Makassar, IDN Times - "Mau ki masuk? Tunggu sa bukakan pagar dulu," ujar salah satu remaja saat saya tiba tepat di Gerbang Monumen Korban 40.000 Jiwa Sulawesi Selatan pada Kamis (15/8). Sejumlah remaja terlihat sedang asyik bercengkerama pada sore itu. Bisa dimengerti lantaran letaknya berdekatan dengan Rumah Perlindungan Sosial Anak Turikale yang dikelola Dinas Sosial Kota Makassar.
Begitu masuk, suasana sepi langsung menyeruak. Tak jauh dari hingar-bingar dan bisingnya lalu lintas, monumen yang terletak di Jalan Langgau, Kelurahan La'latang, Kecamatan Tallo, tersebut justru sunyi senyap. Namun memori pembantaian Westerling medio Desember 1946 hingga Maret 1947 tak serta merta menguap. Ingatan atas lembar kelam Indonesia saat berusia belia akan terus hidup.
Monumen tersebut berdiri di atas kuburan massal korban operasi "anti-pemberontak". Dalam buku Colonial Counterinsurgency and Mass Violence: The Dutch Empire in Indonesia (2014), disebutkan bahwa Desa Kalukuang --kini berstatus Kelurahan-- tak jauh dari La'latang, turut disatroni regu DST pimpinan Westerling. Sejumlah penduduk menjadi korban, akibat timah panas dan tusukan bayonet.