Profil Legenda: Ronny Pattinasarany, Gelandang Elegan di Masa Paceklik

Banyak pengorbanan ditempuhnya ketika merintis karier di PSM

Makassar, IDN Times - Sepanjang dekade 1970-an, Ronny Pattinasarany jadi pusat perhatian publik sepak bola nasional. Namanya jadi sinonim untuk ketangguhan dan elegannya sektor tengah Timnas Indonesia. Tak cuma sebagai gelandang, ia acapkali diplot sebagai libero.

Tenang, taktis, umpan terukur serta visi bermainnya di atas rata-rata. Ia bahkan tak ragu turun jauh ke belakang untuk membantu lini pertahanan di situasi genting. Ronny ibarat konduktor untuk rekan-rekan sejawatnya di Timnas seperti Iswadi Idris, Jacob Sihasale, Sutjipto Soentoro, Rudy Keltjes, Simson Rumahpasal, Anwar Ujang, Bambang Nurdiansyah, Herry Kiswanto dan masih banyak lagi.

Sebelum dikenal sebagai otak permainan Merah Putih, sosok kelahiran Makassar 9 Februari 1949 ini meniti kariernya sebagai pemain sepak bola profesional bersama PSM Makassar. Bersama PSM, pemilih nama lengkap Ronald Hermanus Pattinasarany meniti langkahnya menjadi salah satu gelandang paling ditakuti di Asia Tenggara.

Baca Juga: Profil Klub Liga 1 2020: Melihat Hasil "Cuci Gudang" PSM Makassar

1. Tampil apik di tim junior, Ronny Pattinasarany diangkat menjadi penggawa tim senior PSM pada tahun 1968

Profil Legenda: Ronny Pattinasarany, Gelandang Elegan di Masa PaceklikInstagram.com/ronnypattinasarany_foundation

Perjuangan Ronny menembus skuat utama Juku Eja sudah dimulai sejak remaja. Dorongan datang dari sang ayah, Nus Pattinasarany, salah satu pesepakbola kesohor asal Ambon dan juru taktik PSM pada 1960-an. Menu latihan fisik dilahapnya sepulang sekolah. Tampil apik di tim muda, Ronny remaja dipanggil memperkuat PSM Junior yang terjun ke Piala Soeratin 1966.

Tahun 1968, Ronny "naik kelas" menjadi penggawa tim senior PSM. Akan tetapi, ia dihadapkan pada dua pilihan sulit. Terus bermain bola, atau cepat-cepat lulus demi membantu orang tua mengurus keenam adiknya. Situasi sulit lantaran anak sulung sekaligus kakak kandang Ronny, Stevy Pattinasarany, meninggal dunia. Melihat keadaan, ia memilih realistis: menamatkan bangku SMA.

Ronny vakum bal-balan selama dua tahun demi ijazah. Sibuk bermain bola membuat pendidikannya mandek. Usai menanggalkan seragam putih abu-abu, Ronny melanjutkan studinya ke Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin. Namun, sang gelandang tak menyelesaikan bangku kuliah lantaran harus fokus menghidupi adik-adiknya dari upah lapangan hijau. Pengorbanannya membuahkan hasil.

2. Piala Presiden Soeharto 1974 jadi satu-satunya trofi yang berhasil diraih Ronny ketika memperkuat PSM Ujung Pandang

Profil Legenda: Ronny Pattinasarany, Gelandang Elegan di Masa PaceklikInstagram.com/ronnypattinasarany_foundation

Ronny cukup lama berseragam merah marun khas PSM, mulai dari 1968 hingga 1976. Dia datang ketika prestasi Ayam Jantan Dari Timur sedang paceklik. Sempat merajai panggung nasional di dekade sebelumnya, penampilan PSM mendadak biasa-biasa saja sepanjang 70-an.

Sejumlah nama turut mengiringi kisah Ronny di Mattoanging. Ada Abdi Tunggal, Dullah Rahim, Anwar Ramang (putra legenda Ramang), Yusuf Malle, Syamsuddin Umar, Pieter Fernandez, Andi Lala masih banyak lagi. Bersama mereka semua, Ronny membangun reputasi sebagai motor serangan mumpuni.

Prestasi terbaiknya bersama PSM di Perserikatan adalah peringkat empat musim 1969-71 dan 1971-73. Namun, trofi datang pada ajang lain yakni Piala Presiden Soeharto yang dihelat pada November 1974. Kejuaraan berformat setengah kompetisi tersebut diikuti oleh empat tim terbaik dari kompetisi Perserikatan.

PSM keluar sebagai jawara Piala Presiden Soeharto 1974 berkat sepasang kemenangan atas Persebaya serta Persija, ditambah hasil imbang kontra PSMS. Sebagai kapten tim, Ronny mencetak dua gol sepanjang turnamen dan mengangkat salah satu dari dua trofi kejuaraan nasional yang diraih PSM di dekade 1970-an.

3. Ronny dikenal sebagai kapten dan gelandang dengan gaya bermain elegan ketika memperkuat Timnas Indonesia

Profil Legenda: Ronny Pattinasarany, Gelandang Elegan di Masa PaceklikInstagram.com/ronnypattinasarany_foundation

Di tahun 1977, Ronny hengkang ke klub Galatama yang bermarkas di Jakarta yakni Warna Agung. Tim tersebut ia bela hingga 1981. Kemudian ia berseragam tim Galatama lainnya, Tunas Inti, pada 1982 hingga 1984. Kariernya di Timnas pun mengilap. Mulai berseragam Merah Putih untuk ajang Asian Games Bangkok 1970, beberapa capaiannya antara lain medali perak SEA Games edisi 1979 dan 1981.

Selain trofi Galatama musim 1979/80 bersama Warna Agung, Ronny pun turut meraih gelar individu seperti pemain terbaik Galatama musim 1979 dan 1980, Olahragawan Terbaik Nasional tahun 1976 dan 1981, serta masih dalam AFC Asia's All Star Player 1982.

Usai gantung sepatu pada 1984, ia sempat banting setir menjadi pelatih. Sempat menukangi Persija Jakarta dan Makassar Utama, kariernya sebagai peracik taktik cenderung biasa-biasa saja. Berbekal pengetahuan sepak bolanya yang mumpuni, ia menjadi kolumnis surat kabar dan komentator sepak bola sepanjang 1990-an. Ketika sebagai komentator inilah ia menyaksikan langsung PSM menjadi jawara Ligina musim 1999/2000.

Ronny Pattinasarany berpulang pada 19 September 2008 di Jakarta pada usia 59 tahun, setelah cukup lama berjuang mengatasi penyakit kanker hati yang dideritanya.

Baca Juga: PSM Berkandang di Stadion Madya GBK untuk AFC Cup 2020

Topik:

  • Aan Pranata

Berita Terkini Lainnya