjid As-Said atau Masjid Arab di Makassar. (IDN Times/Asrhawi Muin)

Intinya sih...

  • Masjid Arab, peninggalan sejarah dan simbol keharmonisan di Makassar.
  • Tradisi unik masjid: tidak ada jemaah perempuan dalam salat lima waktu maupun salat Idulfitri.
  • Bulan Ramadan selalu istimewa di Masjid Arab, terutama malam ke-27 yang dipercaya sebagai Lailatul Qadar.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Makassar, IDN Times - Di tengah riuhnya keramaian Kota Makassar, sebuah bangunan tua berdiri kokoh seolah menantang waktu. Masjid As-Said atau lebih dikenal sebagai Masjid Arab, begitulah orang-orang menamainya.

Masjid yang telah berusia lebih dari seabad ini bukan sekadar tempat ibadah. Masjid ini adalah saksi bisu perjalanan Islam, jejak para pedagang Timur Tengah, dan tradisi yang tetap hidup meski zaman terus berubah.

Meskipun lingkungan dan zaman telah banyak berubah, Masjid Arab tetap tegak berdiri sebagai peninggalan sejarah, pusat spiritual, dan simbol keharmonisan di Makassar. Di tengah modernisasi kota, masjid ini tetap mempertahankan keunikannya, menjaga tradisi, dan menghadirkan suasana yang membawa kenangan akan masa lalu.

1. Jejak sejarah di tengah Pecinan

Suasana Masjid As-Said atau Masjid Arab di Makassar. (IDN Times/Asrhawi Muin)

Begitu melangkah masuk ke halaman masjid, ketenangan langsung menyelimuti. Dua pohon kurma yang rindang berdiri tak jauh dari gerbang. 

Sementara sekawanan merpati beterbangan rendah di pelataran masjid. Pemandangan ini menciptakan suasana yang mengingatkan pada Masjidil Haram di Mekkah.

Masjid ini didirikan pada tahun 1907 oleh komunitas pedagang Muslim dari Arab, India, dan Pakistan, yang dahulu bermukim di kawasan ini. Pada masanya, lingkungan sekitar dipenuhi rumah-rumah keluarga keturunan Timur Tengah sebelum perlahan berganti menjadi pemukiman masyarakat Tionghoa.

Ali Abdullah, pengurus masjid yang telah mengabdi selama lebih dari dua dekade, mengisahkan bagaimana dulu kawasan ini menjadi titik transit bagi jemaah haji dari berbagai daerah di Indonesia timur.

“Dulu, lantai dua masjid ini digunakan sebagai tempat singgah calon jamaah haji sebelum mereka berangkat ke Mekkah dengan kapal laut. Mereka datang dari Ambon, Palu, Manado, lalu menetap sementara di sini sebelum naik kapal di Pelabuhan Makassar," kata Ali.

Namun, setelah sistem keberangkatan haji berubah dan jalur udara menggantikan perjalanan laut, lantai dua masjid pun tak lagi digunakan sebagai tempat transit.

2. Tradisi yang dijaga meski wajah kini berubah

Suasana Masjid As-Said atau Masjid Arab di Makassar. (IDN Times/Asrhawi Muin)

Masjid Arab memiliki satu tradisi unik yang terus dipertahankan sejak awal berdirinya. Tradisi itu yakni tidak adanya jemaah perempuan dalam salat lima waktu maupun salat Idulfitri.

“Bukan berarti perempuan dilarang, tapi sejak awal sudah menjadi tradisi bahwa wanita lebih utama salat di rumah, sesuai hadis Nabi,” jelas Ali.

Meski begitu, masjid tetap menyediakan mukena bagi musafir perempuan yang ingin menunaikan salat. Namun, bagi jemaah tetap, hanya laki-laki yang ikut salah berjemaah. Tradisi ini sering kali mengejutkan pengunjung yang tidak mengetahuinya. 

“Kadang ada yang datang, lalu melihat tidak ada perempuan, mereka akhirnya pergi sendiri karena mungkin malu-malu,” katanya sambil tersenyum.

Di sisi lain, lingkungan sekitar masjid kini didominasi oleh masyarakat keturunan Tionghoa. Rumah-rumah dengan arsitektur khas Pecinan mengelilingi bangunan masjid yang tetap kokoh berdiri sebagai saksi perubahan zaman.

“Akhirnya, yang tersisa dari jejak komunitas Arab di sini hanya masjid ini,” katanya.

3. Malam 27 Ramadan yang selalu dinanti

Suasana Masjid As-Said atau Masjid Arab di Makassar. (IDN Times/Asrhawi Muin)

Bulan Ramadan selalu menjadi momen istimewa di Masjid Arab, terutama malam ke-27 yang dipercaya sebagai Lailatul Qadar. Pada malam itu, masjid yang biasanya hanya diisi dua saf jemaah, berubah penuh sesak. Jemaah dari berbagai penjuru Makassar datang, memenuhi ruangan hingga ke teras.

Di malam tersebut, masjid ini memiliki tradisi yang tidak ditemukan di tempat lain yakni pembacaan doa Birrul Walidain dan doa Khataman Alquran secara berjemaah. Untuk menambah kekhidmatan, pengurus masjid bahkan mendatangkan penceramah khusus dari Jakarta atau Surabaya.

"Malam 27 selalu istimewa di sini. Biasanya hanya ada dua saf saat salat tarawih, tapi di malam itu, masjid penuh sesak," kata Ali.

4. Simbol-simbol yang menghidupkan kenangan Tanah Suci

Suasana Masjid As-Said atau Masjid Arab di Makassar. (IDN Times/Asrhawi Muin)

Di halaman masjid, keberadaan dua pohon kurma menambah sentuhan khas Timur Tengah. Pohon ini baru ditanam sekitar 10 tahun lalu setelah pohon sebelumnya mati karena usia tua.

“Dulu pohon kurma ini besar sekali, tapi akhirnya mati. Kami tanam lagi agar suasananya tetap terasa seperti di Mekkah,” kata Ali.

Meski selalu berbunga, pohon ini tidak pernah berbuah. “Mungkin hanya sebagai simbol, tapi tetap membawa suasana yang khas,” katanya.

Selain itu, kawanan merpati jinak yang beterbangan di halaman masjid semakin memperkuat kesan spiritual tempat ini. Awalnya, burung-burung ini hanya sedikit, tetapi setelah pengurus masjid menyediakan makanan dan menerima sedekah dari jemaah untuk pakan burung, jumlahnya bertambah banyak.

“Banyak jemaah yang baru pulang haji bilang suasananya mirip dengan di Masjidil Haram atau Masjid Nabawi. Maka terbayarkanlah rindunya mereka ,” kata Ali.

Editorial Team