[FOTO] Menikmati Kearifan Budaya dan Alam di Festival Mosintuwu Poso

Salah satu agenda tahunan masyarakat di Kota Tentena

Makassar, IDN Times - Festival Mosintuwu kembali dihelat di Kota Tentena, Kabupaten Poso, mulai Kamis (31/10) kemarin hingga hari Sabtu (2/11) ini. Memasuki kali keempat penyelenggaraan, helatan yang menjadi agenda tahunan Institut Mosintuwu --organisasi masyarakat akar rumput yang anggotanya adalah korban terdampak Konflik Poso-- mengambil tema "Menguatkan, dan Merayakan Kekayaan Budaya, Alam dan Keanekaragaman Hayati Poso".

Lian Gogali selaku pendiri Institut Mosintuwu menjelaskan tema ini dipilih sebagai refleksi sejak tahun 2009. Mointuwu yang awalnya hanya berfokus pada gerakan perempuan, kini bergerak di desa sembari menggali, menguatkan, mengembangkan segala hal perihal lingkungan hidup di daerah yang terletak tepat di pesisir Teluk Tomini tersebut.

1. Warga membawa hasil pertaniannya pada karnaval pembukaan Festival Mosintuwu di Tentena, Poso, Sulawesi Tengah, pada Kamis (31/10) kemarin

[FOTO] Menikmati Kearifan Budaya dan Alam di Festival Mosintuwu PosoANTARA FOTO/Basri Marzuki

"Menguatkan adalah sebuah ide dalam gerakan Mosintuwu yang kembali pada kepercayaan bahwa keanekaragaman hayati alam di Poso telah memberikan pengetahuan, menciptakan kebudayaan yang membentuk identitas orang Poso."

"Menguatkan berarti mengembalikan identitas orang Poso yang dibentuk dari keanekaragaman hayati yang ada di sekitarnya. Menguatkan juga memaknai penggunaan kembali kearifan lokal yang ada dalam kebudayaan Poso dalam pengelolaan keanekaragaman hayati di sungai, danau, laut, gunung, lembah," ujar Lian seperti dikutip dari situs resmi Institut Mosintuwu.

2. Warga saling berbagi hasil bumi pada Festival Mosintuwu di Tentena, Poso, Sulawesi Tengah, Kamis (31/10)

[FOTO] Menikmati Kearifan Budaya dan Alam di Festival Mosintuwu PosoANTARA FOTO/Basri Marzuki

Festival yang diinisiasi oleh Institut Mosintuwu tersebut menampilkan aneka atraksi budaya dan seni setempat dengan mengedepankan semangat keadilan dan kerbersamaan beragam etnis, suku, dan agama yang ada di wilayah tersebut.

Orang-orang diajak kembali menengok makna Mosintuwu, sebuah kata dalam bahasa Pamona yang berarti 'kebersamaan'. Bagi Institut Mosintuwu, segala keunikan dan kekayaan milik masyarakat pedesaan adalah benih-benih dari terciptanya keadilan.

Keadilan dalam hal ini bukan sekadar hukum semata, melainkan keadilan dalam mengakses pendidikan, gender serta kearifan memandang keberagaman, isu-isu yang mendadak krusial dalam beberapa tahun terakhir.

Baca Juga: Setahun Gempa-Tsunami Palu: Tiga Puluh Menit Kelabu di Jumat Sore

3. Sejumlah warga Suku Pamona mengadakan Molimbu atau tradisi makan bersama di Tentena, Poso, Sulawesi Tengah, Kamis (31/10) malam

[FOTO] Menikmati Kearifan Budaya dan Alam di Festival Mosintuwu PosoANTARA FOTO/Basri Marzuki

Menginjak malam, para warga dan pengunjung larut dalam tradisi makan bersama. Tradisi turun temurun tersebut dilaksanakan setiap ada kegiatan syukuran, hasil panen melimpah, pesta adat, atau keberhasilan atas kegiatan adat.

Namun yang terpenting adalah menikmati hasil bumi milik para petani yang sudah bekerja keras selama sekian bulan. Festival Mosintuwu sendiri sempat diberi nama Festival Hasil Bumi. "Waktu itu idenya adalah menguatkan hasil bumi dari desa-desa di Poso untuk tidak ditinggalkan atau digusur oleh produksi instan dari pabrik," jelas Martince Baleona, koordinator Program Mosintuwu.

Penggantian nama pada 2017 selaras dengan arah gerakan Institut Mosintuwu sebagai organisasi gerakan kebudayaan. Festival ini pun melibatkan orang-orang dari lintas usia, gender hingga profesi.

4. Sejumlah warga suku Pamona mendemonstrasikan pembuatan makanan tradisional pada Jumat (1/11) kemarin

[FOTO] Menikmati Kearifan Budaya dan Alam di Festival Mosintuwu PosoANTARA FOTO/Basri Marzuki

Selain menampilkan sejumlah atraksi seni dan budaya, festival yang diikuti seluruh etnis di Poso juga menunjukkan keanekaragaman menu makanan tradisional setempat. Proses pembuatan kuliner khas pun dipertontonkan kepada khalayak umum.

Tepat pada tahun lalu, Festival Mosintuwu mengangkat isu pentingnya mempertahankan desa dari serbuan sampah-limbang plastik serta bahan kimia yang menjadi salah satu penggerak industri makanan saat ini. Mereka kembali mengajak para penduduk desa untuk menekan pemakaian bahan-bahan kimia ketika mengolah kebun sekaligus memperkenalkan sisi positif bertanam organik.

5. Sejumlah warga suku Pamona menunjukkan salah satu menu makanan tradisionalnya yang terbuat dari jagung pada Festival Mosintuwu

[FOTO] Menikmati Kearifan Budaya dan Alam di Festival Mosintuwu PosoANTARA FOTO/Basri Marzuki

Maka kuliner tradisional Poso mulai dari Nasi Bambu Inuyu, Tombouat, Nasi Jagung, Tosu-Tosu Katue, Ambal dan masih banyak lagi, bisa kembali pada maknanya sebagai makanan yang diolah secara alami. Ya, sebab tradisional memang selalu identik dengan kembali kepada alam, kan?

Tak heran, Festival Motinsuwu wajib tertera dalam daftar helatan para pencinta kuliner tradisional di Indonesia. Sebab kuliner, yang selama ini hanya menjadi urusan lidah, adalah salah satu pembentuk budaya kita. Kita mengecap segala rasa, menghirup aroma rempah-rempah, sembari membangun memori kolektif dari sebuah peradaban dalam benak.

6. Pasar desa bagi suku tersebut tidak sekadar menjadi tempat bertransaksi berbagai barang kebutuhan, tetapi juga menjadi ajang silaturahmi dan mempererat kekerabatan antar etnis di Poso

[FOTO] Menikmati Kearifan Budaya dan Alam di Festival Mosintuwu PosoANTARA FOTO/Basri Marzuki

Bagi Institut Mosintuwu, festival ini adalah sebuah pernyataan bahwa makna 'kebersamaan' takkan pernah tercerabut lagi. Maknanya pun meluas pada komitmen kearifan dalam mengelola alam dan kehidupan yang berakar pada budaya Mosintuwu.

Festival ini menjadi sebuah sebuah ajakan kepada masyarakat untuk kembali menggunakan kebudayaan Mosintuwu sebagai sebuah cara memandang pembangunan. Meski jadi yang terkecil dalam hierarki pemerintahan administratif, desa tetap memegang peranan penting.

"Sebuah kebersamaan untuk menciptakan perdamaian dan keadilan yang berkelanjutan, dari desa. Jika warga desa cukup percaya diri dengan kearifan lokal yang dimiliki maka mereka akan menempatkan pengetahuan lokal dan kearifan lokal sebagai pondasi dalam membicarakan dan mengelola alam serta kehidupan," tutur Lian.

Baca Juga: Sembilan Bulan Berlalu, Begini Potret Kota Palu Pasca Gempa & Tsunami

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya